Pendahuluan
Achmad Munjid mengatakan, dalam masa-masa formatif hampir semua sejarah agama, baik agama dunia maupun lokal, dapat disaksikan betapa kritik sosial sungguh menjadi salah satu peran terpenting yang dimainkan agama. Agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, misalnya, muncul sebagai gugatan sekaligus alternatif bagi aneka praktek sosial yang membelenggu, moral yang bobrok, budaya yang korup, dan sistem kesadaran yang palsu. Agama serentak adalah sumber inspirasi, energi, dan visi yang menawarkan alternatif segar bagi praktek dan pemaknaan hidup lahir-batin penganutnya. Pendeknya, sesuai dengan konteks zaman kelahirannya masing-masing, agama-agama itu hadir sebagai kritik atas beragam penyimpangan sejarah kemanusiaan (munjid.multiply.com).
Manusia
memang tidak bisa lepas untuk belajar dari sejarah. Dewasa ini berbagai
fenomena dekadensi moral yang terjadi di masa silam seakan berulang
kembali. Kondisi moralitas umat manusia semakin terpuruk. Kompleksitas permasalahan keumatan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan suatu peraturan maupun kebijakan tertentu di masyarakat. Hal ini terbukti masih terjadi ketimpangan sebagian masyarakat di dalam kehidupan sosial.
Sebagai
warga negara yang bercirikan masyarakat religius, tentu lebih setuju
jika solusi untuk permasalahan bangsanya adalah seruan kembali kepada
ajaran agama. Ishomuddin (2002: 55) menjelaskan bahwa agama secara
dogmatis (ajaran) telah diakui sebagai norma bagi pemeluknya dalam
pengawasan sosial dan memiliki fungsi kritis - profetis (wahyu dan
kenabian).
Namun,
fenomena keberagamaan yang muncul di masyarakat bertolak belakang
dengan fungsi kritik-profetik agama. Agama yang seharusnya menjadi lawan
kezaliman penguasa kini menjadi sahabat dan bekerja sama dengannya.(
Eusta Supono,2007: 70).
Eusta
Supono (2007:66) menambahkan, melalui agama fakta masyarakat dengan
segala dimensinya dapat disingkap. Dalam konteks ini, agama tidak
terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan harus ditempatkan dalam
tatanan hidup manusia konkret.
Dengan
demikian, sangat diperlukan keluasan berpikir dan mendalam guna
memahami agama sebagai pendekatan yang strategis untuk mengontrol
kehidupan sosial masyarakat. Maka dari itu, penulis tertarik mengulas
tema kajian : Agama Sebagai Kritik Sosial Keagamaan, dengan sub-kajian:
1. Realitas Agama di Masyarakat
2. Fungsi Sosial Agama
3. Agama Sebagai Kritik-Profetik
Semoga
ulasan singkat berikut dapat membuka wacana keilmuan seputar ilmu
Sosiologi Agama dan memotivasi umat beragama dalam memahami agama dari
perspektif sosial masyarakat.
- Realitas Agama di Masyarakat
Ishomuddin
(2002: 29) mengatakan, agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia
yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara
berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut
“agama” (religious). Menurut Dadang Kahmad (2000: 129-130), agama
merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi
hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya
yang supra-natural sehingga diharapkan dapat menjadi solusi atas
permasalahan yang non-empiris.
Beragam definisi dari para ahli tentang agama, mereka mencoba mendefinisikan apa itu agama dari sudut pandang dan latar
belakang keilmuan mereka yang berbeda. Agama sering dipahami sebagai
sekumpulan perintah Tuhan yang mengandung tata aturan, norma-norma
tertentu yang harus diterima dan diyakini oleh pemeluknya sebagai suatu
kebaikan dan kebenaran. Akan tetapi, berapa banyak umat manusia tersebut
yang mau memandang eksistensi agama dari sudut pandang realitas sosial
masyarakat.
Realitas sosial yang terjadi dapat memberikan gambaran kondisi
sesungguhnya tentang pemahaman masyarakat terhadap agama yang dipeluk.
Kekalutan, ketidaknyamanan, keresahan masyarakat akibat tindakan
kriminal oknum tertentu dapat dipahami bahwa individu-individu tersebut
kurang memiliki kesadaran untuk memahami agamanya secara
benar. Begitu pula jika di suatu pemukiman masyarakat tercipta
ketentraman, kerukunan dan kedamaian tentu itu merupakan cerminan dari
sikap hidup masyarakatnya yang sadar selaku umat beragama. Jelas yang
demikian merupakan kondisi yang ideal adanya.
