Minggu, 29 April 2012

AGAMA SEBAGAI KRITIK SOSIAL KEAGAMAAN

Pendahuluan

Achmad Munjid mengatakan, dalam masa-masa formatif hampir semua sejarah agama, baik agama dunia maupun lokal, dapat disaksikan betapa kritik sosial sungguh menjadi salah satu peran terpenting yang dimainkan agama. Agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, misalnya, muncul sebagai gugatan sekaligus alternatif bagi aneka praktek sosial yang membelenggu, moral yang bobrok, budaya yang korup, dan sistem kesadaran yang palsu. Agama serentak adalah sumber inspirasi, energi, dan visi yang menawarkan alternatif segar bagi praktek dan pemaknaan hidup lahir-batin penganutnya. Pendeknya, sesuai dengan konteks zaman kelahirannya masing-masing, agama-agama itu hadir sebagai kritik atas beragam penyimpangan sejarah kemanusiaan (munjid.multiply.com).
Manusia memang tidak bisa lepas untuk belajar dari sejarah. Dewasa ini berbagai fenomena dekadensi moral yang terjadi di masa silam seakan berulang kembali. Kondisi moralitas umat manusia semakin terpuruk. Kompleksitas permasalahan keumatan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan suatu peraturan maupun kebijakan tertentu di masyarakat. Hal ini terbukti masih terjadi ketimpangan sebagian masyarakat di dalam kehidupan sosial.
Sebagai warga negara yang bercirikan masyarakat religius, tentu lebih setuju jika solusi untuk permasalahan bangsanya adalah seruan kembali kepada ajaran agama. Ishomuddin (2002: 55) menjelaskan bahwa agama secara dogmatis (ajaran) telah diakui sebagai norma bagi pemeluknya dalam pengawasan sosial dan memiliki fungsi kritis - profetis (wahyu dan kenabian).
Namun, fenomena keberagamaan yang muncul di masyarakat bertolak belakang dengan fungsi kritik-profetik agama. Agama yang seharusnya menjadi lawan kezaliman penguasa kini menjadi sahabat dan bekerja sama dengannya.( Eusta Supono,2007: 70).
Eusta Supono (2007:66) menambahkan, melalui agama fakta masyarakat dengan segala dimensinya dapat disingkap. Dalam konteks ini, agama tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan harus ditempatkan dalam tatanan hidup manusia konkret.
Dengan demikian, sangat diperlukan keluasan berpikir dan mendalam guna memahami agama sebagai pendekatan yang strategis untuk mengontrol kehidupan sosial masyarakat. Maka dari itu, penulis tertarik mengulas tema kajian : Agama Sebagai Kritik Sosial Keagamaan, dengan sub-kajian:
1. Realitas Agama di Masyarakat
2. Fungsi Sosial Agama
3. Agama Sebagai Kritik-Profetik
Semoga ulasan singkat berikut dapat membuka wacana keilmuan seputar ilmu Sosiologi Agama dan memotivasi umat beragama dalam memahami agama dari perspektif sosial masyarakat.
  1. Realitas Agama di Masyarakat
Ishomuddin (2002: 29) mengatakan, agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Menurut Dadang Kahmad (2000: 129-130), agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan yang non-empiris.
Beragam definisi dari para ahli tentang agama, mereka mencoba mendefinisikan apa itu agama dari sudut pandang dan latar belakang keilmuan mereka yang berbeda. Agama sering dipahami sebagai sekumpulan perintah Tuhan yang mengandung tata aturan, norma-norma tertentu yang harus diterima dan diyakini oleh pemeluknya sebagai suatu kebaikan dan kebenaran. Akan tetapi, berapa banyak umat manusia tersebut yang mau memandang eksistensi agama dari sudut pandang realitas sosial masyarakat.
Realitas sosial yang terjadi dapat memberikan gambaran kondisi sesungguhnya tentang pemahaman masyarakat terhadap agama yang dipeluk. Kekalutan, ketidaknyamanan, keresahan masyarakat akibat tindakan kriminal oknum tertentu dapat dipahami bahwa individu-individu tersebut kurang memiliki kesadaran untuk memahami agamanya secara benar. Begitu pula jika di suatu pemukiman masyarakat tercipta ketentraman, kerukunan dan kedamaian tentu itu merupakan cerminan dari sikap hidup masyarakatnya yang sadar selaku umat beragama. Jelas yang demikian merupakan kondisi yang ideal adanya.
