Pendahuluan
Mengenal
sistem kepercayaan pada masyarakat tertentu tidak terlepas dari tradisi
leluhur atau nenek moyang mereka. Pada umumnya masyarakat terdahulu
mempunyai ragam sistem kepercayaan, salah satunya adalah kepercayaan
terhadap roh-roh. Berbicara masalah sistem kepercayaan tentu berkaitan
dengan asal-usul ajaran agama secara global. Menurut Dadang Kahmad
(2000: 37-38) para teolog membedakan agama yang ada di dunia ini menjadi
dua kelompok besar, yakni spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme
merupakan ajaran penyembah sesuatu (zat) yang gaib sedang materialisme
adalah penyembahan kepada yang maha kuat dalam wujud materi atau benda kongkrit.
Selain
itu, bentuk penyembahan atau pemujaan yang biasa dikenal dengan istilah
animisme dan dinamisme dari dulu hingga sekarang masih dilakukan
sebagian masyarakat. Keberadaan
kedua paham atau aliran ini tidak terlepas dari sejarah bangsa
Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Hindu dan Budha
telah hadir lebih awal dalam peradaban nusantara. Masyarakat kita telah mengenal kedua agama budaya daripada agama Islam (islam-penamuda.blogspot.com). Dan
itu dapat dikatakan salah satu fenomena sosial keagamaan yang terjadi
di masyarakat. Sebab, hal ini berkaitan dengan persoalan kepercayaan
atau keyakinan pada umat beragama. Jika tidak dipahami secara benar maka
akan muncul beragam anggapan dan klaim bahwa bentuk kepercayaan semacam
itu harus dihapuskan karena menyimpang dari kemurnian ajaran suatu
agama, tanpa memandang terlebih dahulu sebagai fenomena real di
masyarakat yang mentradisi. Jika demikian sangat berpotensi muncul
konflik yang mengarah pada bentuk pertikaian dan anarkisme. Hal inilah
yang tidak diinginkan terjadi sebab dapat mencoreng nama baik suatu
agama dan masyarakatnya.
Dengan
pijakan di atas penulis memilih salah satu fenomena tersebut yang
berdekatan dengan daerah asal penulis sendiri, yakni antar ajong pada
masyarakat Paloh Kabupaten Sambas. Sesuatu yang menarik pada ritual
antar ajong ini adalah pemaknaannya dari dahulu hingga sekarang memiliki
pergeseran. Dan ini berarti dalam hal pemaknaan ritual telah mengalami
perkembangan, ada kemungkinan akibat pengaruh perkembangan zaman dan
paradigma masyarakat setempat. Selain itu, instansi pemerintah setempat
atas nama dinas Kombudpar (Komunikasi Budaya dan Pariwisata) Kabupaten Sambas ingin melestarikannya sebagai salah satu aset pariwisata daerah.
Secara
etis, di sini kita tidak berhak mengklaim sesuatu itu benar atau salah
sebelum mengkaji dan mengenal jauh sesuatu itu. Begitu halnya dalam
mempelajari dan memahami suatu sistem kepercayaan yang berwujud ritual
dan sebagainya. Di sini akan dikaji dari latar belakangnya, bagaimana
ritual tersebut dilakukan, apa maknanya dan dampaknya
terhadap masyarakat sekitar. Dengan demikian, tujuan penulisan makalah
ini dapat tercapai yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat
terhadap apa yang mereka lakukan, sehingga antar ajong itu tidak
dipandang sebagai tradisi ritual semata yang harus diikuti melainkan
sebagai peninggalan leluhur yang sarat dengan nilai budaya bangsa timur.
Selamat mengkaji.
