Minggu, 29 April 2012

Optimalisasi Peran Da’i terhadap Muallaf di Daerah Pedalaman

A. Pendahuluan
Kalimantan adalah salah satu propinsi yang dikenal memiliki kawasan yang masih tergolong luas dan jarang penduduknya wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia). Apalagi jika ditinjau ke beberapa daerah pedalaman. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa di daerah pedalaman tersebut adalah daerah terpencil dan masih alami. Artinya daerah yang masih subur ditumbuhi aneka flora dan ditempati beberapa spesies fauna. Di sana sini hutan lebat. Tempat tersebut belum disentuh oleh berbagai perkembangan dan kemajuan zaman. Apakah anggapan tersebut berlaku untuk semua kawasan pedalaman,tentu tidak. Ada beberapa daerah pedalaman yang sudah disentuh perkembangan zaman. Penduduk setempat sudah mulai terbuka dengan orang luar. Sehingga, memungkinkan pula para da’i untuk memasuki daerah tersebut dan secara bertahap melakukan dakwah di sana. Bahkan ada sebagian kecil penduduk yang cenderung hatinya kepada Islam dan telah membuktikan keimanannya melalui ucapan syahadat. Ini berarti perlu adanya pembinaan muallaf di sana.
Dakwah merupakan seruan, ajakan yang menuntun manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran. Karena pada hakikatnya sudah menjadi fitrah manusia, bahwa akan menyambut seruan dan amanah agama Allah demi menciptakan perdamaian dunia melalui risalah Rasul-Nya yang rahmatallil ‘alamin. Sebagaimana Shalih bin Muhammad Al’Ulaiwi (2003: 5-6) menjelaskan bahwa tabiat manusia yang mau menerima risalah agama tersebut terbukti dengan penerimaan mereka terhadap perubahan dalam akhlak, tradisi dan adat-istiadat mereka sendiri.
Oleh sebab itu, penting bagi para Da’i melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tersebut kapan dan di mana pun ia berada. Para Da’i tidak harus membatasi secara sempit baik dari waktu, tempat (medan dakwah) maupun mad’u (objek dakwah).
Sebagai da’i yang dikhususkan terjun ke daerah pedalaman sudah seharusnya terlebih dahulu melakukan berbagai persiapan matang. Baik persiapan diri pribadi maupun persiapan teknis di lapangan nantinya. Berdasarkan tema makalah yakni Optimalisasi Peran Da’i terhadap Muallaf di Daerah Pedalaman, berikut ini kita fokuskan bahasan makalah melalui beberapa sub bahasan.
1. Persiapan Da’i
2. Metode Dakwah di Pedalaman
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Demikian sub bahasan yang akan kita kaji. Semoga paparan makalah ini tidak hanya pada tataran kajian atau presentasi. Lebih dari itu, akan digunakan sebagai pegangan jika suatu saat ditugaskan untuk membuat peta dakwah suatu daerah dan ditempatkan sebagai da’i di sana. Insya Allah.

B. Pembahasan

1. Persiapan Da’i
Untuk memantapkan diri da’i baik secara jasmani maupun rohani ( mental) sebelum bertugas ke lokasi yang telah ditentukan, maka alangkah baiknya dipersiapkan terlebih dulu segala yang berhubungan dengan keperluan selama berdakwah di sana. Karena dapat dimengerti bahwa perjalanan menuju daerah terpencil adalah perjalanan jauh dan cukup melelahkan. Berdasarkan keterangan kondisi geogafis di bagian tengah pulau merupakan wilayah bergunung-gunung dan berbukit (wikipedia.org.wiki).
Adapun persiapan tersebut adalah barang-barang yang umum dan biasa dibawa untuk keperluan perjalanan jauh. Seperti pakaian pribadi lengkap dan tergolong sederhana (tidak terlalu mewah) dalam jumlah secukupnya, perlengkapan pribadi lainnya untuk keperluan sehari-hari (seperti perlengkapan mandi dan lain-lain), perlengkapan kesehatan pribadi (obat-obatan seperlunya dan olah raga secara teratur), perbekalan konsumsi secukupnya.
Selain itu, sebagai da’i mestilah menguasai ilmu baik pendekatan teori maupun prakteknya. Ilmu dengan pendekatan praktek atau terapan sering kali digunakan apalagi ketika da’i berada dilapangan. Misalnya ilmu bercocok tanam dan peternakan yang sangat cocok diterapkan di daerah pedalaman. Cukup banyak ilmu penting yang mesti diketahui agar da’i mudah beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat setempat. Termasuklah disiplin ilmu agama seperti ilmu dakwah, aqidah Islam, fiqih sehari-hari, tahsinul Qur’an, ilmu perbandingan agama, psikologi dakwah, sosiologi dakwah dan ilmu-ilmu pokok lainnya yang dianggap perlu. Sedangkan untuk disiplin ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi dan lainnya. Said Al-Qahthani (2001: 23), mengatakan bahwa bagi da’i ilmu adalah faktor utama dan terkuat guna mencapai kesuksesan. Allah Swt. mewajibkan seseorang berilmu lebih dahulu sebelum beramal dalam firman-Nya :
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal (QS. Muhammad : 19).