Namun,
berharap dengan kondisi ideal tersebut tidaklah cukup. Ragam
permasalahan lain terus bermunculan. Realitas sosial yang tampak belum
bisa dijadikan tolak ukur dalam menggambarkan keberagamaan suatu
masyarakat. Sebagian masyarakat sudah merasa cukup beragama jika dapat
menggunakan simbol-simbol agamanya, melakukan ritual-ritual keagamaan
dan hal-hal yang menjadi kebiasaan mereka dan dapat dilihat secara
prilaku fisik. Akan tetapi, di sisi lain segala simbol, ritual
peribadatan tersebut seakan tidak memberi pengaruh dalam perubahan dan
perbaikan sikap di masyarakat. Senada dengan Awidya Santikajaya dalam
artikelnya dalam Jawa Pos 2005, Agama memang menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia, tetapi hanya sebatas
ritual, simbolistik, dan formalisme belaka. Kenyataannya, agama sebagai
roh spiritualisme tidaklah benar-benar hadir di hati masyarakat sebagai
solusi atas berbagai masalah yang menimpanya.
Padahal,
pada hakikatnya, agama adalah untuk kebahagiaan dan kemuliaan
pemeluknya. Jangan-jangan, sebagai umat beragama, namun tidak
menjalankan dan bahkan tidak mengetahui hakikat keberagamaan. Dalam
berbagai kitab suci agama dijelaskan bahwa tuntutan fundamental iman
pada intinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil
(awidyasantikajaya.blogspot.com).
Pandangan
demikian tidak bermaksud menyeret masyarakat untuk berpikir instan.
Menginginkan perubahan sosial terjadi secepat mungkin. Sebab segala
sesuatu yang dinamis memerlukan proses. Demikian halnya realitas sosial
yang ada merupakan proses sosial masyarakat menuju perubahan mental dan
prilaku. Sebagaimana yang dikatakan Robert H. Lauer (2003: 190),
menekankan realitas sebagai proses adalah menekankan kenormalan
perubahan.
Sederhananya,
agama selain dimengerti sebagai sistem kepercayaan kepada realitas
mutlak (Tuhan) juga dipahami sebagai sistem nilai di dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga benar-benar menjadi pedoman masyarakat dalam
menciptakan ketentraman dan kedamaian kehidupan bersama.
2. Fungsi Sosial Agama
Sebagaimana
institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen
bagi masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu
pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan
tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama
sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan
sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran
agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya
konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal
tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di
masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
a. Agama
mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan
manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan
sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi
ketidakpastian.
b. Agama
menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman
baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan
ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.
c. Agama
mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan
disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama
berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi
pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama
juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu
memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah
terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan
dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama
melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peran serta
manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur
signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan
mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap
identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini
dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama
Amerika di tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang
Amerika membentuk identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota
dari “tiga agama demokrasi”, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi.
f. Agama
juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta
perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari
keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama
memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus
bagi masyarakat. Bagi individu, agama berperan dalam mengidentifikasikan
individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat
moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan
bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas
masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai
dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan
dan keterasingan.
2. Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun
agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat,
dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama
juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan,
memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini
merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok
pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan
eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang
fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada
beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
a. Perbedaan
doktrin dan sikap mental. Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta
sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya
sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah
yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih
banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti
oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah
yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain
sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran inilah yang
menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama,
terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap
kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap
tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya
bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama.
Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan
penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi
rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi
akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan
suku dan ras pemeluk agama. Meskipun tidak sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang
yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa
membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik
sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk
memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya
akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari
fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen
merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan
kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c. Perbedaan
tingkat kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan
faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada
umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa
agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan.
Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan
cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran
dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam
semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan
tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam
menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran
bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan
mengekang pemikiran tersebut. Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu
agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan
sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam
menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat.
Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang
diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh
protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme.
d. Masalah
mayoritas dan minoritas kelompok agama. Dalam suatu masyarakat yang
plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor
penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu:
(1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas
terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas
seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan
mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan
politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan
bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan
segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada
akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang
terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik
sosial.
Dari
keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan
diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang
terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh
perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam
memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena
keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai
dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih
perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari
permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai
soslusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.( arifinzain.wordpress.com)
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.( arifinzain.wordpress.com)
3. Agama sebagai kritik-Profetik
Sebenarnya fungsi kritik-Profetik pada agama sangat erat hubungannya dengan sistem pengendalian sosial (Social Control)
di masyarakat. Dikatakan demikian karena pengendalian sosial mencakup
segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat
mendidik, mengajak atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Demikian yang diungkapkan
oleh Joseph S. Roucek dan Associetes dalam Soerjono Soekanto (2002:
205).
