Tampilkan postingan dengan label Dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dakwah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 April 2012

Optimalisasi Peran Da’i terhadap Muallaf di Daerah Pedalaman

A. Pendahuluan
Kalimantan adalah salah satu propinsi yang dikenal memiliki kawasan yang masih tergolong luas dan jarang penduduknya wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia). Apalagi jika ditinjau ke beberapa daerah pedalaman. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa di daerah pedalaman tersebut adalah daerah terpencil dan masih alami. Artinya daerah yang masih subur ditumbuhi aneka flora dan ditempati beberapa spesies fauna. Di sana sini hutan lebat. Tempat tersebut belum disentuh oleh berbagai perkembangan dan kemajuan zaman. Apakah anggapan tersebut berlaku untuk semua kawasan pedalaman,tentu tidak. Ada beberapa daerah pedalaman yang sudah disentuh perkembangan zaman. Penduduk setempat sudah mulai terbuka dengan orang luar. Sehingga, memungkinkan pula para da’i untuk memasuki daerah tersebut dan secara bertahap melakukan dakwah di sana. Bahkan ada sebagian kecil penduduk yang cenderung hatinya kepada Islam dan telah membuktikan keimanannya melalui ucapan syahadat. Ini berarti perlu adanya pembinaan muallaf di sana.
Dakwah merupakan seruan, ajakan yang menuntun manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran. Karena pada hakikatnya sudah menjadi fitrah manusia, bahwa akan menyambut seruan dan amanah agama Allah demi menciptakan perdamaian dunia melalui risalah Rasul-Nya yang rahmatallil ‘alamin. Sebagaimana Shalih bin Muhammad Al’Ulaiwi (2003: 5-6) menjelaskan bahwa tabiat manusia yang mau menerima risalah agama tersebut terbukti dengan penerimaan mereka terhadap perubahan dalam akhlak, tradisi dan adat-istiadat mereka sendiri.
Oleh sebab itu, penting bagi para Da’i melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tersebut kapan dan di mana pun ia berada. Para Da’i tidak harus membatasi secara sempit baik dari waktu, tempat (medan dakwah) maupun mad’u (objek dakwah).
Sebagai da’i yang dikhususkan terjun ke daerah pedalaman sudah seharusnya terlebih dahulu melakukan berbagai persiapan matang. Baik persiapan diri pribadi maupun persiapan teknis di lapangan nantinya. Berdasarkan tema makalah yakni Optimalisasi Peran Da’i terhadap Muallaf di Daerah Pedalaman, berikut ini kita fokuskan bahasan makalah melalui beberapa sub bahasan.
1. Persiapan Da’i
2. Metode Dakwah di Pedalaman
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Demikian sub bahasan yang akan kita kaji. Semoga paparan makalah ini tidak hanya pada tataran kajian atau presentasi. Lebih dari itu, akan digunakan sebagai pegangan jika suatu saat ditugaskan untuk membuat peta dakwah suatu daerah dan ditempatkan sebagai da’i di sana. Insya Allah.

B. Pembahasan

1. Persiapan Da’i
Untuk memantapkan diri da’i baik secara jasmani maupun rohani ( mental) sebelum bertugas ke lokasi yang telah ditentukan, maka alangkah baiknya dipersiapkan terlebih dulu segala yang berhubungan dengan keperluan selama berdakwah di sana. Karena dapat dimengerti bahwa perjalanan menuju daerah terpencil adalah perjalanan jauh dan cukup melelahkan. Berdasarkan keterangan kondisi geogafis di bagian tengah pulau merupakan wilayah bergunung-gunung dan berbukit (wikipedia.org.wiki).
Adapun persiapan tersebut adalah barang-barang yang umum dan biasa dibawa untuk keperluan perjalanan jauh. Seperti pakaian pribadi lengkap dan tergolong sederhana (tidak terlalu mewah) dalam jumlah secukupnya, perlengkapan pribadi lainnya untuk keperluan sehari-hari (seperti perlengkapan mandi dan lain-lain), perlengkapan kesehatan pribadi (obat-obatan seperlunya dan olah raga secara teratur), perbekalan konsumsi secukupnya.
Selain itu, sebagai da’i mestilah menguasai ilmu baik pendekatan teori maupun prakteknya. Ilmu dengan pendekatan praktek atau terapan sering kali digunakan apalagi ketika da’i berada dilapangan. Misalnya ilmu bercocok tanam dan peternakan yang sangat cocok diterapkan di daerah pedalaman. Cukup banyak ilmu penting yang mesti diketahui agar da’i mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat setempat. Termasuklah disiplin ilmu agama seperti ilmu dakwah, aqidah Islam, fiqih sehari-hari, tahsinul Qur’an, ilmu perbandingan agama, psikologi dakwah, sosiologi dakwah dan ilmu-ilmu pokok lainnya yang dianggap perlu. Sedangkan untuk disiplin ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi dan lainnya. Said Al-Qahthani (2001: 23), mengatakan bahwa bagi da’i ilmu adalah faktor utama dan terkuat guna mencapai kesuksesan. Allah Swt. mewajibkan seseorang berilmu lebih dahulu sebelum beramal dalam firman-Nya :
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal (QS. Muhammad : 19).