A. Mengenal Historis Antar Ajong
Salah
satu tradisi masyarakat Desa Tanah Hitam Kecamatan Paloh Kabupaten
Sambas adalah kegiatan Antar Ajong. Menurut Awang Bujang (74), seorang
pawang senior di Kecamatan Paloh, Antar Ajong sudah dilakukan masyarakat
setempat sejak Zaman Kerajaan Majapahit, sebelum Kesultanan Sambas
berdiri. Waktu itu, secara periodik masyarakat mengirimkan atau
mengantar upeti kepada Kerajaan Majapahit berupa hasil-hasil bumi
menggunakan perahu lancang kuning (Ajong). Setelah Kesultanan Sambas
berdiri, pengiriman upeti tersebut tidak dilakukan lagi (
pontianakpost.com/berita). Dengan kata lain, masa awal munculnya antar
ajong ini adalah bentuk hubungan pemerintahan dengan kerajaan Majapahit,
yakni sudah menjadi lumrah jika suatu wilayah yang telah dikuasai
sebuah kerajaan, maka rakyat di wilayah taklukannya tersebut harus patuh
pada segala aturan kerajaan. Salah satu aturan tersebut adalah membayar
upeti pada pihak kerajaan. Jadi saat itu, tidak ada kaitannya dengan
keyakinan.
Selain
itu, amanah dari para leluhur bahwa tradisi ini jangan sampai hilang,
maka seiring waktu, makna dari Antar Ajong tersebut mengalami
pergeseran. Antar Ajong menjadi sebuah ritual yang dilakukan untuk
menghindarkan masyarakat dari segala hal negatif seperti wabah penyakit,
hama tanaman yang merajalela dan bencana alam. Ritual ini juga sebagai
pertanda dimulainya masa bercocok tanam padi.( pontianakpost.com/berita).
Pengaruh Animisme dan Dinamisme terhadap Melayu Sambas
Sebelum
Islam datang, alam Melayu Sambas sudah dipengaruhi oleh alam ajaran
agama Hindu. Tercatat kerajaan Hindu Majapahit pernah memberikan
pengaruh terhadap kerajan Sambas (pontianakpost.com). Majapahit sebagai
Kerajaan Hindu tentu sangat kental dengan animisme dan dinamisme[1]
di dalam peri kehidupan masyarakat pada waktu itu. Sehingga, Munawar
M.Saad (2005: 69) mengatakan meskipun orang Melayu Sambas beragama
Islam, pengaruh kepercayaan tradisional itu masih melekat kuat pada
sebagian mereka.
Salah
satu bentuk animisme dan dinamisme tersebut adalah Antar Ajong ini.
Antar Ajong sebagai tradisi masyarakat Melayu Sambas, bahwa setiap tahun
di bulan musim tanam, bulan Agustus diadakan suatu tradisi pantai
disebut dengan Antar Ajong. Ada yang mengatakan asal muasal Antar Ajung
ini adalah dilakukan untuk membalas jasa para leluhur yang telah datang
untuk memberikan rezeki berupa padi kepada penduduk pantai.
Untuk
menghormati para leluhur dibuatlah semacam ’jung kecil’ yang
diumpamakan ajong milik para leluhur yang berjasa itu. Ke dalam ajong
tersebut diletakkan sesajian berupa beras atau padi, minyak kelapa,
ketupat, ayam jantan yang masih hidup, dan banyak lagi bahan-bahan yang
lain, persis seperti bahan-bahan yang ada dalam ajong milik para leluhur
yang pernah mereka lihat itu, kemudian dilepas ke laut
(pontianakpost.com).
Antar
ajong merupakan salah satu contoh amalan-amalan masyarakat pada alam
Melayu Sambas yang sudah turun temurun hingga pada hari ini.
amalan-amalan yang lain seperti bertepung tawar melahirkan, berkhitan
atau besunat. Amalan-amalan itu merupakan tradisi masyarakat Melayu
Sambas yang sulit untuk dihilangkan (pontianakpost.com). Dengan
demikian, jelaslah bahwa kehidupan masyarakat Melayu Sambas khususnya
pada tradisi ritual banyak dipengaruhi animisme dan dinamisme bahkan
sebelum agama budaya yakni Hindu dan Budha muncul di Indonesia.
B. Dari Persiapan Hingga Prosesi
1. Persiapan Ajong dengan Musyawarah dan Permohonan Doa
Melalui
masyarakat yang dituakan maka dilakukan musyawarah masyarakat untuk
menentukan hari atau tanggal pelaksanaan antar ajong. Apabila telah
disepakati maka masyarakat secara bersama-sama mempersiapkan segala
perangkat yang diperlukan khususnya untuk mencari kayu atau pohon di
hutan kampung yang tepat untuk dijadikan bahan ajong tersebut. Dalam
menentukan pohon tersebut terlebih dahulu dilakukan renungan oleh tetua
untuk mendapatkan petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melakukan
pembacaan doa bersama. Apabila kayu tersebut sudah ditemukan maka
dilakukan pengasapan atau pembersihan kayu tersebut dari roh-roh yang
jahat, dengan harapan agar kayu tersebut tetap mampu membawa segala
beban yang terdapat dalam ajong tersebut. Sebagaimana Hendropuspito
(1983: 42) menyebutkan dalam upacara ini benda-benda lambang yang
dipercaya memiliki kekuatan guna maksud tersebut.
Pembuatan ajong tersebut dilakukan oleh masyarakat secara bergotong
royong dari mulai memotong, membelah bahkan hingga mengecat serta
memberi bentuk layar ajong tersebut. Sebagai
informasi bahwa ajong yang didesain seperti layaknya perahu layar
tersebut juga diisi dengan beberapa muatan seperti telur ayam, ratteh, beras kuning dan sebagainya (pontianakpost.com).
Selain itu, sehari sebelum ajong diantar didahului oleh kegiatan yang disebut ratib, yaitu suatu kegiatan mengagung-agungkan asma Allah disertai doa selamat dan doa tolak bala (sambas.go.id/news). Hemat penulis kegiatan ratib
ini merupakan salah satu hasil dari pengakulturasian ajaran Islam ke
dalam tradisi lokal yang sebelumnya sangat kental dengan unsur dari kepercayaan
Hindu. Sebab, proses Islamisasi yang dilakukan pada zaman Kesultanan
Sambas sangat menghargai eksistensi tradisi lokal tersebut.
2. Upacara “Besiak”
Pada
malam harinya dilanjutkan dengan acara mengisi ajung, yaitu ajung diisi
dengan bermacam-macam wabe atau hama penyakit. Baik penyakit untuk
tanaman, ternak maupun penyakit yang bisa menjangkit kepada manusia.
Inilah yang disebut masyarakat setempat dengan upacara besiak. Menurut Awang Bujang, Besiak adalah
sebuah kegiatan untuk menangkap roh-roh jahat penguasa hal negatif guna
dimasukkan ke dalam Ajong. Proses penangkapan roh jahat tersebut juga
dilakukan dengan menggunakan roh-roh (baik) penguasa alam gaib di
kawasan setempat yang merasuki pawang.
Beberapa
pawang yang didampingi "peradi" (asisten pawang yang menjembatani
komunikasi dengan roh) pun sudah siap dengan pakaian khusus berwarna
kuning dan perlengkapannya. Pemain musik gendang, gong dan rebana pun
telah bersedia. Tampak satu tong besar air yang dicampur dengan berbagai
jenis bunga-bungaan di depan para pawang. Air ini nantinya akan
digunakan warga untuk merendam benih padi sebelum ditanam.
Tak lama kemudian, upacara dimulai yang ditandai dengan pembakaran kemenyan oleh peradi sambil mengambur-hamburkan "ratteh[2]"
dan beras kuning ke sekeliling penonton. Aroma menyengat yang
memberikan nuansa mistis dan merindingkan bulu roma serta-merta menyebar
ke seluruh penjuru. Lalu, dimulailah proses pemanggilan roh. Ketika
memanggil roh, peradi dan pawang bersahut-sahutan melantunkan syair dan
lagu khusus yang diiringi dengan pukulan gendang dan alat musik lainnya.
Sebelum
syair habis dilantunkan, tiba-tiba, terjadi perubahan pada sang pawang.
Tubuhnya berkelojotan sesaat dan matanya nanar. Itu diyakini sebagai
pertanda bahwa tubuhnya telah disusupi oleh roh. Peradi kemudian
berkomunikasi dengannya dan menyatakan maksud pemanggilan. Roh baik yang
datang itu diminta untuk "menangkap" roh-roh jahat dan memasukkannya ke
dalam ajong.
Pawang
yang sudah dirasuki roh itu terkadang bertingkah aneh-aneh. Ada kalanya
ia memanjat di atas atap rumah, pohon dan sebagainya. Setelah itu, ia
akan mengelilingi ajong sambil menaburkan ratteh atau
mengipasinya dengan mayang pinang. Biasa pula ia minta dihibur dulu
dengan nyanyian dan tarian. Tak heran dalam prosesi ini, beberapa penari
raddad memang telah disiapkan. Uniknya, di sini penari raddad yang
ditampilkan terdiri atas ibu-ibu yang telah berumur, bukan para remaja.
Menurut penulis, dari awal persiapan penentuan kapan waktu antar ajong sampai
penari raddad sekalipun yang lebih diutamakan adalah mereka yang
dituakan. Selain mereka lebih berpengalaman dan memahami betul prosesi
tradisi ini, ini juga merupakan salah satu bentuk penghargaan dan
penghormatan bagi tetua atau sesepuh. Pepatah melayu mengatakan, “mereka lebih dulu makan garam”. Artinya merekalah orang yang berpengalaman dalam tradisi ini.
Pawang
biasanya dirasuki oleh beberapa roh. Ini diketahui dari pengakuan roh
yang meminjam tubuh pawang. Ketika ditanya peradi, ia memperkenalkan
diri dengan nama yang berbeda-beda. Tak jarang juga ditemukan penonton
yang ikut-ikutan dirasuki roh. Upacara baru dinyatakan selesai setelah
roh tersebut menyatakan bahwa semua roh jahat yang ada dan potensial
mengganggu telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam ajong. Dengan
demikian, ajong-ajong itu sudah siap untuk dihanyutkan ke laut.
3. Ritual Pelepasan Ajong Ke Laut
Apabila
ajong sudah selesai dilaksanakan, maka dilakukan penurunan ajong pada
parit kecil sebagai ujud pengadaptasian untuk mengarungi lautan luas.
Waktu dilakukan pelepasan antar ajong kelautan lepas, terlebih dahulu
semua ajong-ajong punya masyarakat itu disusun secara sejajar di pinggir
pantai dengan corak dan warna yang sangat bervariasi. Karena kegiatan
antar ajong sudah merupakan tradisi masyarakat Paloh, maka seluruh
masyarakat petani khususnya di daerah tersebut akan datang berduyun
untuk menyaksikan prosesinya yang untuk mengetahui bagaimana perjalanan
ajong-ajong tersebut menuju lautan lepas. Namun sebelum ajong dilepas
terlebih dahulu diantar dengan tradisi joget dan bahkan pencak silat
yang diiringi dengan bunyi-bunyian gendang tradisional masyarakat
setempat.
Usai
acara hiburan tersebut dan setelah mendapatkan instruksi dari pawang,
para pemilik ajong lalu memanggul ajong mereka masing-masing. Dengan
aba-aba berupa shalawat nabi, mereka berlari sejadi-jadinya menuju laut.
Pelepasan ajong harus dilakukan secara serentak oleh pemilik ajong,
ajong tersebut digiring ke bibir laut yang selanjutnya akan terbawa arus
menuju lautan lepas. Mereka baru kembali ke daratan setelah ajong
dinilai aman berlayar. Proses perjalanan ajong-ajong tersebut mempunyai
arti yang apabila waktu dilepas mengalami tingkat kesulitan untuk
berlayar maka diasumsikan masih adanya rasa belum keikhlasan begitu juga
sebaliknya apabila ajong tersebut melaju secara cepat dengan tanpa
hambatan maka diasumsikan bahwa masa tanam masyarakat akan mengalami
masa jayanya.