Namun, berharap dengan kondisi ideal tersebut tidaklah cukup. Ragam permasalahan lain terus bermunculan. Realitas sosial yang tampak belum bisa dijadikan tolak ukur dalam menggambarkan keberagamaan suatu masyarakat. Sebagian masyarakat sudah merasa cukup beragama jika dapat menggunakan simbol-simbol agamanya, melakukan ritual-ritual keagamaan dan hal-hal yang menjadi kebiasaan mereka dan dapat dilihat secara prilaku fisik. Akan tetapi, di sisi lain segala simbol, ritual peribadatan tersebut seakan tidak memberi pengaruh dalam perubahan dan perbaikan sikap di masyarakat. Senada dengan Awidya Santikajaya dalam artikelnya dalam Jawa Pos 2005, Agama memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia, tetapi hanya sebatas ritual, simbolistik, dan formalisme belaka. Kenyataannya, agama sebagai roh spiritualisme tidaklah benar-benar hadir di hati masyarakat sebagai solusi atas berbagai masalah yang menimpanya.
Padahal, pada hakikatnya, agama adalah untuk kebahagiaan dan kemuliaan pemeluknya. Jangan-jangan, sebagai umat beragama, namun tidak menjalankan dan bahkan tidak mengetahui hakikat keberagamaan. Dalam berbagai kitab suci agama dijelaskan bahwa tuntutan fundamental iman pada intinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil (awidyasantikajaya.blogspot.com).
Pandangan demikian tidak bermaksud menyeret masyarakat untuk berpikir instan. Menginginkan perubahan sosial terjadi secepat mungkin. Sebab segala sesuatu yang dinamis memerlukan proses. Demikian halnya realitas sosial yang ada merupakan proses sosial masyarakat menuju perubahan mental dan prilaku. Sebagaimana yang dikatakan Robert H. Lauer (2003: 190), menekankan realitas sebagai proses adalah menekankan kenormalan perubahan.
Sederhananya, agama selain dimengerti sebagai sistem kepercayaan kepada realitas mutlak (Tuhan) juga dipahami sebagai sistem nilai di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga benar-benar menjadi pedoman masyarakat dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian kehidupan bersama.
2. Fungsi Sosial Agama
Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya. Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peran serta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari “tiga agama demokrasi”, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi.
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agama berperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
2. Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
a. Perbedaan doktrin dan sikap mental. Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama. Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c. Perbedaan tingkat kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut. Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme.
d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama. Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas. Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.( arifinzain.wordpress.com)
3. Agama sebagai kritik-Profetik
Sebenarnya fungsi kritik-Profetik pada agama sangat erat hubungannya dengan sistem pengendalian sosial (Social Control) di masyarakat. Dikatakan demikian karena pengendalian sosial mencakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Demikian yang diungkapkan oleh Joseph S. Roucek dan Associetes dalam Soerjono Soekanto (2002: 205).
Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh siapa saja. Baik secara individu terhadap kelompok maupun sebaliknya. Salah satu kelompok yang memiliki wewenang dalam pengendalian sosial ini adalah umat beragama yang meyakini ajaran agama sebagai norma kritik sosial.
Perputaran peran agama sebagai sumber inspirasi dan legitimasi ini akan terus berlangsung. Munculnya gelombang-gelombang yang disebut reformasi dan heresy dalam berbagai tradisi adalah bukti yang tak bisa dimungkiri. Sebagaimana pernyataan Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dipahami bahwa selain sebagai sumber legitimasi, agama memang bisa menjadi tenaga perubahan dan transformasi. Yakni, ketika agama berhasil memainkan perannya sebagai kritik sosial, seperti telah diperlihatkan oleh para nabi, kaum pembaharu, dan tokoh-tokoh karismatis lain (kompas.com).
Dan inilah yang dibutuhkan sekarang. Agar efektif memainkan peran kritik sosial, dalam beragama kita mesti mau berangkat dari pengalaman konkret. Dulu Al-Quran, misalnya, disingkap ayat demi ayat guna menanggapi masalah aktual yang dihadapi zaman dan lingkungannya. Wahyu adalah wujud komunikasi interaktif yang amat intensif antara penghuni bumi dan Sang Ilahi. Dan iman adalah respon dan komitmen manusia real atas persoalan-persoalan yang juga nyata. Sebab, kebenaran memang adalah pergumulan manusia tanpa henti dengan dunia dan makna yang dipertaruhkannya.
Sebagai kritik sosial, agama tidaklah pertama-tama buat menghujat dan menghardik siapa saja yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, kritik berangkat dari maksud amar ma'ruf nahi munkar, guna memperbaiki kenyataan, guna menyongsong kehidupan bersama yang lebih lapang dan matang. Ia sekaligus adalah koreksi, revisi, dan apresiasi dengan panduan visi yang terang dan terbuka. Suatu ikhtiar yang hendak membawa kehidupan pada keleluasaan dan ketenteraman. Jelas, kritik bukanlah semata protes, apalagi kutukan.
Sebagai kritik sosial, di tengah berkecamuknya konflik seperti Poso dan bayang-bayang ketegangan hubungan antarkelompok di mana-mana, karena itu semestinya agama adalah tenaga yang mendorong kita untuk berdialog dan bekerja sama lintas iman demi perdamaian seperti dirintis Th. Sumartana. Di tengah kemelaratan umat dan ketimpangan ekonomi, agama semestinya menjadi energi pemberdayaan orang-orang pinggiran, seperti digagas Moeslim Abdurrahman dan almarhum Romo Mangunwijaya.
Saat ini umat beragama harus kembali kepada jati diri ajaran agamanya yakni sebagai intrumen pembebasan, yang senantiasa bertindak sebagai kritik sosial. Bukan sebagai alat bagi penguasa untuk kepentingan politik golongan, sebab hakikat agama adalah universal, yaitu sebagai saluran keselamatan bagi semua orang, maka agama harus berjuang bagi segenap orang, bagi semua lapisan masyarakat. Meminjam istilah Eusta Supono (2007: 71), agama dan politik harus terjadi simbiosis mutualisma kritis, hubungan yang saling menguntungkan bagi banyak orang sekaligus terbuka terhadap koreksi.
Di tengah oportunisme kelompok-kelompok politik dan keserakahan kalangan elite yang cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, agama hendaknya menjadi daya kritis dalam memelihara akal sehat umat. Di tengah sistem pendidikan yang mandul, imajinasi sosial yang dangkal, dan moral yang membusuk, agama hendaknya menjadi api yang menghidupkan nalar, nurani, dan harapan.
Dengan ini, bukan berarti agama sebagai institusi tidak penting. Sebab, institusi-institusi seperti agama inilah yang memungkinkan anyaman kehidupan sosial dapat terjalin dan bekerja. Tapi ketika agama dibiarkan membeku semata sebagai institusi, ia menjadi sekadar sarana legitimasi, menjadi tameng kemalasan dan kekerdilan, bahkan genderang perang perebutan klaim kebenaran.
Para tokoh agama perlu mengembangkan fungsi profetik agama yang dapat memandu manusia keluar dari krisis kebudayaan dan kemanusiaan dalam globalisasi ini. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun tafsir ulang yang lebih kritis atas teks-teks kitab suci sehingga menemukan petunjuk-petunjuk dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.( kompas.com).
Solusi untuk Permasalahan Umat
Abdul Munir Mulkhan menegaskan, kesetiaan pada keyakinan agama harus dibuktikan dengan kesediaan dan kemampuan menunjukkan bukti kepada dunia tentang kehebatan agama dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pemeluknya dan umat manusia seluruhnya.
Agama akan terus dihadapkan pada posisi krusial dan sulit menjadi rujukan bagi pemeluknya dalam menyikapi perubahan kehidupan yang semakin cepat, jika tidak dibangun sikap kritis terhadap tafsir-tafsir kitab suci. Karena itu, perlu dikembangkan sikap kritis terhadap segala tafsir yang telah kehilangan konteks zaman. Melalui kritik yang proporsional, agama bisa berfungsi kembali sebagai jawaban atas persoalan umat manusia seperti pertama kali diwahyukan. Pada saat diturunkan, agama mampu memandu manusia menyelesaikan krisis yang dihadapi ketika itu. Demikian yang dikatakan Abdul Munir Mulkhan (kompas.com).
Kerja sama antar-agama
Zainal Abidin Bagir mengusulkan, agar agama-agama bekerja sama dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin serius. "Semua agama harus berbagi tantangan yang sama karena globalisasi memunculkan berbagai persoalan yang besar. Dialog antara Islam dan Barat perlu dikembangkan dan isu-isu lokal serta global perlu dibicarakan bersama-sama.
Menurut Aden Widjan, kehidupan sosi-religius sangat penting dalam menumbuhkan harapan bagi keberlangsungan hidup manusia. "Harapan itu bisa semakin besar jika bangunan teologi agama dikembangkan untuk merespons masalah-masalah aktual seperti kemiskinan, krisis kemanusiaan, dan korupsi. Tafsir agama harus menjadi gerakan penyadaran untuk mengatasi masalah kemanusiaan.
Lebih lanjut Aden mengatakan, para tokoh agama harus memunculkan substansi transformatif agama sebagai teologi yang melawan segala bentuk eksploitasi dan penindasan yang dilakukan berbagai bentuk kekuasaan.
Bagi Nicholas Warouw, globalisasi merupakan keniscayaan sejarah yang melanda semua umat manusia. Karena itu, proses globalisasi harus didukung dan diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. "Kita jangan terus terjebak pada dikotomi Barat-Timur karena pembagian itu produk zaman kolonial yang ditumbuhkan untuk memecah belah bangsa. Barat dan Timur harus bekerja sama untuk membangun peradaban.
Warouw menekankan pentingnya pembangunan solidaritas kosmopolitan bagi umat manusia. "Semua individu hendaknya melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat internasional sehingga bisa membuka diri untuk bekerja sama dan memperhitungkan kepentingan pihak-pihak lain di dunia," tambahnya. (kompas.com).
Dari pemikiran masing-masing tokoh agamawan dan sosiolog tersebut dapat dipahami bahwa tantangan umat beragama di zaman sekarang lebih kompleks. Diperlukan kesiapan mental spiritual dan intelektual dari pemuka dan pemeluk agama guna menghadapi arus negatif global di setiap aspek kehidupan bermasyarakat.
Penutup
Manusia selaku makhluk religius sudah semestinya bisa belajar dari berbagai peristiwa di masa lampau. Apakah peristiwa itu menunjukan kebobrokan moralitas akibat penyelewengan ajaran murni agama ataupun kejayaan suatu peradaban manusia yang menjadi cerminan kesuksesan masyarakat pada waktu itu dalam memahami dan menghayati agama secara baik di dalam kehidupan.
Menjadi masukan bagi seluruh umat beragama untuk kembali memahami dan menghayati ajaran agama masing-masing. Karena secara substansi, agama mengandung dogma untuk membimbing dan membangun citra positif pemeluknya dan sebagai pelaku perubahan sosial di masyarakat melalui peran kritik sosial profetik.
Berbagai permasalahan yang melanda pada tubuh umat beragama dapat diatasi atau dicarikan solusinya. Jika seluruh umat beragama tersebut mau bekerja sama, saling menghormati, bersikap terbuka, dan berpikiran luas dalam mendukung terciptanya ketentraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bahkan masyarakat global.

DAFTAR PUSTAKA
Dadang Kahmad, 2000. Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Eusta Supono, 2007. Agama: Solusi atau Ilusi ? Kritik atas Kritik Agama Karl Marx, Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia.
Robert H. Lauer, 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto, 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada.

0 komentar:

Posting Komentar

NASYID & RELIGI ISLAMI


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design