Dan yang terpenting bagi da’i adalah kondisi keimanan dan ketakwaan yang selalu terjaga. Itu sebabnya perlu persiapan matang semacam demikian sebelum bersafar ke pelosok desa. Persiapan demikian dilakukan demi suksesnya berdakwah khususnya di daerah pedalaman.
Sebenarnya persiapan tersebut tidaklah serumit dan sesulit semasa berdakwah pertama kali ke daerah pedalaman yang belum ada muallafnya. Karena, tugas da’i kali ini cukup melanjutkan pembinaan terhadap mad’u yang sebelumnya sudah memahami sedikit tentang Islam yakni muallaf. Para muallaf adalah mereka yang telah menyambut seruan dakwah sesuai kesadaran nurani mereka. Namun, masih minimnya pemahaman mereka terhadap “aqidah asing”yang baru mereka yakini dapat memungkinkan sebagian dari mereka akan goyah dan cenderung hatinya kembali kepada keyakinan nenek moyang mereka.
Sebagai da’i tentu tidak akan memandang remeh diri muallaf yang hidup serba terbatas dan sederhana di daerah pedalaman. Dengan kata lain, da’i harus bisa memahami kondisi mereka dengan penuh keramahtamahan. Bahkan, da’i dianjurkan untuk membaur di kehidupan mereka sehingga pendekatan emosional terhadap mereka dapat dilakukan. Namun demikian, pendekatan yang dilakukan tersebut masih dalam batasan-batasan syariat.
Maka dari itu, menurut Said Al-Qahthani (2001 : 97) da’i harus mengerti bahwa manusia terbagi ke beberapa kelompok. Diantara mereka ada kalangan mulhid (atheis), musyrik, yahudi, nasrani, munafik, dan kalangan muslimin ‘ashi (berbuat maksiat). Namun untuk para muallaf pedalaman pada umumnya mereka adalah mantan penganut animisme, totemisme yang sangat erat hubungannya dengan penyembah berhala dan roh nenek muyangnya. Selain itu, mad’u juga terbagi berdasarkan potensi pribadi yakni kemampuan akal (IQ-nya), ilmiyahnya, kesehatannya, ada yang tidak bisa baca dan tulis), serta berdasarkan status sosial seperti pemuka masyarakat, rakyat biasa, kaya dan miskin dan sebagainya. Bahkan terhadap asal kesukuan muallaf perlu diperhatikan apakah kebanyakan asli suku pedalaman seperti dayak atau suku pendatang. Karena masing-masing suku memiliki karakteristik tertentu yang berbeda satu sama lain.
Di dalam penyusunan perencanaan program dakwah, sebelum da’i terjun ke sana haruslah memperhatikan terlebih dahulu kondisi strategis baik secara geografis, sosiologis, maupun antropologis. Biasanya da’i yang bertugas sebagai peninjau kondisi lokasi disebut dengan tim survei. Dari hasil laporan tim survei tersebut paling tidak dapat diketahui kondisi strategis medan dan obyek dakwah. Dan melalui laporan inilah penyusunan strategi dan pemetaan wilayah dapat dilakukan. Sehingga memudahkan dalam merumuskan langkah-langkah konkrit dan targetan dakwah.
Demikian pula tugas penyusunan peta dakwah tersebut diambil alih oleh tim pengkaji dan perumusan stategi. Bukan lagi dibebankan kepada da’i yang akan diberangkatkan. Melalui pembagian tugas seperti inilah yang akan mempermudah pengorganisasian program dan pencapaian target. Sehingga, kerja dapat dijalankan secara teratur dan sistematis. Keteraturan tersebut biasa dikenal dalam organisasi dakwah sebagai manajemen dakwah. Oleh sebab itu, perlu adanya kesatuan pemahaman antara tim survei, tim pengkaji, dan tim lapangan terhadap ilmu manajemen dakwah.