Tujuan
umum dari tradisi antar ajong adalah merupakan proses mengantarkan
sementara para pengganggu tanaman-tanaman padi yang akan ditanam oleh
masyarakat agar dapat pergi dalam sementara waktu. Prosesi antar ajong
ini ada tiga fase yang pertama prosesi antar ajong seperti yang disebutkan di atas dan fase kedua
adalah masa pemberiatahuan dari penghuni ajong yang biasanya ada
isyarat enam bulan kemudian yang intinya memberitahukan bahwa sudah
saatnya musim panen dilakukan, dan ini akan diiringi dengan masa makan emping[3]fase ketiga
adalah masa antar upeti ke Istana dengan bahan-bahan seperti beras
kuning, beras pulut, retih, emping dan padi yang jumlahnya serba sedikit
sebagai syarat, biasanya dilakukan pada akhir tahun atau akhir masa
panen padi. bersama-sama antar masyarakat secara terbuka dan
Pada
malam itu pula disediakan air untuk mandi benih. Setelah antar ajung
barulah air tersebut dibagikan kepada masyarakat untuk memandikan padi
yang akan disewakan. Keesokan harinya baru ajung diturunkan diluncurkan
ke laut dengan maksud membawa bermacam-macam wabah penyakit dan bagi
desa yang ditinggalkan menjadi aman dan tentram mendapatkan rizki yang
berlimpah dari Tuhan (hasil panen yang berlimpah).
C. Makna Di sebalik Antar Ajong
Awang
Bujang menerangkan, inti Ritual Antar Ajong ini adalah mengumpulkan
roh-roh jahat untuk kemudian mengirimnya pergi berlayar. Hal ini
dilakukan agar roh-roh jahat penguasa segala hama, wabah dan bencana itu
tidak mengganggu warga berikut sawah ladang serta kebunnya. Sebagai
kompensasi, warga memberikan bekal yang diperlukan roh itu selama
berlayar berupa ratteh, beras kuning, garam, pisang, kelapa, kue cucur, ketupat dan barang-barang keperluan lain yang dibutuhkan rumah tangga.
“Bekal
itu hanya cukup untuk sembilan bulan. Jadi, mereka (roh-roh jahat) itu
akan kembali lagi setelah sembilan bulan," katanya. Namun, hal tersebut
tidak akan menjadi masalah karena masa panen sudah selesai (padi tahunan
yang berumur sekitar delapan bulan). Untuk menghibur roh-roh jahat itu
supaya tidak marah atau merajuk, maka dibuatlah emping beras.
"Inilah
sebabnya mengapa orang-orang dulu membuat emping yang kemudian
diletakkan secukupnya pada alat-alat yang digunakan ketika bertani atau
berkebun (cangkul, arit, parang dan lain-lain). Dengan begitu, roh-roh
yang dikirim berlayar tidak akan marah," jelasnya. Proses yang sama
diulang kembali ketika memasuki musim tanam tahun berikutnya.
"Istilahnya, roh-roh jahat itu dibuat kecele," timpal Joko Waluyo. Untuk
menentukan kapan Ritual Antar Ajong dimulai, ternyata tidak
sembarangan. Terlebih dahulu harus ada wangsit atau alamat yang diterima
oleh pawang dari alam gaib.
Antar Ajong; Antara Tradisi dan Kepercayaan
Awang
Bujang mengakui, ada sebagian masyarakat yang menganggap proses ini
sebagai perbuatan syirik. Namun, kata dia, masyarakat hendaknya tidak
mencampuradukkan masalah budaya dan tradisi dengan agama. Pangeran Ratu H
Winata Kesuma, Pemangku Adat Kesultanan Sambas, ketika diwawancara juga
menyampaikan hal yang senada (sambas.go.id/news).
Antar
ajong jika disebut sebagai satu bentuk tradisi bisa saja. Sebab tradisi
local ini dilakukan turun-temurun dan menjadi ritual dikehidupan pada
masyarakat tertentu. Adapun dinamakan sebagai salah satu kepercayaan
juga bisa, sebagaimana diketahui bahwa di dalam ritual antar ajong ini
mengandung ragam unsur kepercayaan kepada sesuatu bahkan terkadang
perihal yang dipercayai itu berada di luar jangkauan akal manusia. Dalam
memandang atau menilai suatu bentuk ritual yang tergolong tradisi murni
atau kepercayaan tambahan, yang penting menjadi perhatian adalah ritus, para
pemimpin, dan ajarannya. Meski ini meminjam pendapat Munawar M.Saad
(2005: 69) yang mengatakan bahwa ketiga aspek tersebut merupakan hal
terpenting dalam membedakan sesuatu itu sistem kepercayaan atau agama.
Hemat penulis, perbedaan antara tradisi dan kepercayaan sangatlah tipis.
Bahkan bisa jadi di dalam ritual tertentu lebih mengutamakan tradisi
daripada kepercayaan pada ajaran agamanya. Sehingga tidak jarang
dijumpai dalam hal pelaksanaan tradisi tersebut berseberangan dengan
kepercayaan yang dianut (dalam hal ini adalah agama).
Demikian
pula pendapat yang menyanggah mereka yang mengatakan antar ajong itu di
klaim sebagai perbuatan syirik itu dianggap sebagai mencampuradukan
persoalan tradisi, budaya dengan agama sehingga perkataan tersebut
dinilai salah. Begitu juga sebaliknya, jangan sampai perbedaan paradigma
atau sudut pandang dalam memahami eksistensi tradisi lokal ini memicu
perdebatan yang berujung kepada pertikaian tanpa solusi.
Alangkah
lebih baik kembali pada penggalian khazanah peninggalan masa lampau
seperti ragam bentuk nilai luhur, tradisi, budaya dengan mengkaji lebih
detail sehingga bermanfaat untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan di
masa mendatang. Terlepas itu semua menyimpang atau tidak dengan ajaran
agama.
Pemerintah
berwacana untuk mengemas tradisi Antar Ajong ini menjadi sebuah potensi
wisata yang menjanjikan. Di luar momen ritual ini, direncanakan akan
diadakan sebuah festival antar ajong yang menampilkan utusan dari
seluruh desa di Kecamatan Teluk Keramat dan Paloh. Kegiatan ini diyakini
akan dapat menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi Sambas (
pontianakpost.com/berita/). Inilah perbedaan paradigma, dalam konteks
budaya berwacana seperti itu tidaklah dilarang asalkan terlebih dahulu
disosialisasikan kepada masyarakat terutama tokoh masyarakat, tokoh
agama dan sebagainya agar bisa bermusyawarah bersama pemerintah. Hal
demikian perlu dilakukan demi terciptanya ketentraman antar umat
beragama, masyarakat dan pemerintah. Langkah konkrit seperti ini pula
yang dapat membimbing masyarakat awam tentang seluk-beluk dan penilaian
tradisi lokal khususnya antar ajong ini dari berbagai sudut pandang.
D. Antar Ajong Bagi Kehidupan Masyarakat Paloh
Paloh
sebagai salah satu kawasan pesisir di Kabupaten Sambas dan memiliki
kekayaan alam yang melimpah. Ini terbukti dari hasil tangkapan ikan dari
para nelayan, lahan yang cukup subur terutama untuk perkebunan dan
pertanian sehingga memungkinkan masyarakat di sana memilih bekebun dan
bertani. Dengan alam yang begitu potensial tersebut sudah sewajarnya masyarakat setempat bersyukur kepada Pencipta alam ini.
Namun,
kekhawatiran terhadap musibah yang melanda, wabah dan penyakit,
kegagalan panen akibat hama dan berbagai gangguan terhadap desa mereka
masih muncul disebagaian masyarakat ini. Berbagai cara mereka lakukan
untuk menanggulangi berbagai gangguan tersebut. Bagi mereka yang masih
percaya bahwa segala gangguan itu bersumber dari roh-roh jahat yang
menyebar di beberapa penjuru desa seperti di hutan, laut, gunung dan
sebagainya maka salah satu tradisi lokal yang masih dilakukan adalah
antar ajong. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, antar ajong dikenal
masyarakat setempat sebagai salah satu media pengecoh roh-roh jahat yang
menguasai lingkungan sekitar desa (pontianakpost.com).
Keberadaan
antar ajong juga dirasakan manfaatnya oleh sebagian masyarakat. Dengan
diadakannya antar ajong, masyarakat dapat mengetahui musim tanam padi
yang sesuai dan tepat menurut kepercayaan setempat. Selain itu, kegiatan
ini telah dijadikan masyarakat untuk mempererat hubungan silaturahmi di
antara mereka. Dapat disaksikan dari persiapan antar ajong diawali
dengan musyawarah antar tetua masyarakat, begitupula dimulai dari
pencarian bahan ajong, pembuatan, penyeiaan sesajian, sampai upacara
ritual pelepasan ajong ke laut itu semua dilakukan secara
bergotong-royong antar desa.