Dan yang terpenting bagi da’i adalah kondisi keimanan dan ketakwaan yang selalu terjaga. Itu sebabnya perlu persiapan matang semacam demikian sebelum bersafar ke pelosok desa. Persiapan demikian dilakukan demi suksesnya berdakwah khususnya di daerah pedalaman.
Sebenarnya persiapan tersebut tidaklah serumit dan sesulit semasa berdakwah pertama kali ke daerah pedalaman yang belum ada muallafnya. Karena, tugas da’i kali ini cukup melanjutkan pembinaan terhadap mad’u yang sebelumnya sudah memahami sedikit tentang Islam yakni muallaf. Para muallaf adalah mereka yang telah menyambut seruan dakwah sesuai kesadaran nurani mereka. Namun, masih minimnya pemahaman mereka terhadap “aqidah asing”yang baru mereka yakini dapat memungkinkan sebagian dari mereka akan goyah dan cenderung hatinya kembali kepada keyakinan nenek moyang mereka.
Sebagai da’i tentu tidak akan memandang remeh diri muallaf yang hidup serba terbatas dan sederhana di daerah pedalaman. Dengan kata lain, da’i harus bisa memahami kondisi mereka dengan penuh keramahtamahan. Bahkan, da’i dianjurkan untuk membaur di kehidupan mereka sehingga pendekatan emosional terhadap mereka dapat dilakukan. Namun demikian, pendekatan yang dilakukan tersebut masih dalam batasan-batasan syariat.
Maka dari itu, menurut Said Al-Qahthani (2001 : 97) da’i harus mengerti bahwa manusia terbagi ke beberapa kelompok. Diantara mereka ada kalangan mulhid (atheis), musyrik, yahudi, nasrani, munafik, dan kalangan muslimin ‘ashi (berbuat maksiat). Namun untuk para muallaf pedalaman pada umumnya mereka adalah mantan penganut animisme, totemisme yang sangat erat hubungannya dengan penyembah berhala dan roh nenek muyangnya. Selain itu, mad’u juga terbagi berdasarkan potensi pribadi yakni kemampuan akal (IQ-nya), ilmiyahnya, kesehatannya, ada yang tidak bisa baca dan tulis), serta berdasarkan status sosial seperti pemuka masyarakat, rakyat biasa, kaya dan miskin dan sebagainya. Bahkan terhadap asal kesukuan muallaf perlu diperhatikan apakah kebanyakan asli suku pedalaman seperti dayak atau suku pendatang. Karena masing-masing suku memiliki karakteristik tertentu yang berbeda satu sama lain.
Di dalam penyusunan perencanaan program dakwah, sebelum da’i terjun ke sana haruslah memperhatikan terlebih dahulu kondisi strategis baik secara geografis, sosiologis, maupun antropologis. Biasanya da’i yang bertugas sebagai peninjau kondisi lokasi disebut dengan tim survei. Dari hasil laporan tim survei tersebut paling tidak dapat diketahui kondisi strategis medan dan obyek dakwah. Dan melalui laporan inilah penyusunan strategi dan pemetaan wilayah dapat dilakukan. Sehingga memudahkan dalam merumuskan langkah-langkah konkrit dan targetan dakwah.
Demikian pula tugas penyusunan peta dakwah tersebut diambil alih oleh tim pengkaji dan perumusan stategi. Bukan lagi dibebankan kepada da’i yang akan diberangkatkan. Melalui pembagian tugas seperti inilah yang akan mempermudah pengorganisasian program dan pencapaian target. Sehingga, kerja dapat dijalankan secara teratur dan sistematis. Keteraturan tersebut biasa dikenal dalam organisasi dakwah sebagai manajemen dakwah. Oleh sebab itu, perlu adanya kesatuan pemahaman antara tim survei, tim pengkaji, dan tim lapangan terhadap ilmu manajemen dakwah.
