A. Pendahuluan
Pada
umumnya di mata masyarakat yang layak diberi gelar sebagai Da’i adalah
mereka yang dipandang dan disegani sebagai seseorang ustadz, alim ulama,
atau kiyai yang memiliki kapasitas ilmu agama yang tinggi dan mendalam.
Menurut masyarakat Da’i yang mereka maksudkan haruslah mereka yang
terhindar dari dosa dan maksiat. Mereka adalah orang-orang yang kuat
memegang amanah agama. Sehingga sudah sepantasnya mereka menjadi panutan
bagi jamaah (mad’unya).
Mereka
harus populer di masyarakat. Apakah populer karena gelar yang dimiliki
menjadi ajang profesi, ataupun karena melalui pendekatan peran (roel)
di masyarakat. Misalnya ia sering diminta untuk mengisi acara-acara
keagamaan di masyarakat, seperti ceramah agama , menjadi khatib pada
shalat jumat, kuliah tujuh menit, dan sebagainya. Atau ia dipilih
menjadi ketua RT di sekitar wilayah domisilinya. Atau sebab-sebab lain
yang membuat dirinya dikenal banyak orang, dan saat itulah kesempatannya menambah jumlah mad’u.
Masyarakat
mengenal da’i dengan berbagai macam sebutan di antaranya juru dakwah,
mubaligh, penyuluh agama, dan penceramah. Kebanyakan dari masyarakat
memandang seorang da’I dari sudut tugas da’i yang biasa
tampak di lapangan. Seperti berceramah, berpidato, berkhutbah, atau
aktifitas yang bernuansa tausiayah dari masjid ke masjid, majelis
ta’lim, atau acara keagamaan lainnya. Akan tetapi, adapula
masyarakat yang memahami betul karakteristik seorang da’i yang
sesungguhnya. Menurut mereka, da’I tidaklah hanya bertugas sebagai
pembicara, penceramah, khatib, dan lainnya yang jika suatu waktu
diperlukan selalu siap. Namun lebih dari itu, menjadi tugas sekaligus
tanggungjawab moral seorang da’I agar memahami dengan sebenar-benarnya
terhadap perannya sebagai unsur perubah (agent of change) suatu
tatanan di masyarakat. Ia harus memperjuangkan nilai-nilai etika dan
moral yang terangkum dalam ajaran agama. Masyarakat perlu bukti rill
bukan sekedar kata-kata. Artinya, da’I harus mampu membaur dan
beradaptasi di masyarakat. Begitupula dengan kepribadian
diri da’I itu sendiri, ia harus memiliki tekad baja untuk mempertahankan
diri di jalan kebaikan dan kebenaran. Sehingga, setiap aktifitas yang
dilakukannya hanyalah semata mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesuai
dengan sudut pandang yang berlainan tersebut, masyarakat terlupa suatu
hal tentang da’i. Yaitu posisi da’I sebagai manusia yang dhaif, selalu ada kekurangan. Memang tidaklah salah ketika masyarakat menuntut agar seorang da’I haruslah hanif
dan bebas dari belenggu dosa. Akan tetapi, kemampuan masing-masing
pribadi da’i itu sendiri jelas berbeda-beda. Sebagai manusia, mereka
juga memiliki keterbatasan dalam beberapa hal. Oleh sebab itu, da’i yang
dikenal sebagai penyeru ke jalan kebaikan juga mesti diseru atau
diingatkan agar istiqamah dengan apa yang telah disampaikan. Ibarat sebuah
bola tenis yang kita pantulkan ke dinding, semakin kuat kita melempar
semakin keras pantulannya ke arah kita. Dengan kata lain, pesan-pesan
dakwah yang da’i sampaikan kepada orang lain pada hakikatnya untuk diri
pribadi da’i sendiri.
Beranjak dari wacana di atas, penulis akan memfokuskan bahasan makalah pada :
1. Definisi Da’i .
2. Citra Da’i di Masyarakat .
3. Sifat Da’i Teladan.
4. Peranan Da’i di Masyarakat ?
Dengan demikian, keempat sub bahasan tersebut insya Allah, akan melengkapi dan menambah khazanah keilmuan para pembaca khususnya materi tentang Citra Da’i di Mata Masyarakat. Semoga bermanfaat dan termotivasi untuk beramal.
B. Pembahasan
1. Definisi Da’i
Sebagaimana paparan pada pendahuluan di atas, Da’i biasa disebut pula juru dakwah, pembawa risalah agama. Dan karena istilah Da’i
bersumber dari agama Islam, maka Da’i yang dimaksud adalah mereka yang
melakukan tugas dakwah demi mempertahankan eksistensi agama Islam dan
menyebarkan kebaikan ke seluruh dunia. Mohammad Ali Aziz ( 2004: 75)
mengartikan bahwa da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan
maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau
berbentuk organisasi atau lembaga.
Seperti yang telah disinggung pada pemaparan sebelumnya, kata da’I ini secara umum masyarakat sering menyebutnya dengan sebutan mubaligh
(orang yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini
konotasinya sangat sempit karena masyarakat cenderung mengartikan
sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti
penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah) , dan sebagainya (Moh.Ali Aziz, 2004 : 79). Padahal sebagai kaum muslimin yang mengaku sebagai umat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam seharusnya menyadari akan tugas dan tanggungjawab mereka. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri memikul tugas kenabian tersebut dengan penuh keikhlasan dan
tanggungjawab. Beliaulah yang pertamakali mencontohkan kepada umatnya
sebagai sosok Da’i yang ideal. Beliau tidak hanya berwasiat, berkhutbah
di hadapan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal tersebut terbukti pada sifat dan sikap beliau yang selalu sejuk, ramah, penuh dengan kasih sayang kepada para sahabatnya.
Maka
dari itu, semua pribadi muslim pada dasarnya layak sebagai mubaligh.
Namun, Toto Tasmara dalam M. Ali Aziz (2004: 80) menyebutkan bahwa yang
berperan sebagai Da’i secara umum adalah setiap muslim dan muslimat mukallaf (dewasa). Dan secara khusus bagi mereka yang mengkhususkan diri sebagai Da’i profesinal seperti ulama.
2. Citra Da’i di Masyarakat
Sebagaimana
diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan
sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan
diberlakukan. Sistem keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang
masih dipertahankan seperti etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti dengan benar persepsi terhadap
penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana dalam Islam
penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan
sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.
Di
kalangan umat muslim sendiri sebutan Da’i sudah memasyarakat. Sosok
da’i mereka kenal sebagai orang yang mengerti dan memahami betul seluk
beluk ajaran agama Islam. Bukan hanya itu, melalui prilaku keseharian
Da’i yang patut diteladani oleh masyarakat. Misalnya peduli dengan
keresahan dan kebimbangan masyarakat dalam memaknai kehidupan beragama.
Namun, masyarakat sebagian mengenal Da’i hanya sebatas yang kerap mereka jumpai dikehidupan sehari-hari mereka. Ada sekelompok jamaah yang menamakan diri mereka pendakwah (da’i) dengan aktifitas berceramah
dari masjid ke masjid, masuk dan keluar Desa, mengajak penduduk
setempat untuk ikut berdakwah bersama mereka. Sehingga, dakwah yang
dikenal hanya berkutat pada persoalan keakhiratan. Seperti keutamaan
amal ibadah mahdhah (shalat, zakat, shadaqah, membaca Al Quran,
zikir,dan lainnya). Dan dapat diacungi jempol bahwa dengan metode
seperti ini, mereka dengan mudah merekrut orang lain untuk bergabung
bersama mereka. Sebab, mad’u yang mereka ajak juga difungsikan sebagai
da’I paling tidak untuk diri dan keluarganya ketika sepulang dari
berdakwah di daerah lain.
Akan tetapi sebagian masyarakat lainnya
kurang menerima dakwah seperti itu. Menurut mereka dakwah tidaklah
cukup sebatas menyampaikan kebenaran ajaran agama yang diyakini. Lebih
dari itu, masyarakat juga perlu bimbingan secara kontinyu mengenai
ajaran yang telah disampaikan untuk bisa diaplikasikan secara baik dan
benar sesuai dengan ajaran Da’i teladan umat Islam yakni Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Biasanya
pendapat yang kedua tersebut dilontarkan oleh masyarakat yang sudah
mengenyam pendidikan atau mengkaji betul ilmu tentang dakwah. Bahkan
sebagai da’i tidaklah cukup hanya ilmu agama yang harus diberikan.
Karena keilmuan dan pemahaman masyarakat sangatlah berbeda. Sehingga,
selain ilmu agama da’I juga harus memiliki wawasan yang cukup luas
tentang ilmu umum. Misalnya dengan pendekatan disiplin ilmu sosial
(sosiologi, antropologi, psikologi dan lainnya) Da’i akan mampu
menyampaikan pesan dakwahnya ke masyarakat yang heterogen. Sedangkan
masyarakat (mad’u) dapat memahami dan menerima pesan dakwah tersebut. Bukan
berdasarkan pengalaman dan asas menduga-duga pada saat terjun di
tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, seorang Da’i juga memahami
asas keilmiahan dalam berdakwah.
Jika
tidak memperhatikan dan mempertimbangkan asas keilmiahan tersebut, maka
akan terjadi kesalahpahaman baik terhadap dakwah maupun juru dakwahnya
(da’i). Dakwah akan dipahami sebatas menyampaikan ilmu agama seperti
yang Da’i lakukan di atas mimbar. Bahkan yang dapat mencoreng nama baik Da’i adalah oknum tertentu yang mengaku sebagai Da’i tetapi tidak mencerminkan kepribadian seorang
da’i. Mereka berani menyampaikan ajaran agama yang sarat nilai etika
dan moral. Namun dikesempatan lain mereka berprilaku kurang sopan
terhadap orang lain dan agama lain. Atau berbuat melanggar hukum di
masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. As Shaff : 3).
Dengan
demikian, sudah saatnya Da’i dikenal oleh masyarakat dari berbagai
kalangan baik umat Islam sendiri maupun umat lainnya, dari kalangan
bawah (masyarakat sederhana) sampai kalangan atas (masyarakat elit).Da’i
juga harus ramah dan sopan santun kepada siapa saja. Selalu tegar di
jalan kebaikan. Dan tetap menjadi panutan masyarakat dalam mengarungi
kehidupan.
3. Sifat Da’i Teladan
Di
dalam mengenal sosok pengemban tugas kenabian ini, masyarakat tidak
bisa lepas dari mengenal lebih dekat tokoh utama di dalam perjuangan
risalah dakwah Islam. Beliaulah Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Karakteristik yang dimiliki Beliau Sallallahu ‘alaihi wa sallam selain sifat kenabian pada umumnya yakni amanah (penyampai), fathanah (cerdas), shiddiq
(jujur), beliau juga memiliki sifat mulia sebagai rasul Allah. Dan
sifat tersebut menurut Said al-Qahthani (2001: 95) sangat penting ada
pada Da’i , seperti berdakwah dengan bashirah, penyantun, lembut, lunak, sabar, kasih sayang, pemaaf, lapang dada, tawadhu’, menepati janji, itsar
(mendahulukan kepentingan orang lain), pemberani, malu yang terpuji,
dermawan, takwa, azimah (tekad yang kuat), bercita-cita tinggi,
optimisme, teratur, teliti, menjaga waktu, bangga dengan Islam, menjadi qudwah (teladan) yang baik, zuhud, wara’, istiqamah, tanggap terhadap lingkungan, adil dan seimbang, tsiqah terhadap Allah (percaya akan janji Allah), bertahap dalam berdakwah, dan memulai dari yang terpenting kemudian yang penting.
Musthafa Ar-rafi’i ( 2002: 38-50) menjelaskan beberapa sifat Da’i tersebut berikut ini.
Syarat dan Sifat Da’i
Amal
dan kegiatannya harus ikhlas karena mencari ridha Allah dan meraih
pahala-Nya. Bila ia mencampur amalnya dengan salah satu dari semua
tujuan duniawi maka sia-sialah amalnya dan rugilah ia.
Mushthafa Masyhur (2000 : 19) menambahkan bahwa keikhlasan dalam
berdakwah dapat memancarkan pesona tersendiri dan mampu menembus hati mad’u. Dalil atas hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan siapakah yang paling baik ucapannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah…” Dan firman-Nya, “Dan hendaklah ada dari kamu satu kaum
yang menyeru kepada kebaikan…”
a. Teladan dalam amal shaleh.
Da’i
tidak dikenal selain kebaikannya. Tidak populer ia kecuali ketakwaannya
dan komitmennya terhadap Islam, baik prinsip maupun perilakunya. Ayat
Al Quran melarang kefasikan bagi Da’i, (QS Albaqarah: 44) dan (QS
Ash-Shaff: 3).
Jika Seorang Da’i diharuskan bersih dari semua kemaksiatan maka kegiatan
dakwah akan kosong secara total. Menempuh cara hikmah (bijaksana)
terhadap orang-orang terpelajar dan intelek, dan melakukan metode mauizhah hasanah (nasihat yang baik) dalam menghadapi orang awam.
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS.
An-Nahl: 125)
Cara hikmah tidak terwujud kecuali dengan nalar dan logika yang tinggi. Sedang cara mauizhah hasanah
hanya terwujud dengan memakai uslub dan metode cerita dan bicara yang
lembut, menyentuh perasaan dengan tamsil-tamsil, dilengkapi dengan
sejarah para salafushaleh.
b. Menguasai ilmu yang sesuai dengan zamannya.
Ia
menguasai teori dari berbagai aliran pemikiran, sehingga ia dapat
membeberkan kesalahan atau bahayanya terhadap ajaran Islam. Dan
sebagaimana yang dikatakan Toto Tasmara (2000 : 46) bahwa salah satu
misi seorang muslim yakni memenangkan ajaran Islam dari segala ajaran,
idiologi dan agama lain. Karena dijaman sekarang perang tidak hanya
mempergunakan senjata fisik, tapi apa yang disebut al Ghazw al-fikri (perang pemikiran). Al Ghazw al-fikri adalah
serangan pemikiran, budaya, mental, dan konsep yang dilakukan secara
terus menerus dengan sistematik, teratur, serta terancang dengan baik
(Irwan Prayitno, 2005 : 3). Umat Islam harus waspada dengan strategi
musuh Islam tersebut. Karena al Ghazw al-fikri jelas dapat merusak kepribadian muslim dan menggoyahkan kekuatan umat Islam.
Lembut
dalam menyampaikan nilai-nilai dan pandangan - pandangan serta lembut
dalam mengingkari atau menolak kesesatan, kesalahpahaman dan berbagai
kemaksiatan. Dalam literatur lain, sikap lemah lembut dan ramah ini diistilahkan ar-rifqu dan al-layyinu (Said Al Qahthani,2001: 161). Dalam hal ini, Al Quran menyebutkan :
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.
Berdakwah
dengan tujuan menarik manfaat dan menghilangkan kemudharatan, menolak
kebiasaan dan menegakkan agama serta menghancurkan kekuatan lawan. Harus
sabar dan tabah menghadapi cobaan dan siksaan. Said Al Qahthani (2001 :
180) mengutamakan kesabaran dalam segala hal bagi para da’I, Rasul Sallallahu ‘alaihi wa Sallam selalu diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :
Bersabarlah
(hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu
dayakan.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. An Nahl : 127-128)
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. An Nahl : 127-128)
Mengetahui tabiat dan kejiwaan jamaahnya, dengan memperhatikan apa yang mereka inginkan, di samping harus menguasai cara beramuammalah dengan mereka. Da’i harus melakukan dengan kekuatan, apabila cara hikmah, mauizhah hasanah dan jidal/ debat yang baik tidak mempan. Karena lawan yang seperti ini tidak boleh dibiarkan.
4. Peranan Dai di Masyarakat
Da’i bukanlah mubaligh
yang hanya berbicara di atas mimbar, memberikan tausiyah kepada
masyarakat atau aktifitas semacamnya yang sudah lumrah dilakukan
sebagian besar para da’i. Da’i memiliki peranan penting pada proses perubahan masyarakat. Mereka dikenal
dan akrab dimasyarakat bukanlah karena kepandaian retorika semata. Akan
tetapi kepiawaiannya dalam menuntun masyarakat untuk mewujudkan
ketentraman dan kedamaian di lingkungan dapat terbukti di depan mata.
Dan masih banyak yang dapat dilakukan da’i di masyarakat, berikut ini
beberapa peranan seorang dai di masyarakat yang patut menjadi contoh.
Ø Da’i sebagai Pemimpin Masyarakat
Secara
sederhana yang dimaksud pemimpin adalah seseorang yang diamanahi untuk
memimpin bawahannya. Biasanya di dalam struktur organisasi pemimpin
disebut ketua. Segala keputusan haruslah berada ditangan seorang ketua.
Namun, Hisham Altalib (1996 : 52) menjelaskan bahwa pemimpin adalah
pelayan umat.
Sehingga ciri-ciri kepemimpinan Islam harus dimiliki oleh seorang Da’i seperti setia terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.,
memiliki tujuan demi kejayaan Islam, berpegang pada syariat dan akhlak
Islam, dan sanggup mengemban amanat umat. Demikian yang disampaikan
Hisham Altalib (1996 : 52-53).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan (QS. AlHijr : 41).
Ø Da’i sebagai Guru
Guru,
ustadz, kiyai, atau apapun sebutannya da’i adalah pengajar, pendidik
dan pembimbing masyarakat di dalam memahami ajaran agama. Sebagaimana
seorang guru yang baik, da’i jelas memiliki kejujuran, kesabaran,
ketelitian, dan keteladanan di dalam menurunkan ilmunya ke masyarakat.
Begitulah metode Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. mendidik para sahabat ra. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa sallam sangat santun dan hikmah dalam mengajarkan ilmunya. Belum pernah para sahabat diperlakukan kasar oleh Beliau. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. selalu terbuka untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bukti sejarah menjelaskan bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. mampu mendidik masyarakat
jahiliyah menuju masyarakat yang cinta ilmiah. Maka dari itu, da’I yang
berperan seperti layaknya seorang guru harus memperbanyak khazanah
keilmuan baik ilmu keakhiratan maupun keduniawian.
Ø Da’i sebagai Refolusioner
Mendengar
kata ‘refolusioner’ akan terbuka ingatan terhadap perjuangan dan
pengorbanan para pembela negara. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga,
bahkan harta mereka demi kemerdekaan dan kedaulatan negaranya. Para pahlawan tersebut layak diberi gelar refolusioner bangsa.
Namun, refolusioner yang dimaksudkan bukanlah sebatas perjuangan para pejuang seperti yang dipaparkan di atas. Para
pahlawan atau dalam Islam disebut dengan mujahid merupakan bukti
konkrit pembelaan harga diri suatu bangsa atau idiologi. Dan da’i mampu
berperan sebagai refolusioner (penggerak perubahan) masyarakat menuju
kebangkitan dan kejayaan umat. Hal ini dapat terbukti dari banyaknya
para da’i yang berkecimpung di dunia politik dan mampu menjadi pemimpin
perubahan dari masyarakat yang tertindas menuju masyarakat aman dan
tentram di bawah naungan pemerintahan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hisham Altalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, Media Dakwah, Jakarta, 1994.
Irwan Prayitno, Kepribadian Dai, Pustaka Tarbiyatuna, Jakarta, 2005.
Musthafa Ar-Rafi’I, Potret juru Dakwah, CV Pustaka Al- Kautsar, Jakarta Timur, 2002.
Musthafa Masyhur, Fiqh Dakwah I, Al-I’tishom cahaya umat, Jakarta, 2000.
Moh.Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004
Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, Pustaka Arafah, Solo, 2001.
Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah : Menggali Potensi Diri, Gema Insani, Jakarta, 2000.
0 komentar:
Posting Komentar