2. Metode Dakwah di Pedalaman
Di dalam memahami metode dakwah Moh. Ali Aziz (2004 : 121) mengistilahkannya dengan thariqah. Menurut beliau thariqah adalah metode yang digunakan dalam berdakwah. Said Al-Qahthani (2001 : 99) mengistilahkan metode dakwah dengan Asalibu Dakwah yakni ilmu yang mengantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang cara penyampaian dakwah (ilmu tentang retorika dakwah dan ceramah), sekaligus menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan dakwah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai da’i untuk menyampaikan risalah dakwah (Islam). Tentang metode dakwah dapat diketahui dalam surah an-Nahl (QS.16: 125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dalam ayat ini, metode dakwah terbagi tiga, yaitu : a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan (Moh. Ali Aziz, 2004: 123). Berikut ini akan dikaji satu persatu mengenai metode dakwah yang bagaimana yang sesuai digunakan dalam pembinaan muallaf pedalaman.
Secara bahasa ‘hikmah’ disinonimkan dengan kata ‘bijaksana’ yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kearifan dalam menggunakan akal pikiran sesuai dengan pengalaman dan ilmunya (Moh Ali Aziz, 2004 :127). Sesuai dengan pengertian metode hikmah tersebut, dapat dipahami ketika da’I melakukan proses pembinaan dan bimbingan muallaf. Para muallaf harus dibina dengan cara yang baik dan benar. Artinya da’i harus menyampaikan ajaran agama dengan sopan santun dan penuh kesabaran. Sangat utama dalam berdakwah untuk menghindari menyinggung hal-hal aib pribadi muallaf. Apalagi sampai mendoktrinasi secara berlebihan atau mengecam kebebasan seseorang dalam berpendapat. Dengan kata lain seorang da’I harus menjaga akhlak sebagai da’i terhadap mad’unya.
Metode kedua, mauizatul hasanah pelajaran yang baik. Said Qutub dalam Moh ali Aziz ( 2004 : 130) berpendapat bahwa mauizat hasanat adalah sesuatu yang masuk ke dalam hati yang lembut dan orang yang mendapat pelajaran itu merasakan dapat peringatan halus dan mendalam. Kaitan mauizat sebagai metode dakwah dipaparkan Ali Aziz (2004 : 130) sebagai suatu metode dengan menggunakan dalil-dalil, argumentasi yang tepat sehingga orang yang diseru menjadi puas menerima pelajaran (ilmu yang diberikan). Artinya da’I mestilah memperhatikan isi kandungan pesan atau nasihat dakwah yang akan disampaikan kepada muallaf. Kejelasan dalil sangat mendukung para da’i dalam meyakinkan mad’u akan kebenaran yang disampaikannya. Di dalam pembinaan muallaf tidak lepas dari nasihat-nasihat kebaikan yang mampu menggugah dan memberi semangat mereka agar istiqamah dalam keberislamannya.
Ketiga, metode mujadalah (berdebat dengan cara yang baik), metode ini digunakan ketika menghadapi mereka yang memiliki ilmu dan wawasan cukup luas. Artinya, da’i hendaklah terbuka dalam berdakwah. Apabila ada mad’u membantah suatu pesan dakwah maka da’i harus menyanggahnya dengan jawaban dan argumentasi yang jelas (Moh. Ali Aziz, 2004: 132) .
Namun, pada umumnya metode mujadalah tersebut sebenarnya belum perlu untuk digunakan terhadap muallaf pedalaman. Karena berdakwah di kalangan muallaf pedalaman metode yang lebih dekat dengan kehidupan mereka adalah pembinaan aqidah dan akhlak islami.
Melalui pendekatan dengan lingkungan muallaf yang masih alami diharapkan mereka dapat belajar dari alam untuk memahami kebesaran dan kekuasaan Allah Swt dalam menciptakan makhluknya. Dalam suasana di alam bebas seperti itu, da’i lebih leluasa memberikan nuansa kesejukan batin bagi para muallaf. Misalnya di saat muallaf bekerja di hutan, da’I dapat ikut serta dan sambil berbincang-bincang dengan muallaf. Muallaf diajak untuk memperhatikan dengan baik fenomena apa saja yang terjadi di sekitarnya. Aneka flora dan fauna yang sehari-hari mereka kenal. Secara tidak langsung mereka telah membaca ayat-ayat kauniah dari Al Quran yakni alam semesta ini. Pembinaan seperti inilah yang mampu memahamkan muallaf tentang ketauhidan Allah Swt.
Da’i dapat pula menuntun muallaf dengan membahasakan bahasa agama dengan bahasa keseharian mereka. Da’I harus sedikit menguasai bahasa yang biasa mereka gunakan dalam berbagai aktifitas. Dan lebih mempermudah da’I jika muallaf sedikit menguasai bahasa Indonesia. Apabila belum mencapai demikian, da’I harus mempunyai kenalan salah satu penduduk setempat di sana yang sudah mengenyam pendidikan formal. Melalui kenalan atau teman tersebut da’I dapat bekerjasama untuk mengajari bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh mereka. Oleh sebab itu penting bagi da’I untuk mempersiapkan bahasa pengantar guna menyampaikan pesan dakwahnya.
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Penting untuk diperhatikan bagaimana tanggapan atau respon muallaf sebagai mad’u dan masyarakat setempat terhadap keberadaan da’i dan pembinaannya di pedalaman. Karena dengan mengetahui respon tersebut ada hubungan komunikasi timbal balik positif yang dihatapkan. Yakni muallaf dapat memahami secara baik dan benar tentang Islam yang dipilihnya sebagai agama dan sistem tatanan hidup. Mereka memilih Islam tidak dengan keterpaksaan apalagi diiming-imingi, melainkan dengan kesadaran dan ketulusan hati nurani mereka. Oleh karena mereka lebih dahulu memperoleh hidayah dari Allah Swt., maka setelah mereka memperdalam dan benar-benar menguasai ilmu keislaman serta komitmen dalam keimanannya kepada Allah Swt. Mereka dapat disiapkan untuk juga menjadi da’i dan membina masyarakat mereka sendiri. Sehingga hidayah tersebar di berbagai pelosok.
Begitu pula selama da’i menetap di sana tentu interaksi tidak hanya dengan para muallaf, dengan masyarakat setempat juga akan terjadi. Apalagi di daerah pedalaman masih tergolong kawasan pedesaan yang mayoritas masyarakatnya adalah suku tertentu yang sangat kuat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Rasa solidaritas tersebut dapat da’i ketahui jika da’i memperhatikan bagaimana respon masyarakat tersebut terutama aktifitas keseharian da’I yang lebih sering disoroti. Jika masyarakat menganggap da’i adalah tamu yang perlu dimuliakan kedatangannya. Maka biasanya da’i banyak disuguhkan aneka makanan dan buah-buahan bahkan pertunjukan tarian adat mereka. Masyarakat akan merespon secara positif dan menganggap da’i adalah orang baik jika da’i sendiri menunjukan sikap ramah dan senang menolong orang lain. Dengan kata lain, jika menginginkan respon positif dari masyarkat sudah semestinya da’i memiliki akhlak islami yang disesuaikan dengan kondisi pemahaman masyarakat tersebut.
C. Penutup
Akhirnya dapat dipahami bersama bahwa sebelum da’i ditugaskan untuk berperan sebagai pembina para muallaf di daerah pedalaman. Terlebih dahulu mempersiapkan dirinya dengan perencanaan yang matang dari segala aspek yang diperlukan baik sebelum keberangkatan, ketika di lapangan maupun sepulang dari daerah yang dituju.
Adapun aspek-aspek tersebut antara lain persiapan pribadi da’i seperti wawasan keilmuan agama dan umum, akhlak sebagai da’i, dan kekokohan mental. Perihal tersebut sangat menekankan pada potensi diri da’i. Selain itu, da’i harus mempersiapkan kesehatan jasmaninya dan mampu menjaga tubuhnya agar tetap sehat dan bertenaga seperti membawa obat-obatan pribadi dan berolah raga secara teratur. Perbekalan pribadi lainnya seperti pakaian yang tidak terlalu mewah. Begitu pula perlengkapan konsumsi yang mencukupi. Semua persiapan tersebut direncanakan dengan pertimbangan keperluan saat dalam perjalanan dan ketika beraktifitas dilapangan.
Kajian peta dakwah juga penting guna menentukan target dakwah selanjutnya. Hal tersebut akan terwujud apabila terjalin kerjasama yang baik dalam tim organisasi dakwah. Dengan kata lain da’i tidaklah bertugas secara sendiri-sendiri dalam berdakwah.
Di dalam ilmu dakwah dikenal metode a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan. Dari ketiga metode tersebut, metode mujadalah billati hiya ahsan ( berdebat dengan cara yang baik) belum begitu diperlukan di daerah pedalaman. Karena para muallaf pedalaman lebih menerima pendekatan pemahaman ayat-ayat kauniah Al Quran.
Adapun respon positif muallaf adalah mereka dapat berkomitmen terhadap keberislaman dan keimanannya kepada Allah dan bersedia membina masyarakatnya sendiri untuk menunjukan jalan hidayah sebagaimana yang ia dapatkan. Begitu pula dengan masyarakat setempat akan menyambut positif para da’I jika dai selalu berakhlak islami dan menjalin hubungan baik dengan mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004.
Said Bin Ali Bin Al- Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan da’I di Medan Dakwah, Pustaka Arafah, Solo, 2001.
wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia

Citra Da’i di Mata Masyarakat

A. Pendahuluan
Pada umumnya di mata masyarakat yang layak diberi gelar sebagai Da’i adalah mereka yang dipandang dan disegani sebagai seseorang ustadz, alim ulama, atau kiyai yang memiliki kapasitas ilmu agama yang tinggi dan mendalam. Menurut masyarakat Da’i yang mereka maksudkan haruslah mereka yang terhindar dari dosa dan maksiat. Mereka adalah orang-orang yang kuat memegang amanah agama. Sehingga sudah sepantasnya mereka menjadi panutan bagi jamaah (mad’unya).