Selain
itu, antar ajong telah menjadi sarana hiburan menarik baik bagi
masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Bahkan tradisi ini dapat
digali dan dijadikan sebagai aset wisata yang menjanjikan sehingga
imbasnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Paloh. Paloh menjadi
salah satu tempat yang dikenali dengan ikon antar ajongnya. Di sela-sela
acara tahunan ini masyarakat dapat berjualan sehingga menambah
pendapatan mereka.
Penutup
Dari
uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa antar ajong merupakan
salah satu tradisi lokal pada masyarakat Paloh. Tradisi ini muncul
akibat pengaruh dari kekuasaan kerajaan Majapahit sebelum Kerajaan Islam
memasuki Sambas. Sehingga, corak yang dikenal dan masih kental pada
tradisi antar ajong adalah ritual yang bernuansa animisme dan dinamisme,
disamping itu pula ditemukan unsur-unsur ajaran Islam di dalamnya.
Antar
ajong menjadi salah satu ritual tahunan masyarakat Paloh. Berdasarkan
kepercayaan masyarakat setempat, tradisi ini memiliki makna dan tujuan
tersendiri. Antar ajong telah mengalami pergeseran makna seiring zaman
berlalu. Adapun tujuan utamanya adalah sebagai media penghibur roh-roh
jahat yang ingin menggagalkan panen para penduduk setempat.
Sebagai
tradisi lokal yang turun-temurun, antar ajong memberikan warna
tersendiri di dalam kehidupan masyarakat. Antar ajong menjadi simbol
kekeluargaan, persaudaraan, dan penghargaan pada masyarakat setempat.
Sedangkan sebagai aset wisata, menurut pemerintah setempat tradisi ini
sangat potensial dikembangkan dan dilestarikan tanpa menghilangkan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Sebab,
bagaimanapun bentuk tradisi lokal tersebut sudah tentu mengandung
nilai-nilai luhur dari para pendahulu. Sebagai generasi harapan bangsa
sepantasnya bersyukur dan menghargai hasil karya mereka. Dengan
eksistensi ragam tradisi dan budaya ini maka bangsa Indonesia memiliki
identitas tersendiri, memiliki tradisi, adat-istiadat yang jauh berbeda
dan tidak ditemukan ciri khasnya di bangsa dan Negara mana pun.
DAFTAR PUSTAKA
D.Hendropuspito, 1983. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Dadang Kahmad, 2000. Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://islam-penamuda.blogspot.com/2007/11/kepercayaan-animisme-dan-dinamisme.
Munawar M.Saad.2005. Islam di Kabupaten Sambas, Khatulistiwa Journal Of Islamic Studies, Edisi Khusus Juni, Pontianak: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAIN Pontianak.
[1] Kata animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti 'roh'. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Keyakinan ini banyak dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama wahyu.
Paham animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia, atau bahkan membantu mereka dalam kehidupan ini.
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam bahasa Inggris berarti dynamic
dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan arti kekuatan, daya,
atau kekuasaan. Definisi dari dinamisme memiliki arti tentang
kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini
memiliki kekuatan ghaib.
Dalam
Ensiklopedi umum, dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan
keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di
Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan
kekuatan
(http://islam-penamuda.blogspot.com/2007/11/kepercayaan-animisme-dan-dinamisme.html).
[2] Ratteh adalah sebutan untuk bahan sesajian yang terbuat dari padi yang dionseng seperti Pop Corn.
[3] Emping
adalah padi yang oseng sebentar lalu ditumbuk sampai berbentuk pipih
dengan penumbuk padi (alok) yang kebayakan dilakukan oleh kaum wanita
Melayu sambas. Penumbukan padi dilakukan secara kumpul bersama baik satu
keluarga, tetangga, kerabat dekat atau sekampung dan ini dikenal
sebagai kegiatan”ngamping”.
0 komentar:
Posting Komentar