2. Metode Dakwah di Pedalaman
Di dalam memahami metode dakwah Moh. Ali Aziz (2004 : 121) mengistilahkannya dengan thariqah. Menurut beliau thariqah adalah metode yang digunakan dalam berdakwah. Said Al-Qahthani (2001 : 99) mengistilahkan metode dakwah dengan Asalibu Dakwah yakni ilmu yang mengantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang cara penyampaian dakwah (ilmu tentang retorika dakwah dan ceramah), sekaligus menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan dakwah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai da’i untuk menyampaikan risalah dakwah (Islam). Tentang metode dakwah dapat diketahui dalam surah an-Nahl (QS.16: 125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dalam ayat ini, metode dakwah terbagi tiga, yaitu : a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan (Moh. Ali Aziz, 2004: 123). Berikut ini akan dikaji satu persatu mengenai metode dakwah yang bagaimana yang sesuai digunakan dalam pembinaan muallaf pedalaman.
Secara bahasa ‘hikmah’ disinonimkan dengan kata ‘bijaksana’ yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kearifan dalam menggunakan akal pikiran sesuai dengan pengalaman dan ilmunya (Moh Ali Aziz, 2004 :127). Sesuai dengan pengertian metode hikmah tersebut, dapat dipahami ketika da’I melakukan proses pembinaan dan bimbingan muallaf. Para muallaf harus dibina dengan cara yang baik dan benar. Artinya da’i harus menyampaikan ajaran agama dengan sopan santun dan penuh kesabaran. Sangat utama dalam berdakwah untuk menghindari menyinggung hal-hal aib pribadi muallaf. Apalagi sampai mendoktrinasi secara berlebihan atau mengecam kebebasan seseorang dalam berpendapat. Dengan kata lain seorang da’I harus menjaga akhlak sebagai da’i terhadap mad’unya.
Metode kedua, mauizatul hasanah pelajaran yang baik. Said Qutub dalam Moh ali Aziz ( 2004 : 130) berpendapat bahwa mauizat hasanat adalah sesuatu yang masuk ke dalam hati yang lembut dan orang yang mendapat pelajaran itu merasakan dapat peringatan halus dan mendalam. Kaitan mauizat sebagai metode dakwah dipaparkan Ali Aziz (2004 : 130) sebagai suatu metode dengan menggunakan dalil-dalil, argumentasi yang tepat sehingga orang yang diseru menjadi puas menerima pelajaran (ilmu yang diberikan). Artinya da’I mestilah memperhatikan isi kandungan pesan atau nasihat dakwah yang akan disampaikan kepada muallaf. Kejelasan dalil sangat mendukung para da’i dalam meyakinkan mad’u akan kebenaran yang disampaikannya. Di dalam pembinaan muallaf tidak lepas dari nasihat-nasihat kebaikan yang mampu menggugah dan memberi semangat mereka agar istiqamah dalam keberislamannya.
Ketiga, metode mujadalah (berdebat dengan cara yang baik), metode ini digunakan ketika menghadapi mereka yang memiliki ilmu dan wawasan cukup luas. Artinya, da’i hendaklah terbuka dalam berdakwah. Apabila ada mad’u membantah suatu pesan dakwah maka da’i harus menyanggahnya dengan jawaban dan argumentasi yang jelas (Moh. Ali Aziz, 2004: 132) .
Namun, pada umumnya metode mujadalah tersebut sebenarnya belum perlu untuk digunakan terhadap muallaf pedalaman. Karena berdakwah di kalangan muallaf pedalaman metode yang lebih dekat dengan kehidupan mereka adalah pembinaan aqidah dan akhlak islami.
Melalui pendekatan dengan lingkungan muallaf yang masih alami diharapkan mereka dapat belajar dari alam untuk memahami kebesaran dan kekuasaan Allah Swt dalam menciptakan makhluknya. Dalam suasana di alam bebas seperti itu, da’i lebih leluasa memberikan nuansa kesejukan batin bagi para muallaf. Misalnya di saat muallaf bekerja di hutan, da’I dapat ikut serta dan sambil berbincang-bincang dengan muallaf. Muallaf diajak untuk memperhatikan dengan baik fenomena apa saja yang terjadi di sekitarnya. Aneka flora dan fauna yang sehari-hari mereka kenal. Secara tidak langsung mereka telah membaca ayat-ayat kauniah dari Al Quran yakni alam semesta ini. Pembinaan seperti inilah yang mampu memahamkan muallaf tentang ketauhidan Allah Swt.
Da’i dapat pula menuntun muallaf dengan membahasakan bahasa agama dengan bahasa keseharian mereka. Da’I harus sedikit menguasai bahasa yang biasa mereka gunakan dalam berbagai aktifitas. Dan lebih mempermudah da’I jika muallaf sedikit menguasai bahasa Indonesia. Apabila belum mencapai demikian, da’I harus mempunyai kenalan salah satu penduduk setempat di sana yang sudah mengenyam pendidikan formal. Melalui kenalan atau teman tersebut da’I dapat bekerjasama untuk mengajari bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh mereka. Oleh sebab itu penting bagi da’I untuk mempersiapkan bahasa pengantar guna menyampaikan pesan dakwahnya.
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Penting untuk diperhatikan bagaimana tanggapan atau respon muallaf sebagai mad’u dan masyarakat setempat terhadap keberadaan da’i dan pembinaannya di pedalaman. Karena dengan mengetahui respon tersebut ada hubungan komunikasi timbal balik positif yang dihatapkan. Yakni muallaf dapat memahami secara baik dan benar tentang Islam yang dipilihnya sebagai agama dan sistem tatanan hidup. Mereka memilih Islam tidak dengan keterpaksaan apalagi diiming-imingi, melainkan dengan kesadaran dan ketulusan hati nurani mereka. Oleh karena mereka lebih dahulu memperoleh hidayah dari Allah Swt., maka setelah mereka memperdalam dan benar-benar menguasai ilmu keislaman serta komitmen dalam keimanannya kepada Allah Swt. Mereka dapat disiapkan untuk juga menjadi da’i dan membina masyarakat mereka sendiri. Sehingga hidayah tersebar di berbagai pelosok.
Begitu pula selama da’i menetap di sana tentu interaksi tidak hanya dengan para muallaf, dengan masyarakat setempat juga akan terjadi. Apalagi di daerah pedalaman masih tergolong kawasan pedesaan yang mayoritas masyarakatnya adalah suku tertentu yang sangat kuat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Rasa solidaritas tersebut dapat da’i ketahui jika da’i memperhatikan bagaimana respon masyarakat tersebut terutama aktifitas keseharian da’I yang lebih sering disoroti. Jika masyarakat menganggap da’i adalah tamu yang perlu dimuliakan kedatangannya. Maka biasanya da’i banyak disuguhkan aneka makanan dan buah-buahan bahkan pertunjukan tarian adat mereka. Masyarakat akan merespon secara positif dan menganggap da’i adalah orang baik jika da’i sendiri menunjukan sikap ramah dan senang menolong orang lain. Dengan kata lain, jika menginginkan respon positif dari masyarkat sudah semestinya da’i memiliki akhlak islami yang disesuaikan dengan kondisi pemahaman masyarakat tersebut.
C. Penutup
Akhirnya dapat dipahami bersama bahwa sebelum da’i ditugaskan untuk berperan sebagai pembina para muallaf di daerah pedalaman. Terlebih dahulu mempersiapkan dirinya dengan perencanaan yang matang dari segala aspek yang diperlukan baik sebelum keberangkatan, ketika di lapangan maupun sepulang dari daerah yang dituju.
Adapun aspek-aspek tersebut antara lain persiapan pribadi da’i seperti wawasan keilmuan agama dan umum, akhlak sebagai da’i, dan kekokohan mental. Perihal tersebut sangat menekankan pada potensi diri da’i. Selain itu, da’i harus mempersiapkan kesehatan jasmaninya dan mampu menjaga tubuhnya agar tetap sehat dan bertenaga seperti membawa obat-obatan pribadi dan berolah raga secara teratur. Perbekalan pribadi lainnya seperti pakaian yang tidak terlalu mewah. Begitu pula perlengkapan konsumsi yang mencukupi. Semua persiapan tersebut direncanakan dengan pertimbangan keperluan saat dalam perjalanan dan ketika beraktifitas dilapangan.
Kajian peta dakwah juga penting guna menentukan target dakwah selanjutnya. Hal tersebut akan terwujud apabila terjalin kerjasama yang baik dalam tim organisasi dakwah. Dengan kata lain da’i tidaklah bertugas secara sendiri-sendiri dalam berdakwah.
Di dalam ilmu dakwah dikenal metode a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan. Dari ketiga metode tersebut, metode mujadalah billati hiya ahsan ( berdebat dengan cara yang baik) belum begitu diperlukan di daerah pedalaman. Karena para muallaf pedalaman lebih menerima pendekatan pemahaman ayat-ayat kauniah Al Quran.
Adapun respon positif muallaf adalah mereka dapat berkomitmen terhadap keberislaman dan keimanannya kepada Allah dan bersedia membina masyarakatnya sendiri untuk menunjukan jalan hidayah sebagaimana yang ia dapatkan. Begitu pula dengan masyarakat setempat akan menyambut positif para da’I jika dai selalu berakhlak islami dan menjalin hubungan baik dengan mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004.
Said Bin Ali Bin Al- Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan da’I di Medan Dakwah, Pustaka Arafah, Solo, 2001.
wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

NASYID & RELIGI ISLAMI


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design