Mereka harus populer di masyarakat. Apakah populer karena gelar yang dimiliki menjadi ajang profesi, ataupun karena melalui pendekatan peran (roel) di masyarakat. Misalnya ia sering diminta untuk mengisi acara-acara keagamaan di masyarakat, seperti ceramah agama , menjadi khatib pada shalat jumat, kuliah tujuh menit, dan sebagainya. Atau ia dipilih menjadi ketua RT di sekitar wilayah domisilinya. Atau sebab-sebab lain yang membuat dirinya dikenal banyak orang, dan saat itulah kesempatannya menambah jumlah mad’u.
Masyarakat mengenal da’i dengan berbagai macam sebutan di antaranya juru dakwah, mubaligh, penyuluh agama, dan penceramah. Kebanyakan dari masyarakat memandang seorang da’I dari sudut tugas da’i yang biasa tampak di lapangan. Seperti berceramah, berpidato, berkhutbah, atau aktifitas yang bernuansa tausiayah dari masjid ke masjid, majelis ta’lim, atau acara keagamaan lainnya. Akan tetapi, adapula masyarakat yang memahami betul karakteristik seorang da’i yang sesungguhnya. Menurut mereka, da’I tidaklah hanya bertugas sebagai pembicara, penceramah, khatib, dan lainnya yang jika suatu waktu diperlukan selalu siap. Namun lebih dari itu, menjadi tugas sekaligus tanggungjawab moral seorang da’I agar memahami dengan sebenar-benarnya terhadap perannya sebagai unsur perubah (agent of change) suatu tatanan di masyarakat. Ia harus memperjuangkan nilai-nilai etika dan moral yang terangkum dalam ajaran agama. Masyarakat perlu bukti rill bukan sekedar kata-kata. Artinya, da’I harus mampu membaur dan beradaptasi di masyarakat. Begitupula dengan kepribadian diri da’I itu sendiri, ia harus memiliki tekad baja untuk mempertahankan diri di jalan kebaikan dan kebenaran. Sehingga, setiap aktifitas yang dilakukannya hanyalah semata mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesuai dengan sudut pandang yang berlainan tersebut, masyarakat terlupa suatu hal tentang da’i. Yaitu posisi da’I sebagai manusia yang dhaif, selalu ada kekurangan. Memang tidaklah salah ketika masyarakat menuntut agar seorang da’I haruslah hanif dan bebas dari belenggu dosa. Akan tetapi, kemampuan masing-masing pribadi da’i itu sendiri jelas berbeda-beda. Sebagai manusia, mereka juga memiliki keterbatasan dalam beberapa hal. Oleh sebab itu, da’i yang dikenal sebagai penyeru ke jalan kebaikan juga mesti diseru atau diingatkan agar istiqamah dengan apa yang telah disampaikan. Ibarat sebuah bola tenis yang kita pantulkan ke dinding, semakin kuat kita melempar semakin keras pantulannya ke arah kita. Dengan kata lain, pesan-pesan dakwah yang da’i sampaikan kepada orang lain pada hakikatnya untuk diri pribadi da’i sendiri.
Beranjak dari wacana di atas, penulis akan memfokuskan bahasan makalah pada :
1. Definisi Da’i .
2. Citra Da’i di Masyarakat .
3. Sifat Da’i Teladan.
4. Peranan Da’i di Masyarakat ?
Dengan demikian, keempat sub bahasan tersebut insya Allah, akan melengkapi dan menambah khazanah keilmuan para pembaca khususnya materi tentang Citra Da’i di Mata Masyarakat. Semoga bermanfaat dan termotivasi untuk beramal.
B. Pembahasan
1. Definisi Da’i
Sebagaimana paparan pada pendahuluan di atas, Da’i biasa disebut pula juru dakwah, pembawa risalah agama. Dan karena istilah Da’i bersumber dari agama Islam, maka Da’i yang dimaksud adalah mereka yang melakukan tugas dakwah demi mempertahankan eksistensi agama Islam dan menyebarkan kebaikan ke seluruh dunia. Mohammad Ali Aziz ( 2004: 75) mengartikan bahwa da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga.
Seperti yang telah disinggung pada pemaparan sebelumnya, kata da’I ini secara umum masyarakat sering menyebutnya dengan sebutan mubaligh (orang yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah) , dan sebagainya (Moh.Ali Aziz, 2004 : 79). Padahal sebagai kaum muslimin yang mengaku sebagai umat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam seharusnya menyadari akan tugas dan tanggungjawab mereka. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memikul tugas kenabian tersebut dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab. Beliaulah yang pertamakali mencontohkan kepada umatnya sebagai sosok Da’i yang ideal. Beliau tidak hanya berwasiat, berkhutbah di hadapan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal tersebut terbukti pada sifat dan sikap beliau yang selalu sejuk, ramah, penuh dengan kasih sayang kepada para sahabatnya.
Maka dari itu, semua pribadi muslim pada dasarnya layak sebagai mubaligh. Namun, Toto Tasmara dalam M. Ali Aziz (2004: 80) menyebutkan bahwa yang berperan sebagai Da’i secara umum adalah setiap muslim dan muslimat mukallaf (dewasa). Dan secara khusus bagi mereka yang mengkhususkan diri sebagai Da’i profesinal seperti ulama.
2. Citra Da’i di Masyarakat
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.
Di kalangan umat muslim sendiri sebutan Da’i sudah memasyarakat. Sosok da’i mereka kenal sebagai orang yang mengerti dan memahami betul seluk beluk ajaran agama Islam. Bukan hanya itu, melalui prilaku keseharian Da’i yang patut diteladani oleh masyarakat. Misalnya peduli dengan keresahan dan kebimbangan masyarakat dalam memaknai kehidupan beragama.
Namun, masyarakat sebagian mengenal Da’i hanya sebatas yang kerap mereka jumpai dikehidupan sehari-hari mereka. Ada sekelompok jamaah yang menamakan diri mereka pendakwah (da’i) dengan aktifitas berceramah dari masjid ke masjid, masuk dan keluar Desa, mengajak penduduk setempat untuk ikut berdakwah bersama mereka. Sehingga, dakwah yang dikenal hanya berkutat pada persoalan keakhiratan. Seperti keutamaan amal ibadah mahdhah (shalat, zakat, shadaqah, membaca Al Quran, zikir,dan lainnya). Dan dapat diacungi jempol bahwa dengan metode seperti ini, mereka dengan mudah merekrut orang lain untuk bergabung bersama mereka. Sebab, mad’u yang mereka ajak juga difungsikan sebagai da’I paling tidak untuk diri dan keluarganya ketika sepulang dari berdakwah di daerah lain.
Akan tetapi sebagian masyarakat lainnya kurang menerima dakwah seperti itu. Menurut mereka dakwah tidaklah cukup sebatas menyampaikan kebenaran ajaran agama yang diyakini. Lebih dari itu, masyarakat juga perlu bimbingan secara kontinyu mengenai ajaran yang telah disampaikan untuk bisa diaplikasikan secara baik dan benar sesuai dengan ajaran Da’i teladan umat Islam yakni Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Biasanya pendapat yang kedua tersebut dilontarkan oleh masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan atau mengkaji betul ilmu tentang dakwah. Bahkan sebagai da’i tidaklah cukup hanya ilmu agama yang harus diberikan. Karena keilmuan dan pemahaman masyarakat sangatlah berbeda. Sehingga, selain ilmu agama da’I juga harus memiliki wawasan yang cukup luas tentang ilmu umum. Misalnya dengan pendekatan disiplin ilmu sosial (sosiologi, antropologi, psikologi dan lainnya) Da’i akan mampu menyampaikan pesan dakwahnya ke masyarakat yang heterogen. Sedangkan masyarakat (mad’u) dapat memahami dan menerima pesan dakwah tersebut. Bukan berdasarkan pengalaman dan asas menduga-duga pada saat terjun di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, seorang Da’i juga memahami asas keilmiahan dalam berdakwah.
Jika tidak memperhatikan dan mempertimbangkan asas keilmiahan tersebut, maka akan terjadi kesalahpahaman baik terhadap dakwah maupun juru dakwahnya (da’i). Dakwah akan dipahami sebatas menyampaikan ilmu agama seperti yang Da’i lakukan di atas mimbar. Bahkan yang dapat mencoreng nama baik Da’i adalah oknum tertentu yang mengaku sebagai Da’i tetapi tidak mencerminkan kepribadian seorang da’i. Mereka berani menyampaikan ajaran agama yang sarat nilai etika dan moral. Namun dikesempatan lain mereka berprilaku kurang sopan terhadap orang lain dan agama lain. Atau berbuat melanggar hukum di masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. As Shaff : 3).
Dengan demikian, sudah saatnya Da’i dikenal oleh masyarakat dari berbagai kalangan baik umat Islam sendiri maupun umat lainnya, dari kalangan bawah (masyarakat sederhana) sampai kalangan atas (masyarakat elit).Da’i juga harus ramah dan sopan santun kepada siapa saja. Selalu tegar di jalan kebaikan. Dan tetap menjadi panutan masyarakat dalam mengarungi kehidupan.
3. Sifat Da’i Teladan
Di dalam mengenal sosok pengemban tugas kenabian ini, masyarakat tidak bisa lepas dari mengenal lebih dekat tokoh utama di dalam perjuangan risalah dakwah Islam. Beliaulah Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Karakteristik yang dimiliki Beliau Sallallahu ‘alaihi wa sallam selain sifat kenabian pada umumnya yakni amanah (penyampai), fathanah (cerdas), shiddiq (jujur), beliau juga memiliki sifat mulia sebagai rasul Allah. Dan sifat tersebut menurut Said al-Qahthani (2001: 95) sangat penting ada pada Da’i , seperti berdakwah dengan bashirah, penyantun, lembut, lunak, sabar, kasih sayang, pemaaf, lapang dada, tawadhu’, menepati janji, itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), pemberani, malu yang terpuji, dermawan, takwa, azimah (tekad yang kuat), bercita-cita tinggi, optimisme, teratur, teliti, menjaga waktu, bangga dengan Islam, menjadi qudwah (teladan) yang baik, zuhud, wara’, istiqamah, tanggap terhadap lingkungan, adil dan seimbang, tsiqah terhadap Allah (percaya akan janji Allah), bertahap dalam berdakwah, dan memulai dari yang terpenting kemudian yang penting.
Musthafa Ar-rafi’i ( 2002: 38-50) menjelaskan beberapa sifat Da’i tersebut berikut ini.
Syarat dan Sifat Da’i
Amal dan kegiatannya harus ikhlas karena mencari ridha Allah dan meraih pahala-Nya. Bila ia mencampur amalnya dengan salah satu dari semua tujuan duniawi maka sia-sialah amalnya dan rugilah ia. Mushthafa Masyhur (2000 : 19) menambahkan bahwa keikhlasan dalam berdakwah dapat memancarkan pesona tersendiri dan mampu menembus hati mad’u. Dalil atas hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan siapakah yang paling baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah…” Dan firman-Nya, “Dan hendaklah ada dari kamu satu kaum yang menyeru kepada kebaikan…”
a. Teladan dalam amal shaleh.
Da’i tidak dikenal selain kebaikannya. Tidak populer ia kecuali ketakwaannya dan komitmennya terhadap Islam, baik prinsip maupun perilakunya. Ayat Al Quran melarang kefasikan bagi Da’i, (QS Albaqarah: 44) dan (QS Ash-Shaff: 3).
Jika Seorang Da’i diharuskan bersih dari semua kemaksiatan maka kegiatan dakwah akan kosong secara total. Menempuh cara hikmah (bijaksana) terhadap orang-orang terpelajar dan intelek, dan melakukan metode mauizhah hasanah (nasihat yang baik) dalam menghadapi orang awam.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl: 125)
Cara hikmah tidak terwujud kecuali dengan nalar dan logika yang tinggi. Sedang cara mauizhah hasanah hanya terwujud dengan memakai uslub dan metode cerita dan bicara yang lembut, menyentuh perasaan dengan tamsil-tamsil, dilengkapi dengan sejarah para salafushaleh.
b. Menguasai ilmu yang sesuai dengan zamannya.
Ia menguasai teori dari berbagai aliran pemikiran, sehingga ia dapat membeberkan kesalahan atau bahayanya terhadap ajaran Islam. Dan sebagaimana yang dikatakan Toto Tasmara (2000 : 46) bahwa salah satu misi seorang muslim yakni memenangkan ajaran Islam dari segala ajaran, idiologi dan agama lain. Karena dijaman sekarang perang tidak hanya mempergunakan senjata fisik, tapi apa yang disebut al Ghazw al-fikri (perang pemikiran). Al Ghazw al-fikri adalah serangan pemikiran, budaya, mental, dan konsep yang dilakukan secara terus menerus dengan sistematik, teratur, serta terancang dengan baik (Irwan Prayitno, 2005 : 3). Umat Islam harus waspada dengan strategi musuh Islam tersebut. Karena al Ghazw al-fikri jelas dapat merusak kepribadian muslim dan menggoyahkan kekuatan umat Islam.
Lembut dalam menyampaikan nilai-nilai dan pandangan - pandangan serta lembut dalam mengingkari atau menolak kesesatan, kesalahpahaman dan berbagai kemaksiatan. Dalam literatur lain, sikap lemah lembut dan ramah ini diistilahkan ar-rifqu dan al-layyinu (Said Al Qahthani,2001: 161). Dalam hal ini, Al Quran menyebutkan :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Berdakwah dengan tujuan menarik manfaat dan menghilangkan kemudharatan, menolak kebiasaan dan menegakkan agama serta menghancurkan kekuatan lawan. Harus sabar dan tabah menghadapi cobaan dan siksaan. Said Al Qahthani (2001 : 180) mengutamakan kesabaran dalam segala hal bagi para da’I, Rasul Sallallahu ‘alaihi wa Sallam selalu diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. An Nahl : 127-128)
Mengetahui tabiat dan kejiwaan jamaahnya, dengan memperhatikan apa yang mereka inginkan, di samping harus menguasai cara beramuammalah dengan mereka. Da’i harus melakukan dengan kekuatan, apabila cara hikmah, mauizhah hasanah dan jidal/ debat yang baik tidak mempan. Karena lawan yang seperti ini tidak boleh dibiarkan.
4. Peranan Dai di Masyarakat
Da’i bukanlah mubaligh yang hanya berbicara di atas mimbar, memberikan tausiyah kepada masyarakat atau aktifitas semacamnya yang sudah lumrah dilakukan sebagian besar para da’i. Da’i memiliki peranan penting pada proses perubahan masyarakat. Mereka dikenal dan akrab dimasyarakat bukanlah karena kepandaian retorika semata. Akan tetapi kepiawaiannya dalam menuntun masyarakat untuk mewujudkan ketentraman dan kedamaian di lingkungan dapat terbukti di depan mata. Dan masih banyak yang dapat dilakukan da’i di masyarakat, berikut ini beberapa peranan seorang dai di masyarakat yang patut menjadi contoh.
Ø Da’i sebagai Pemimpin Masyarakat
Secara sederhana yang dimaksud pemimpin adalah seseorang yang diamanahi untuk memimpin bawahannya. Biasanya di dalam struktur organisasi pemimpin disebut ketua. Segala keputusan haruslah berada ditangan seorang ketua. Namun, Hisham Altalib (1996 : 52) menjelaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat.
Sehingga ciri-ciri kepemimpinan Islam harus dimiliki oleh seorang Da’i seperti setia terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala., memiliki tujuan demi kejayaan Islam, berpegang pada syariat dan akhlak Islam, dan sanggup mengemban amanat umat. Demikian yang disampaikan Hisham Altalib (1996 : 52-53).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan (QS. AlHijr : 41).
Ø Da’i sebagai Guru
Guru, ustadz, kiyai, atau apapun sebutannya da’i adalah pengajar, pendidik dan pembimbing masyarakat di dalam memahami ajaran agama. Sebagaimana seorang guru yang baik, da’i jelas memiliki kejujuran, kesabaran, ketelitian, dan keteladanan di dalam menurunkan ilmunya ke masyarakat. Begitulah metode Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. mendidik para sahabat ra. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa sallam sangat santun dan hikmah dalam mengajarkan ilmunya. Belum pernah para sahabat diperlakukan kasar oleh Beliau. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. selalu terbuka untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bukti sejarah menjelaskan bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. mampu mendidik masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang cinta ilmiah. Maka dari itu, da’I yang berperan seperti layaknya seorang guru harus memperbanyak khazanah keilmuan baik ilmu keakhiratan maupun keduniawian.
Ø Da’i sebagai Refolusioner
Mendengar kata ‘refolusioner’ akan terbuka ingatan terhadap perjuangan dan pengorbanan para pembela negara. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga, bahkan harta mereka demi kemerdekaan dan kedaulatan negaranya. Para pahlawan tersebut layak diberi gelar refolusioner bangsa.
Namun, refolusioner yang dimaksudkan bukanlah sebatas perjuangan para pejuang seperti yang dipaparkan di atas. Para pahlawan atau dalam Islam disebut dengan mujahid merupakan bukti konkrit pembelaan harga diri suatu bangsa atau idiologi. Dan da’i mampu berperan sebagai refolusioner (penggerak perubahan) masyarakat menuju kebangkitan dan kejayaan umat. Hal ini dapat terbukti dari banyaknya para da’i yang berkecimpung di dunia politik dan mampu menjadi pemimpin perubahan dari masyarakat yang tertindas menuju masyarakat aman dan tentram di bawah naungan pemerintahan Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Hisham Altalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, Media Dakwah, Jakarta, 1994.
Irwan Prayitno, Kepribadian Dai, Pustaka Tarbiyatuna, Jakarta, 2005.
Musthafa Ar-Rafi’I, Potret juru Dakwah, CV Pustaka Al- Kautsar, Jakarta Timur, 2002.
Musthafa Masyhur, Fiqh Dakwah I, Al-I’tishom cahaya umat, Jakarta, 2000.
Moh.Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004
Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, Pustaka Arafah, Solo, 2001.
Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri, Gema Insani, Jakarta, 2000.

NASYID & RELIGI ISLAMI


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design