Pengendalian
sosial dapat dilakukan oleh siapa saja. Baik secara individu terhadap
kelompok maupun sebaliknya. Salah satu kelompok yang memiliki wewenang
dalam pengendalian sosial ini adalah umat beragama yang meyakini ajaran
agama sebagai norma kritik sosial.
Perputaran
peran agama sebagai sumber inspirasi dan legitimasi ini akan terus
berlangsung. Munculnya gelombang-gelombang yang disebut reformasi dan
heresy dalam berbagai tradisi adalah bukti yang tak bisa dimungkiri.
Sebagaimana pernyataan Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
dipahami bahwa selain sebagai sumber legitimasi, agama memang bisa
menjadi tenaga perubahan dan transformasi. Yakni, ketika agama berhasil
memainkan perannya sebagai kritik sosial, seperti telah diperlihatkan
oleh para nabi, kaum pembaharu, dan tokoh-tokoh karismatis lain
(kompas.com).
Dan
inilah yang dibutuhkan sekarang. Agar efektif memainkan peran kritik
sosial, dalam beragama kita mesti mau berangkat dari pengalaman konkret.
Dulu Al-Quran, misalnya, disingkap ayat demi ayat guna menanggapi
masalah aktual yang dihadapi zaman dan lingkungannya. Wahyu adalah wujud
komunikasi interaktif yang amat intensif antara penghuni bumi dan Sang
Ilahi. Dan iman adalah respon dan komitmen manusia real atas
persoalan-persoalan yang juga nyata. Sebab, kebenaran memang adalah
pergumulan manusia tanpa henti dengan dunia dan makna yang
dipertaruhkannya.
Sebagai
kritik sosial, agama tidaklah pertama-tama buat menghujat dan
menghardik siapa saja yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, kritik
berangkat dari maksud amar ma'ruf nahi munkar, guna memperbaiki
kenyataan, guna menyongsong kehidupan bersama yang lebih lapang dan
matang. Ia sekaligus adalah koreksi, revisi, dan apresiasi dengan
panduan visi yang terang dan terbuka. Suatu ikhtiar yang hendak membawa
kehidupan pada keleluasaan dan ketenteraman. Jelas, kritik bukanlah
semata protes, apalagi kutukan.
Sebagai
kritik sosial, di tengah berkecamuknya konflik seperti Poso dan
bayang-bayang ketegangan hubungan antarkelompok di mana-mana, karena itu
semestinya agama adalah tenaga yang mendorong kita untuk berdialog dan
bekerja sama lintas iman demi perdamaian seperti dirintis Th. Sumartana.
Di tengah kemelaratan umat dan ketimpangan ekonomi, agama semestinya
menjadi energi pemberdayaan orang-orang pinggiran, seperti digagas
Moeslim Abdurrahman dan almarhum Romo Mangunwijaya.
Saat
ini umat beragama harus kembali kepada jati diri ajaran agamanya yakni
sebagai intrumen pembebasan, yang senantiasa bertindak sebagai kritik
sosial. Bukan sebagai alat bagi penguasa untuk kepentingan politik
golongan, sebab hakikat agama adalah universal, yaitu sebagai saluran
keselamatan bagi semua orang, maka agama harus berjuang bagi segenap
orang, bagi semua lapisan masyarakat. Meminjam istilah Eusta Supono
(2007: 71), agama dan politik harus terjadi simbiosis mutualisma kritis, hubungan yang saling menguntungkan bagi banyak orang sekaligus terbuka terhadap koreksi.
Di
tengah oportunisme kelompok-kelompok politik dan keserakahan kalangan
elite yang cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, agama hendaknya
menjadi daya kritis dalam memelihara akal sehat umat. Di tengah sistem
pendidikan yang mandul, imajinasi sosial yang dangkal, dan moral yang
membusuk, agama hendaknya menjadi api yang menghidupkan nalar, nurani,
dan harapan.
Dengan
ini, bukan berarti agama sebagai institusi tidak penting. Sebab,
institusi-institusi seperti agama inilah yang memungkinkan anyaman
kehidupan sosial dapat terjalin dan bekerja. Tapi ketika agama dibiarkan
membeku semata sebagai institusi, ia menjadi sekadar sarana legitimasi,
menjadi tameng kemalasan dan kekerdilan, bahkan genderang perang
perebutan klaim kebenaran.
Para
tokoh agama perlu mengembangkan fungsi profetik agama yang dapat
memandu manusia keluar dari krisis kebudayaan dan kemanusiaan dalam
globalisasi ini. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun tafsir ulang
yang lebih kritis atas teks-teks kitab suci sehingga menemukan
petunjuk-petunjuk dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi
umat manusia.( kompas.com).
Solusi untuk Permasalahan Umat
Abdul
Munir Mulkhan menegaskan, kesetiaan pada keyakinan agama harus
dibuktikan dengan kesediaan dan kemampuan menunjukkan bukti kepada dunia
tentang kehebatan agama dalam memecahkan persoalan yang dihadapi
pemeluknya dan umat manusia seluruhnya.
Agama
akan terus dihadapkan pada posisi krusial dan sulit menjadi rujukan
bagi pemeluknya dalam menyikapi perubahan kehidupan yang semakin cepat,
jika tidak dibangun sikap kritis terhadap tafsir-tafsir kitab suci.
Karena itu, perlu dikembangkan sikap kritis terhadap segala tafsir yang
telah kehilangan konteks zaman. Melalui kritik yang proporsional, agama
bisa berfungsi kembali sebagai jawaban atas persoalan umat manusia
seperti pertama kali diwahyukan. Pada saat diturunkan, agama mampu
memandu manusia menyelesaikan krisis yang dihadapi ketika itu. Demikian
yang dikatakan Abdul Munir Mulkhan (kompas.com).
Kerja sama antar-agama
Zainal
Abidin Bagir mengusulkan, agar agama-agama bekerja sama dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang semakin serius. "Semua agama harus
berbagi tantangan yang sama karena globalisasi memunculkan berbagai
persoalan yang besar. Dialog antara Islam dan Barat perlu dikembangkan
dan isu-isu lokal serta global perlu dibicarakan bersama-sama.
Menurut
Aden Widjan, kehidupan sosi-religius sangat penting dalam menumbuhkan
harapan bagi keberlangsungan hidup manusia. "Harapan itu bisa semakin
besar jika bangunan teologi agama dikembangkan untuk merespons
masalah-masalah aktual seperti kemiskinan, krisis kemanusiaan, dan
korupsi. Tafsir agama harus menjadi gerakan penyadaran untuk mengatasi
masalah kemanusiaan.
Lebih
lanjut Aden mengatakan, para tokoh agama harus memunculkan substansi
transformatif agama sebagai teologi yang melawan segala bentuk
eksploitasi dan penindasan yang dilakukan berbagai bentuk kekuasaan.
Bagi
Nicholas Warouw, globalisasi merupakan keniscayaan sejarah yang melanda
semua umat manusia. Karena itu, proses globalisasi harus didukung dan
diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. "Kita jangan
terus terjebak pada dikotomi Barat-Timur karena pembagian itu produk
zaman kolonial yang ditumbuhkan untuk memecah belah bangsa. Barat dan
Timur harus bekerja sama untuk membangun peradaban.
Warouw
menekankan pentingnya pembangunan solidaritas kosmopolitan bagi umat
manusia. "Semua individu hendaknya melihat dirinya sebagai bagian dari
masyarakat internasional sehingga bisa membuka diri untuk bekerja sama
dan memperhitungkan kepentingan pihak-pihak lain di dunia," tambahnya.
(kompas.com).
Dari
pemikiran masing-masing tokoh agamawan dan sosiolog tersebut dapat
dipahami bahwa tantangan umat beragama di zaman sekarang lebih kompleks.
Diperlukan kesiapan mental spiritual dan intelektual dari pemuka dan
pemeluk agama guna menghadapi arus negatif global di setiap aspek
kehidupan bermasyarakat.
Penutup
Manusia
selaku makhluk religius sudah semestinya bisa belajar dari berbagai
peristiwa di masa lampau. Apakah peristiwa itu menunjukan kebobrokan
moralitas akibat penyelewengan ajaran murni agama ataupun kejayaan suatu
peradaban manusia yang menjadi cerminan kesuksesan masyarakat pada
waktu itu dalam memahami dan menghayati agama secara baik di dalam
kehidupan.
Menjadi masukan
bagi seluruh umat beragama untuk kembali memahami dan menghayati ajaran
agama masing-masing. Karena secara substansi, agama mengandung dogma
untuk membimbing dan membangun citra positif pemeluknya dan sebagai
pelaku perubahan sosial di masyarakat melalui peran kritik sosial
profetik.
Berbagai permasalahan yang
melanda pada tubuh umat beragama dapat diatasi atau dicarikan
solusinya. Jika seluruh umat beragama tersebut mau bekerja sama, saling
menghormati, bersikap terbuka, dan berpikiran luas dalam mendukung
terciptanya ketentraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bahkan masyarakat global.
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Kahmad, 2000. Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Eusta Supono, 2007. Agama: Solusi atau Ilusi ? Kritik atas Kritik Agama Karl Marx, Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia.
Robert H. Lauer, 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto, 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar