A. Pendahuluan
Kalimantan
adalah salah satu propinsi yang dikenal memiliki kawasan yang masih
tergolong luas dan jarang penduduknya
wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia). Apalagi jika ditinjau ke
beberapa daerah pedalaman. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa di
daerah pedalaman tersebut adalah daerah terpencil dan masih alami.
Artinya daerah yang masih subur ditumbuhi aneka flora dan ditempati
beberapa spesies fauna. Di sana sini hutan lebat. Tempat tersebut belum disentuh oleh berbagai perkembangan dan kemajuan zaman. Apakah anggapan tersebut berlaku untuk semua kawasan pedalaman,tentu tidak. Ada
beberapa daerah pedalaman yang sudah disentuh perkembangan zaman.
Penduduk setempat sudah mulai terbuka dengan orang luar. Sehingga,
memungkinkan pula para da’i untuk memasuki daerah tersebut dan secara
bertahap melakukan dakwah di sana.
Bahkan ada sebagian kecil penduduk yang cenderung hatinya kepada Islam
dan telah membuktikan keimanannya melalui ucapan syahadat. Ini berarti
perlu adanya pembinaan muallaf di sana.
Dakwah merupakan seruan, ajakan yang menuntun manusia ke jalan
kebaikan dan kebenaran. Karena pada hakikatnya sudah menjadi fitrah
manusia, bahwa akan menyambut seruan dan amanah agama Allah demi
menciptakan perdamaian dunia melalui risalah Rasul-Nya yang rahmatallil ‘alamin. Sebagaimana Shalih bin Muhammad Al’Ulaiwi (2003: 5-6) menjelaskan bahwa tabiat manusia yang mau menerima risalah agama tersebut terbukti dengan penerimaan mereka terhadap perubahan dalam akhlak, tradisi dan adat-istiadat mereka sendiri.
Oleh
sebab itu, penting bagi para Da’i melaksanakan kewajiban amar ma’ruf
nahi munkar tersebut kapan dan di mana pun ia berada. Para Da’i tidak
harus membatasi secara sempit baik dari waktu, tempat (medan dakwah) maupun mad’u (objek dakwah).
Sebagai
da’i yang dikhususkan terjun ke daerah pedalaman sudah seharusnya
terlebih dahulu melakukan berbagai persiapan matang. Baik persiapan diri
pribadi maupun persiapan teknis di lapangan nantinya. Berdasarkan tema
makalah yakni Optimalisasi Peran Da’i terhadap Muallaf di Daerah Pedalaman, berikut ini kita fokuskan bahasan makalah melalui beberapa sub bahasan.
1. Persiapan Da’i
2. Metode Dakwah di Pedalaman
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Demikian sub bahasan yang akan kita kaji. Semoga paparan makalah ini tidak hanya
pada tataran kajian atau presentasi. Lebih dari itu, akan digunakan
sebagai pegangan jika suatu saat ditugaskan untuk membuat peta dakwah
suatu daerah dan ditempatkan sebagai da’i di sana. Insya Allah.
B. Pembahasan
1. Persiapan Da’i
Untuk
memantapkan diri da’i baik secara jasmani maupun rohani ( mental)
sebelum bertugas ke lokasi yang telah ditentukan, maka alangkah baiknya
dipersiapkan terlebih dulu segala yang berhubungan dengan keperluan
selama berdakwah di sana.
Karena dapat dimengerti bahwa perjalanan menuju daerah terpencil adalah
perjalanan jauh dan cukup melelahkan. Berdasarkan keterangan kondisi
geogafis di bagian tengah pulau merupakan wilayah bergunung-gunung dan
berbukit (wikipedia.org.wiki).
Adapun
persiapan tersebut adalah barang-barang yang umum dan biasa dibawa
untuk keperluan perjalanan jauh. Seperti pakaian pribadi lengkap dan
tergolong sederhana (tidak terlalu mewah) dalam jumlah secukupnya,
perlengkapan pribadi lainnya untuk keperluan sehari-hari (seperti
perlengkapan mandi dan lain-lain), perlengkapan kesehatan pribadi
(obat-obatan seperlunya dan olah raga secara teratur), perbekalan
konsumsi secukupnya.
Selain itu,
sebagai da’i mestilah menguasai ilmu baik pendekatan teori maupun
prakteknya. Ilmu dengan pendekatan praktek atau terapan sering kali
digunakan apalagi ketika da’i berada dilapangan. Misalnya ilmu bercocok
tanam dan peternakan yang sangat cocok diterapkan di daerah pedalaman.
Cukup banyak ilmu penting yang mesti diketahui agar da’i mudah
beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat setempat.
Termasuklah disiplin ilmu agama seperti ilmu dakwah, aqidah Islam, fiqih
sehari-hari, tahsinul Qur’an, ilmu perbandingan agama, psikologi
dakwah, sosiologi dakwah dan ilmu-ilmu pokok lainnya yang dianggap
perlu. Sedangkan untuk disiplin ilmu sosial seperti psikologi,
sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi dan lainnya. Said Al-Qahthani
(2001: 23), mengatakan bahwa bagi da’i ilmu adalah faktor utama dan
terkuat guna mencapai kesuksesan. Allah Swt. mewajibkan seseorang
berilmu lebih dahulu sebelum beramal dalam firman-Nya :
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan,
tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal (QS. Muhammad : 19).
Dan
yang terpenting bagi da’i adalah kondisi keimanan dan ketakwaan yang
selalu terjaga. Itu sebabnya perlu persiapan matang semacam demikian
sebelum bersafar ke pelosok desa. Persiapan demikian dilakukan demi
suksesnya berdakwah khususnya di daerah pedalaman.
Sebenarnya
persiapan tersebut tidaklah serumit dan sesulit semasa berdakwah
pertama kali ke daerah pedalaman yang belum ada muallafnya. Karena,
tugas da’i kali ini cukup melanjutkan pembinaan terhadap mad’u yang
sebelumnya sudah memahami sedikit tentang Islam yakni muallaf. Para
muallaf adalah mereka yang telah menyambut seruan dakwah sesuai
kesadaran nurani mereka. Namun, masih minimnya pemahaman mereka terhadap
“aqidah asing”yang baru mereka yakini dapat memungkinkan sebagian dari
mereka akan goyah dan cenderung hatinya kembali kepada keyakinan nenek
moyang mereka.
Sebagai da’i tentu tidak akan memandang
remeh diri muallaf yang hidup serba terbatas dan sederhana di daerah
pedalaman. Dengan kata lain, da’i harus bisa memahami kondisi mereka
dengan penuh keramahtamahan. Bahkan, da’i dianjurkan untuk membaur di
kehidupan mereka sehingga pendekatan emosional terhadap mereka dapat
dilakukan. Namun demikian, pendekatan yang dilakukan tersebut masih
dalam batasan-batasan syariat.
Maka
dari itu, menurut Said Al-Qahthani (2001 : 97) da’i harus mengerti bahwa
manusia terbagi ke beberapa kelompok. Diantara mereka ada kalangan mulhid (atheis), musyrik, yahudi, nasrani, munafik, dan kalangan muslimin ‘ashi (berbuat maksiat). Namun
untuk para muallaf pedalaman pada umumnya mereka adalah mantan penganut
animisme, totemisme yang sangat erat hubungannya dengan penyembah
berhala dan roh nenek muyangnya. Selain itu, mad’u juga terbagi
berdasarkan potensi pribadi yakni kemampuan akal (IQ-nya),
ilmiyahnya, kesehatannya, ada yang tidak bisa baca dan tulis), serta
berdasarkan status sosial seperti pemuka masyarakat, rakyat biasa, kaya
dan miskin dan sebagainya. Bahkan terhadap asal kesukuan muallaf perlu
diperhatikan apakah kebanyakan asli suku pedalaman seperti dayak atau
suku pendatang. Karena masing-masing suku memiliki karakteristik
tertentu yang berbeda satu sama lain.
Di dalam penyusunan perencanaan program dakwah, sebelum da’i terjun ke sana
haruslah memperhatikan terlebih dahulu kondisi strategis baik secara
geografis, sosiologis, maupun antropologis. Biasanya da’i yang bertugas
sebagai peninjau kondisi lokasi disebut dengan tim survei. Dari hasil laporan tim survei tersebut paling tidak dapat diketahui kondisi strategis medan
dan obyek dakwah. Dan melalui laporan inilah penyusunan strategi dan
pemetaan wilayah dapat dilakukan. Sehingga memudahkan dalam merumuskan
langkah-langkah konkrit dan targetan dakwah.
Demikian
pula tugas penyusunan peta dakwah tersebut diambil alih oleh tim
pengkaji dan perumusan stategi. Bukan lagi dibebankan kepada da’i yang
akan diberangkatkan. Melalui pembagian tugas seperti inilah yang akan
mempermudah pengorganisasian program dan pencapaian target. Sehingga,
kerja dapat dijalankan secara teratur dan sistematis. Keteraturan
tersebut biasa dikenal dalam organisasi dakwah sebagai manajemen dakwah.
Oleh sebab itu, perlu adanya kesatuan pemahaman antara tim survei, tim
pengkaji, dan tim lapangan terhadap ilmu manajemen dakwah.
2. Metode Dakwah di Pedalaman
Di dalam memahami metode dakwah Moh. Ali Aziz (2004 : 121) mengistilahkannya dengan thariqah. Menurut beliau thariqah adalah metode yang digunakan dalam berdakwah. Said Al-Qahthani (2001 : 99) mengistilahkan metode dakwah dengan Asalibu Dakwah
yakni ilmu yang mengantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang cara
penyampaian dakwah (ilmu tentang retorika dakwah dan ceramah), sekaligus
menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan dakwah. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai
da’i untuk menyampaikan risalah dakwah (Islam). Tentang metode dakwah
dapat diketahui dalam surah an-Nahl (QS.16: 125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.
Dalam ayat ini, metode dakwah terbagi tiga, yaitu : a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan (Moh. Ali Aziz, 2004: 123). Berikut
ini akan dikaji satu persatu mengenai metode dakwah yang bagaimana yang
sesuai digunakan dalam pembinaan muallaf pedalaman.
Secara bahasa ‘hikmah’
disinonimkan dengan kata ‘bijaksana’ yang jika diartikan dalam bahasa
Indonesia bermakna kearifan dalam menggunakan akal pikiran sesuai dengan
pengalaman dan ilmunya (Moh Ali Aziz, 2004 :127). Sesuai dengan
pengertian metode hikmah tersebut, dapat dipahami ketika da’I melakukan
proses pembinaan dan bimbingan muallaf. Para
muallaf harus dibina dengan cara yang baik dan benar. Artinya da’i
harus menyampaikan ajaran agama dengan sopan santun dan penuh kesabaran.
Sangat utama dalam berdakwah untuk menghindari menyinggung hal-hal aib
pribadi muallaf. Apalagi sampai mendoktrinasi secara berlebihan atau
mengecam kebebasan seseorang dalam berpendapat. Dengan kata lain seorang
da’I harus menjaga akhlak sebagai da’i terhadap mad’unya.
Metode kedua, mauizatul hasanah pelajaran yang baik. Said Qutub dalam Moh ali Aziz ( 2004 : 130) berpendapat bahwa mauizat hasanat
adalah sesuatu yang masuk ke dalam hati yang lembut dan orang yang
mendapat pelajaran itu merasakan dapat peringatan halus dan mendalam.
Kaitan mauizat sebagai metode dakwah dipaparkan Ali Aziz (2004 :
130) sebagai suatu metode dengan menggunakan dalil-dalil, argumentasi
yang tepat sehingga orang yang diseru menjadi puas menerima pelajaran
(ilmu yang diberikan). Artinya da’I mestilah memperhatikan isi kandungan
pesan atau nasihat dakwah yang akan disampaikan kepada muallaf.
Kejelasan dalil sangat mendukung para da’i dalam meyakinkan mad’u akan
kebenaran yang disampaikannya. Di dalam pembinaan muallaf tidak lepas
dari nasihat-nasihat kebaikan yang mampu menggugah dan memberi semangat
mereka agar istiqamah dalam keberislamannya.
Ketiga, metode mujadalah (berdebat dengan cara yang baik), metode ini digunakan ketika menghadapi mereka yang memiliki ilmu dan wawasan cukup
luas. Artinya, da’i hendaklah terbuka dalam berdakwah. Apabila ada
mad’u membantah suatu pesan dakwah maka da’i harus menyanggahnya dengan
jawaban dan argumentasi yang jelas (Moh. Ali Aziz, 2004: 132) .
Namun, pada umumnya metode mujadalah tersebut sebenarnya belum perlu untuk digunakan terhadap muallaf pedalaman. Karena berdakwah
di kalangan muallaf pedalaman metode yang lebih dekat dengan kehidupan
mereka adalah pembinaan aqidah dan akhlak islami.
Melalui pendekatan dengan lingkungan muallaf yang masih alami diharapkan
mereka dapat belajar dari alam untuk memahami kebesaran dan kekuasaan
Allah Swt dalam menciptakan makhluknya. Dalam suasana di alam bebas
seperti itu, da’i lebih leluasa memberikan nuansa kesejukan batin bagi
para muallaf. Misalnya di saat muallaf bekerja di hutan, da’I dapat ikut
serta dan sambil berbincang-bincang dengan muallaf. Muallaf diajak
untuk memperhatikan dengan baik fenomena apa saja yang terjadi di
sekitarnya. Aneka flora dan fauna yang sehari-hari mereka kenal. Secara
tidak langsung mereka telah membaca ayat-ayat kauniah dari Al Quran
yakni alam semesta ini. Pembinaan seperti inilah yang mampu memahamkan
muallaf tentang ketauhidan Allah Swt.
Da’i
dapat pula menuntun muallaf dengan membahasakan bahasa agama dengan
bahasa keseharian mereka. Da’I harus sedikit menguasai bahasa yang biasa
mereka gunakan dalam berbagai aktifitas. Dan lebih mempermudah da’I
jika muallaf sedikit menguasai bahasa Indonesia. Apabila belum mencapai demikian, da’I harus mempunyai kenalan salah satu penduduk setempat di sana
yang sudah mengenyam pendidikan formal. Melalui kenalan atau teman
tersebut da’I dapat bekerjasama untuk mengajari bahasa Indonesia yang
mudah dipahami oleh mereka. Oleh sebab itu penting bagi da’I untuk
mempersiapkan bahasa pengantar guna menyampaikan pesan dakwahnya.
3. Respon Masyarakat Pedalaman
Penting
untuk diperhatikan bagaimana tanggapan atau respon muallaf sebagai
mad’u dan masyarakat setempat terhadap keberadaan da’i dan pembinaannya
di pedalaman. Karena dengan mengetahui respon tersebut ada hubungan
komunikasi timbal balik positif yang dihatapkan. Yakni muallaf dapat
memahami secara baik dan benar tentang Islam yang dipilihnya sebagai
agama dan sistem tatanan hidup. Mereka memilih Islam tidak dengan
keterpaksaan apalagi diiming-imingi, melainkan dengan kesadaran dan
ketulusan hati nurani mereka. Oleh karena mereka lebih dahulu memperoleh
hidayah dari Allah Swt., maka setelah mereka memperdalam dan
benar-benar menguasai ilmu keislaman serta komitmen dalam
keimanannya kepada Allah Swt. Mereka dapat disiapkan untuk juga menjadi
da’i dan membina masyarakat mereka sendiri. Sehingga hidayah tersebar di
berbagai pelosok.
