14 Maret 2011 pukul 15:15
Banyak
ucapan istighfar yang terucap dibibir ini ternyata tidak membekas
dalam diri bahkan membuat diri ini sulit untuk meraih kesuksesan dan
kekayaan. Itu terjadi karena:
-diri ini salah dalam mempraktekkan istighfar
-diri ini salah dalam memahami hakikat istighfar
-diri ini belum bisa menggunakan kekuatan/energi istighfar untuk meraih kesuksesan & kekayaan.
Mari kita masuki dan selami dunia istighfar, sambil terus-menerus berharap semoga Allah swt memberi petunjuk-Nya kepada kita. Seberapa pun sering istighfar diucapkan, tapi kalau Cuma sampai ditenggorokan saja, maka tidak akan pernah mampu mencapai kesuksesan dan kekayaan material. Percayalah bahwa ucapan hanyalah sekedar simbol. Terkadang sebuah symbol bersifat tipuan. Apa yang diucapkan tidak selaras dengan apa yang ada di hati & pikiran. Bahkan, apa yang ada di pikiran kadang berbanding terbalik dengan apa yang ada di kedalaman hati.
Misalnya saya melakukan shalat dan sehabis shalat saya mengucapkan istighfar 3 kali atau 100 kali, tetapi ucapan saya itu tidak membungkus jiwa saya. Maka 100/1000 kali istighfar yang saya ucapkan tidak signifikan bagi kualitas kehidupan saya.
Jika demikian, energi & kekuatan istighfar tidak akan sesuai dengan kualitas hidup seseorang, apalagi jika istighfar itu wujud dari kelatahan semata. Mulut emang istighfar, tapi itu cuma omdo (omong doank).
Ada sebuah riwayat tentang istighfar yang kebenarannya tidak terbantahkan & bahkan bisa sangat mengejutkan & mencengangkan kita yang selama ini sering mengucapkan istighfar.
Dalam kitab Nahj al-Balaghah, diceritakan tentang seseorang yang mengucapkan lafadz “Astaghfirullah” (Saya memohon keampunan Allah).
Lalu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata:
“Ibumu boleh menangisimu; kamu sesungguhnya tidak tahu apa arti astaghfirullah. Astaghfirullah dimaksudkan bagi orang-orang yang berkedudukan tinggi. Kata itu berdiri di atas enam topangan. Yang pertama ialah bertaubat atas yang sudah-sudah; yang kedua, bertekad sungguh-sungguh untuk tidak kembali padanya (tidak lagi kembali berbuat maksiat); yang ketiga ialah memenuhi hak-hak manusia agar kamu menemui Allah swt dengan bersih tanpa ada sesuatu untuk dipertanggungjawabkan; yang keempat memenuhi setiap kewajiban yang kamu abaikan di masa lalu sehingga sekarang kamu boleh berlaku adil atasnya; uang kelima mengenai daging yang tumbuh sebagai hasil rejeki yang haram agar kamu dapat meleburkannya dengan kesedihan (karena bertaubat) sampai kulit menyentuh tulang, & tumbuh daging baru di antara (kulit & tulang itu; dan yang keenam ialah membuat tubuh merasakan keperihannya ketaatan sebagaimana dahulunya kamu membuat tubuhmu merasakan manisnya pelanggaran. Dalam keadaan demikian barulah kamu boleh mengatakan, “Astaghfirullah”.
Refleksi
Sungguh istighfar bukanlah ucapan yang boleh secara sembarangan diucapkan. Bukankah selama ini kita sering mengucapkannya secara sembarangan ? artinya, kita sering mengucapkan istighfar tanpa disertai dengan prasarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana apa yang diajarkan Ali ra. Dalam bahasa beliau, “Ibumu boleh menangisimu” artinya orang yang sembarangan mengucapkan istighfar adalah orang yang patut untuk disesali, untuk dikasihani,ditangisi oleh ibunya. Bahkan sesungguhnya ia tidak boleh mengucapkan istighfar. Ia hanya boleh beristighfar jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.
(disarikan dari buku karya Muhammad Muhyidin, 2007. “Menjadi Kaya bersama Dzikir: Memahami Pengaruh Kekuatan Spiritual terhadap Kekuatan Finansial & Sosial. Penerbit: Diva Press, Jogjakarta. h. 170-174. Dengan sedikit gubahan diksi oleh angah sanaci Maret 2011).
-diri ini salah dalam mempraktekkan istighfar
-diri ini salah dalam memahami hakikat istighfar
-diri ini belum bisa menggunakan kekuatan/energi istighfar untuk meraih kesuksesan & kekayaan.
Mari kita masuki dan selami dunia istighfar, sambil terus-menerus berharap semoga Allah swt memberi petunjuk-Nya kepada kita. Seberapa pun sering istighfar diucapkan, tapi kalau Cuma sampai ditenggorokan saja, maka tidak akan pernah mampu mencapai kesuksesan dan kekayaan material. Percayalah bahwa ucapan hanyalah sekedar simbol. Terkadang sebuah symbol bersifat tipuan. Apa yang diucapkan tidak selaras dengan apa yang ada di hati & pikiran. Bahkan, apa yang ada di pikiran kadang berbanding terbalik dengan apa yang ada di kedalaman hati.
Misalnya saya melakukan shalat dan sehabis shalat saya mengucapkan istighfar 3 kali atau 100 kali, tetapi ucapan saya itu tidak membungkus jiwa saya. Maka 100/1000 kali istighfar yang saya ucapkan tidak signifikan bagi kualitas kehidupan saya.
Jika demikian, energi & kekuatan istighfar tidak akan sesuai dengan kualitas hidup seseorang, apalagi jika istighfar itu wujud dari kelatahan semata. Mulut emang istighfar, tapi itu cuma omdo (omong doank).
Ada sebuah riwayat tentang istighfar yang kebenarannya tidak terbantahkan & bahkan bisa sangat mengejutkan & mencengangkan kita yang selama ini sering mengucapkan istighfar.
Dalam kitab Nahj al-Balaghah, diceritakan tentang seseorang yang mengucapkan lafadz “Astaghfirullah” (Saya memohon keampunan Allah).
Lalu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata:
“Ibumu boleh menangisimu; kamu sesungguhnya tidak tahu apa arti astaghfirullah. Astaghfirullah dimaksudkan bagi orang-orang yang berkedudukan tinggi. Kata itu berdiri di atas enam topangan. Yang pertama ialah bertaubat atas yang sudah-sudah; yang kedua, bertekad sungguh-sungguh untuk tidak kembali padanya (tidak lagi kembali berbuat maksiat); yang ketiga ialah memenuhi hak-hak manusia agar kamu menemui Allah swt dengan bersih tanpa ada sesuatu untuk dipertanggungjawabkan; yang keempat memenuhi setiap kewajiban yang kamu abaikan di masa lalu sehingga sekarang kamu boleh berlaku adil atasnya; uang kelima mengenai daging yang tumbuh sebagai hasil rejeki yang haram agar kamu dapat meleburkannya dengan kesedihan (karena bertaubat) sampai kulit menyentuh tulang, & tumbuh daging baru di antara (kulit & tulang itu; dan yang keenam ialah membuat tubuh merasakan keperihannya ketaatan sebagaimana dahulunya kamu membuat tubuhmu merasakan manisnya pelanggaran. Dalam keadaan demikian barulah kamu boleh mengatakan, “Astaghfirullah”.
Refleksi
Sungguh istighfar bukanlah ucapan yang boleh secara sembarangan diucapkan. Bukankah selama ini kita sering mengucapkannya secara sembarangan ? artinya, kita sering mengucapkan istighfar tanpa disertai dengan prasarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana apa yang diajarkan Ali ra. Dalam bahasa beliau, “Ibumu boleh menangisimu” artinya orang yang sembarangan mengucapkan istighfar adalah orang yang patut untuk disesali, untuk dikasihani,ditangisi oleh ibunya. Bahkan sesungguhnya ia tidak boleh mengucapkan istighfar. Ia hanya boleh beristighfar jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.
(disarikan dari buku karya Muhammad Muhyidin, 2007. “Menjadi Kaya bersama Dzikir: Memahami Pengaruh Kekuatan Spiritual terhadap Kekuatan Finansial & Sosial. Penerbit: Diva Press, Jogjakarta. h. 170-174. Dengan sedikit gubahan diksi oleh angah sanaci Maret 2011).
0 komentar:
Posting Komentar