Alhamdulillah,
saat-saat kegembiraan umat Islam seluruh dunia telah tiba. Tamu agung
yang dinanti-nanti, bulan Ramadhan—bulan limpahan rahmat dan kasih
sayang Allah SWT.
Sudah menjadi tradisi sebagian kita
saat bulan suci ini, terutama disibukan dengan berbagai persiapan
perihal seputar menu sahur dan berbuka. Bahkan tidak jarang kita jumpai
di pinggir jalan sebagian masyarakat kita memanfaatkan momentum ini
untuk berjualan aneka makanan dan minuman. Hal itu memang tidak salah.
Sebab dengan itu masyarakat merasa terbantu untuk menyediakan menu
makanan selama sebulan penuh. Dan mereka lebih fokus beribadah dari pada
sibuk memikirkan dan menyediakan menu apa yang harus dimakan hari ini.
Tahun
berganti tahun, fenomena konsumtif demikian terus terjadi. Membuat
sebagian orang asyik mengurus perut masing-masing. Seolah-olah Ramadhan
tidak lagi menjadi bulan untuk mengendalikan hawa nafsu, malah menjadi
bulan menambah nafsu dan keinginan. Bahkan lebih boros dari bulan-bulan
sebelumnya. Itu bagi mereka yang berduit. Bagaimana dengan mereka yang
kesehariannya pas-pasan. Bagi mereka, bulan suci sama saja dengan bulan
lainnya. Karena di bulan lain mereka juga terbiasa berlapar bahkan
sehemat mungkin menggunakan uang hasil keringat sendiri. Pemulung,
pengamen jalanan, pedagang asongan, pedagang kaki lima, tukang becak dan
lainnya adalah bukti nyata bahwa mereka masih memiliki harga diri dan
optimis jalani hidup.
Di antara mereka masih ada yang
istiqamah menunaikan ibadah puasa. Bahkan mau menyisihkan uangnya untuk
sekedar infak masjid. Apakah kita tidak malu disaat kita sibuk
berjalan-jalan sore mencari kue yang menggugah selera, sementara mereka
sibuk membaca Al Quran sambil berjualan. Di tengah kita menyantap segala
makanan dan memenuhi perut ini hingga sesak, di tempat lain mereka
dengan rasa bersyukur dapat meneguk air putih.
Bukan
berarti kita mesti menjadi seperti mereka. Paling tidak, rezeki lebih
yang diberikan Allah dapat dibagikan untuk sahur atau berbuka mereka.
Bukankah sikap dermawan itu salah satu bukti kesyukuran kita kepada-Nya
Yang Maha Kaya. Sementara dari amal shadaqah itu mengalirlah pahala dari
mereka yang berpuasa kepada kita tanpa mengurangi pahalanya.
Lantas
bagaimana dengan kita saat ini. Apakah dengan makan dan minum secara
berlebihan dapat ’mengenyangkan’ batin ini ? Atau malah menambah
pengeluaran harta? Kita harus jujur pada diri sendiri. “Ini cuma setahun
sekali, jadi tidak apa-apa kan?” kadang itulah ucapan yang acap kali
menjadi dalih mereka yang merasa banyak harta. Memang tak dipungkiri, di
bulan suci kita mesti memperhatikan menu makanan terutama dalam hal
pemenuhan gizinya. Tapi makanan yang bergizi tidaklah harus mahal.
Selain itu, sudah menjadi keharusan kita dapat mengatur pola makan yang
sehat dan seimbang . Dengan demikian kita dapat beribadah dengan nyaman
dan tenang di hadapan-Nya. Wallahu a’lam.
(dipublikasikan pula oleh Pontianak Post,Rabu,10 Sept 2008 di Rubrik Halo Publik. www.pontianakpost.com)
0 komentar:
Posting Komentar