Begitu pula selama da’i menetap di sana
tentu interaksi tidak hanya dengan para muallaf, dengan masyarakat
setempat juga akan terjadi. Apalagi di daerah pedalaman masih tergolong
kawasan pedesaan yang mayoritas masyarakatnya adalah suku tertentu yang
sangat kuat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Rasa solidaritas
tersebut dapat da’i ketahui jika da’i memperhatikan bagaimana respon
masyarakat tersebut terutama aktifitas keseharian da’I yang lebih sering
disoroti. Jika masyarakat menganggap da’i adalah tamu yang perlu
dimuliakan kedatangannya. Maka biasanya da’i banyak disuguhkan aneka
makanan dan buah-buahan bahkan pertunjukan tarian adat mereka.
Masyarakat akan merespon secara positif dan menganggap da’i adalah orang
baik jika da’i sendiri menunjukan sikap ramah dan senang menolong orang
lain. Dengan kata lain, jika menginginkan respon positif dari masyarkat
sudah semestinya da’i memiliki akhlak islami yang disesuaikan dengan
kondisi pemahaman masyarakat tersebut.
C. Penutup
Akhirnya
dapat dipahami bersama bahwa sebelum da’i ditugaskan untuk berperan
sebagai pembina para muallaf di daerah pedalaman. Terlebih dahulu mempersiapkan
dirinya dengan perencanaan yang matang dari segala aspek yang
diperlukan baik sebelum keberangkatan, ketika di lapangan maupun
sepulang dari daerah yang dituju.
Adapun aspek-aspek tersebut antara lain persiapan
pribadi da’i seperti wawasan keilmuan agama dan umum, akhlak sebagai
da’i, dan kekokohan mental. Perihal tersebut sangat menekankan pada
potensi diri da’i. Selain itu, da’i harus mempersiapkan kesehatan
jasmaninya dan mampu menjaga tubuhnya agar tetap sehat dan bertenaga
seperti membawa obat-obatan pribadi dan berolah raga secara teratur.
Perbekalan pribadi lainnya seperti pakaian yang tidak terlalu mewah.
Begitu pula perlengkapan konsumsi yang mencukupi. Semua persiapan
tersebut direncanakan dengan pertimbangan keperluan saat dalam
perjalanan dan ketika beraktifitas dilapangan.
Kajian
peta dakwah juga penting guna menentukan target dakwah selanjutnya. Hal
tersebut akan terwujud apabila terjalin kerjasama yang baik dalam tim
organisasi dakwah. Dengan kata lain da’i tidaklah bertugas secara
sendiri-sendiri dalam berdakwah.
Di dalam ilmu dakwah dikenal metode a. hikmah, b. mau’izatul hasanah dan c.mujadalah billati hiya ahsan. Dari ketiga metode tersebut, metode mujadalah billati hiya ahsan
( berdebat dengan cara yang baik) belum begitu diperlukan di daerah
pedalaman. Karena para muallaf pedalaman lebih menerima pendekatan
pemahaman ayat-ayat kauniah Al Quran.
Adapun
respon positif muallaf adalah mereka dapat berkomitmen terhadap
keberislaman dan keimanannya kepada Allah dan bersedia membina
masyarakatnya sendiri untuk menunjukan jalan hidayah sebagaimana yang ia
dapatkan. Begitu pula dengan masyarakat setempat akan menyambut positif
para da’I jika dai selalu berakhlak islami dan menjalin hubungan baik
dengan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004.
Said Bin Ali Bin Al- Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan da’I di Medan Dakwah, Pustaka Arafah, Solo, 2001.
wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar