PEHATIAN!
Jika hati Anda merasa kurang nyaman saat membaca
tulisan ini, berarti energi iman Anda
sedang lemah (lowbet) dan segeralah cas dengan charger berikut ini. Seizin
Tuhan, Anda akan merasakan hal yang berbeda dari sebelumnya. Selamat mengecas
iman.
Maksiat merupakan kata yang mengandung banyak
arti musytarak (memiliki arti dan makna yang beragam), berasal dari akar
kata ‘asha, ‘ishyan dan ma’shiatan. Sinonimnya fajur
(kekejian) dan si pelakunya disebut faajir dan fujjar (pluralnya).
Yang tergolong ke dalam maksiat itu segala perbuatan atau aktivitas yang
bertujuan untuk menyesatkan manusia sehingga ia melanggar perintah-Nya. Secara
leksikal, maksiat itu mengandung pengertian mendurhakai, tidak taat, melepas
kesetiaan, menentang, membelot, memberontak, berbuat salah, melanggar aturan,
atau menggoda manusia (dan ini biasanya bidang kerja iblis dan setan) agar
manusia tersebut inkar kepada Tuhannya.
Terjadinya maksiat dalam segala bentuk dan di
dalamnya ikut berperan para intelektual palsu untuk memutarbalikkan ketentuan
Allah (misalnya, dari yang haram dijadikan halal). Menurut Imam Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin, hal ini disebabkan oleh tujuh anggpta badan, yaitu mata,
telinga, lidah, tangan, kaki, perut dan aurat. Semua anggota badan itulah nanti
yang akan dipertanyakan oleh Allah tentang aktivitas fisik selama hidup di
dunia.
Maksiat Umat Terdahulu
Di antara contoh yang dikemukakan Allah untuk
dijadikan ibrah (pelajaran) bagi orang mukmin ialah keninaan yang
ditimpakan kepada Yahudi. Diubahnya mereka menjadi monyet yang hina akibat
melanggar ketentuan Allah, yakni melakukan maksiat pada hari Sabtu, sedangkan
hari itu hari yang disucikan bagi mereka. (buka QS. An Nisa:47). Informasi
tentang hal ini juga dengan jelas didokumentasikan dalam Al-Quran surah
Al-Baqarah ayat 65.
Monyet di sini bisa di-interpretasikan sebagai
monyet secara hakiki, dan bisa pula berkonotasi monyet sebagai simbol. Monyet
sebagai symbol, yaitu hewan yang suka sekali menirukan sesuatu. Dalam hal ini
dapat dikaitkan dengan perilaku menyimpang untuk meniru tingkah laku
orang-orang kuffar dan fasik. Mereka memakan apa saja asal perutnya terisi
kenyang, tidak peduli apa yang dimakan itu haram atau halal.
Umat Islam tak layak meniru sikap Yahudi untuk
menerima sebagian isi Al-Quran dan menolak sebagian lainnya, karena tidak
menguntungkannya secara materi dan duniawi.
Ibnu Khaldun dalam karyanya, ‘Muqaddimah’ mengatakan bahwa keruntuhan
sebuah daulah (kerajaan) selain karena praktek nepotisme dalam birokrasi, juga
akibat merajalelanya maksiat dan pengabaian terhadap ajaran agama serta
mengkultuskan pemimpin secara berlebihan. Apa yang dikemukakan dalam analisis
Ibnu Khaldun itu banyak fakta yang kita saksikan dalam perkembangan dunia yang
tampaknya makin terlena dalam kehancuran moralitas. Pada saat orang hilang
pegangan, karena meremehkan ajaran agama maka maksiat berperan sebagai
“perilaku terhormat”.
Maksiat di Era Modern
Secara implisit para Amir (pemimpin) mengakui
bahwa maksiat seperti judi dalam berbagai bentuk itu akan berdampak negatif
pada rakyatnya. Misalnya, di zaman teknologi saat ini judi bisa saja dikemas
dalam bentuk permainan (game), pertandingan/perlombaan olahraga dan
sebagainya baik terjun langsung ke lapangan maupun via online cyber. Karena
pada umumnya daya tarik uang sangat memikat hati manusia di era materialistik
ini. Atau cybersex yang banyak diminati. Sebab hasrat seks merupakan kebutuhan
vital manusia dalam regenerasi eksistensinya di muka bumi.
Akibat kehilangan pegangan, seseorang tidak percaya
diri untuk bisa menjauhkan diri dari kemaksiatan atau berbuat kebaikan. Ia
terus terjerumus digerus arus maksiat.
Sangat mencengangkan, ada saja oknum-oknum yang
tak bertanggungjawab berbuat maksiat dengan koordinasi yang rapi. Mereka para
intelektual gadungan menggunakan kesempatan itu untuk mengutak-atik paradigma
(cara pandang) bahkan fatwa tentang ketidakmaksiatan sesuatu yang sebenarnya
maksiat. Misalnya, dewasa ini sering dijumpai kasus nikah beda agama, kawin
kontrak (nikah mut’ah), melegalkan aliran sempalan/sesat, pornografi dan
pornoaksi sebagai apresiasi dan ekspresi seni, ajaran mistik dan kurafat
disamakan dengan khazanah kebudayaan, falsafah bangsa dan aset pariwisata, dan
lain sebagainya.
Orang itu selalu berusaha untuk menggeser dalil
dan hujjah dengan mengkultuskan akal bahwa sesuatu kalau hanya begini bukan
maksiat dan sebagainya. Ketika itulah masyarakat awam menjadi bingung, berada
dipersimpangan jalan. Sulit bagi mereka membedakan mana yang bisa disebut
intelektual “warasat al-anbiya” (pewaris para nabi) dan mana yang “warasat
al-kazzab” (pewaris para pendusta) yang akan mendapat azab.
Ibarat Bom Waktu
Dosa dan maksiat itu bagaikan bom waktu yang siap
meledak sepanjang hitungan menit atau detik usia manusia. Pemicu “bom” itu
adalah semakin bertambahnya kemaksiatan yang dilakukan sipelaku maksiat. Tak
diketahui secara pasti kapan “bom” itu meledak. Bisa saja meledak secara
tiba-tiba disaat pelaku sedang “merakit” “bom”. “Bom” akan meledak membumi
hanguskan jiwa, diri dan kehidupannya. Kita perlu mengetahui dan bisa
mendeteksi keberadaan “bom” itu. Adapun zona-zona tersembunyi titik “bom”
umumnya terdapat pada tiga titik dalam diri manusia. Yaitu:
1.
Pemalsuan dan Pelencengan Dalil Agama (Maksiat
dalam beragama)
2.
Kecintaan kepada Keduniaan (Hubbud-Dunia)
3.
Takut Mati dan Melupakan Alam Akhirat
Mari kita deteksi satu per satu,
1.
Pemalsuan dan Pelencengan Dalil Agama
(Maksiat dalam Beragama)
Di abad modern ini,
pikiran manusia semakin pintar untuk memutarbalikkan antara fakta (kebenaran)
dan dusta (kebohongan). Dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits disimpang siurkan
penggunaannya pada berbagai teks dan retorika perdebatan. Banyak ayat atau
hadits sengaja dipenggal/dipotong untuk kepentingan keduniaan, hadits-hadits
palsu dijadikan hujjah (sandaran
argumentasi), bahkan yang lebih ekstrim adalah mencampuradukan ajaran antar
agama, membuat ajaran sesat, menghalalkan perzinahan, pembantaian dan
pembunuhan baik karakter maupun nyawa. Suka berdebat, tapi amalan nihil.
Mencari-cari alasan/dalil palsu guna membenarkan paradigma sesuai dengan nafsu
dan akal semata. Hal inilah yang dikecam oleh Allah swt dalam Al-Quran, yakni
perilaku mengikuti para Ahli Kitab yang jahil dan jahat. (Buka QS. 2: 79, 3:
69,70-71, 5:77, 98: 6).
2.
Kecintaan kepada Keduniaan (Hubbud-Dunia)
Segala sesuatu yang
dilakukan hanya untuk memenuhi dan memuaskan hal-hal yang bersifat duniawi.
Seperti berfoya-foya membelanjakan harta untuk kepuasan nafsu makanan dan
minuman haram, kepuasan bercinta dengan wanita (seksual) dengan melakukan seks
bebas, menumpuk-numpukan harta benda untuk pamer dan kesombongan. Berambisi
merebut tahta dan kehormatan dengan menghalalkan berbagai cara. Itulah
kesenangan dunia yang menipu.[1]
3.
Takut Mati dan Melupakan Alam Akhirat
Takut akan kematian/ajal
berarti lalai akan dosa dan pahala. Jika sudah demikian, lalai dari mengingat
Tuhan, tidak peduli dengan peringatan-Nya. Meski tubuhnya sedang digerogoti
penyakit ganas akibat dari dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Hal itu belum
juga menyadarkan/membuka mata hatinya untuk segera kembali ke jalan Tuhan.
Kembali menyadari tujuan hidupnya dan kefanaan kehiduapan di dunia. Sehingga
mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan di masa depan yakni akhirat.
Bahaya Ledakan “Bom Waktu”
Ledakan yang dahsyat dari “bom waktu” (baca:
maksiat) itu dikenal sebagai siksaan atau azab di dunia dan akhirat.[2]
Ledakan itu berupa penyakit-penyakit kronis dan mematikan membuat sengsara
fisik dan psikis manusia. Ledakan itu juga berupa musibah, bencana yang
ditimpakan pada suatu kaum/bangsa durhaka. Sebagaimana pelajaran sejarah
tragedi azab bagi kaum-kaum terlaknat dahulu yang diabadikan informasinya dalam
Al-Quran. [buka QS 7:64, 78, 84, 91]
Pelaku
Maksiat itu Teroris
Ledakan azab akibat “bom waktu” yang pelaku
pasang pada dirinya sendiri sama saja dia sedang melakukan aksi nekad menteror
dan bunuh diri sia-sia. Tidak berlebihan kiranya, mereka itu layak disebut
teroris tersadis, akibat aksi maksiat yang dilakukannya berdampak pula pada
orang lain di sekitarnya. Sebagaimana bunyi hadits, ‘Perbuatan dosa mengakibatkan sial
terhadap orang yang bukan pelakunya. Kalau dia mencelanya maka bisa terkena
ujian (cobaan). Kalau menggunjingnya dia berdosa dan kalau dia menyetujuinya
maka seolah-olah dia ikut melakukannya. (HR. Ad-Dailami)
Siksaan azab yang ditimpakan Allah hanyalah
menimpa si pelaku maksiat. Namun musibah akan berlaku pada semua orang yang
berada di tempat azab itu diturunkan. Mereka yang bermaksiat akan merasakan
sakitnya siksaan sedangkan bagi orang-orang yang beriman dan sholeh akan mendapatkan
naungan kenikmatan dan kebahagiaan di sisi-Nya meskipun mereka secara jasad
juga terbunuh.
Imam Bukhari meriwayatkan, Sabda Nabi Muhammad
saw: “Musibah pada suatu kaum, maka yang akan terkena dampak musibah itu bukan
saja mereka yang bersalah (melakukan maksiat) melainkan juga orang yang tidak
terlibat dalam kemaksiatan, kemudian diperlihatkan kepada mereka buah dari
perbuatannya”.
Ledakan
Terdahsyat dan Mengerikan di Akhirat
‘Dan berapalah banyaknya (penduduk)
negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami
hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan
azab yang mengerikan.’ (QS. Ath Thalaaq [65]: 8)
Sementara “bom waktu” (maksiat) pada diri si
pelaku itu akan terus-menerus meledak menyiksa dirinya di alam akhirat. Agar
tidak membahayakan para penduduk negeri akhirat, Allah memerintahkan malaikat
Malik mengumpulkan mereka yang membawa “bom waktu” (dosa dan maksiat) itu ke
Neraka, tempat karantina dan peledakan secara besar-besaran “bom waktu” mereka.
Betapa bodohnya mereka menyiksa dan menyengsarakan diri mereka sendiri. Maaf,
ini hanyalah sekilas anekdot dari penulis dengan maksud ilustrasi dan
perumpamaan bahasa kiasan (konotatif). Agar kita bisa memahami bahwa dosa dan
maksiat itu akan terus menghancurkan si pelakunya secara bertubi-tubi baik di
dunia hingga di akhirat kelak bahkan lebih dahsyat dan sangat mengerikan tak
sebanding dengan tabrakan ion positif dan negatif di atmosfer bumi
(petir/halilintar) atau ledakan bom atom/nuklir di dunia.
Maka dari itu mari kita menjaga diri, keluarga
dan saudara-saudari sesama muslim agar terhindar dari segala bentuk “bom waktu”
(kemaksiatan) dunia. Sebagaimana ucapan Nabi Nuh as. Dalam QS. Nuh: 28.
Kecanggihan Teknologi Penjinak “Bom Waktu”
TNPM itu bukanlah singkatan dari Teknologi Nuklir
Pemusnah Massal, tapi itu adalah singkatan yang penulis buat untuk
pengistilahan ‘teknologi tercanggih’ yang diambil dari sumber hukum Islam,
yaitu Taubat Nashuha Penjinak Maksiat [TNPM].
Karena kini maksiat semakin canggih dan berbahaya
bagaikan bom. Maka sangat diperlukan interpretasi modern dalam “menjinakannya”.
Kita selaku kaum intelektual muda mesti mengetahui ilmu dan teknologi yang
harus digunakan. Allah swt sejak 14 abad silam telah memberikan rumusan/formula
tentang kecanggihan teknologi ini. Kitab suci Al-Quran mengistilahkannya dengan
Taubatan Nashuha (Taubat yang sesungguhnya), [cek QS At-Tahrim[66]: 8].
Para Nabi, Rasul, sahabat dan pewarisnya yakni
para ulama sangat memahami betul TNPM ini. Mereka mampu mengoperasikannya
dengan baik. Berikut sekilas penjelasan kecanggihan dari TNPM:
1
Pemancaran gelombang frekuensi secara konsisten
baik melalui media suara jahr lisan (terdengar) maupun siir hati
(bisikan) dari istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, asmaul husna, shalawat, doa
mampu menetralisasi gelombang maksiat dalam akal dan hati. Getaran di dalam
lisan dan hati itu melumpuhkan pemicu maksiat asalkan kita fokus pada signal
khusyu’, tawadhu’ (rendah hati) dan ikhlas.
2
Kemutahiran Shalat, Shaum (puasa), tilawah
Al-Quran dan amalan nawafil (sunnah) lainnya dapat meng-ON-kan aliran listrik
pada batin/jiwa sehingga bercahaya dan berkilau setiap hari. Sehingga kita
dapat membedakan antara kebajikan dan kebatilan.
3
Program Penyucian Jiwa (Mental Purification
Program) sangat tepat guna dan terbukti berhasil membersihkan dan
menonaktifkan titik dan signal maksiat dalam diri. Setelah itu pengisian
kembali ‘energi ilahiyah’ yakni penyibukan diri dengan amal shaleh, mengkaji
ilmu agama dan berupaya menemukan jati diri dan pencerahan jiwa serta
koneksitas pada Tuhan.
Agar proses “penjinakan
bom waktu” itu berjalan dengan sukses dan aman, alangkah baiknya jika si pelaku
tidak gegabah untuk melepas penderitaan dengan meledakan diri (bunuh diri).[3]
Malah itu akan menambah penderitaan setelah kematian. Si pelaku mesti mencari
dan menemukan para ahli yang piawai dalam “menjinakan” “Bom”. Yaitu para Ulama,
ustadz, orang-orang alim dan sholeh. Bergurulah dengan mereka, mintalah bantuan
dan bimbingan dari mereka agar bisa menghentikan “pemicu bom” (dosa).
Bersabarlah, serahkan
sepenuhnya pada pertolongan Allah, mohonlah taufik dan hidayahNya. Sebab jika
si pelaku tidak segera menyadari bahaya “ledakan” yang mengancam jiwa sekaligus
nyawa maka detik demi detik ia akan menuju kehancuran. “Bom” itu harus
dinonaktifkan selamanya dengan taubatan nasuha dari si pelaku maksiat. Sebab
tidak ada cara lain, itulah satu- satunya cara agar manusia terselamat dari
“ledakan” siksaan dan azab Allah swt. Dan ketahuilah wahai sahabat, rahmat dan
rahim Allah mengalahkan murka-Nya. Sesuai dengan Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Nabi saw.
bersabda: Tatkala Allah menciptakan makhluk, Allah telah menuliskan dalam kitab
catatan-Nya yang berada di sisi-Nya di atas arsy bahwa sesungguhnya kasih
sayang-Ku mengalahkan murka-Ku. (Shahih Muslim No.4939). Maka dari itu mohonlah
selalu belas kasih dan ampunan dari Sang Maha Kasih itu.
Pontianak, 28 April 2012
Pemulung
Inspirasi
[1] ‘Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.’(QS. Al-Hadid[57]: 20).
[2] ‘Bagi
mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih
keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah.’ (QS. Ar-Ra’d[13]: 34).
[3] Hadis riwayat Anas ra., ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Janganlah seorang di antara kamu mengharapkan kematian karena musibah
yang menimpanya dan apabila dia memang harus mengharapkan, sebaiknya dia
berkata: Ya Allah! Hidupkanlah aku selama kehidupan itu yang terbaik bagiku,
dan matikanlah aku jika kematian itu yang terbaik bagiku. (Shahih Muslim
No.4840)
0 komentar:
Posting Komentar