Minggu, 29 April 2012

Membentuk Pribadi Muslim Sejati

PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai risalah penutup yang langgeng untuk seluruh manusia dengan beragam warna kulit dan jenis mereka serta di manapun dan kapan pun mereka berada. Dan Allah Swt telah memberikan Islam berbagai keistimewaan tersendiri yang menakjubkan, seperti ajarannya yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, sifat wasathiyyah yaitu tengah-tengah antara sifat ifrath (ghuluw/berlebihan) dan sifat tafrith (lalai dan meremehkan), serta senantiasa aktual dan sesuai untuk setiap waktu dan tempat. Maka dengan karunia Allah Swt, Islam menjadi petunjuk dan pembimbing bagi manusia, petunjuk menuju jalan kebahagiaan, kebaikan, kegembiraan dan kesenangan di dunia dan akhirat.
Dan sebagaimana telah dimaklumi bahwa ajaran-ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Islam mengatur hubungan antara pribadi manusia dengan Allah Swt Penciptanya, hubungan antara pribadi seseorang dengan yang lain dan hubungan antara pribadi seseorang dengan dirinya sendiri. Tiada satu pun sifat keutamaan dan akhlak mulia melainkan Islam menyeru kepadanya dan menganjurkan untuk berpegang dengannya. Sebaliknya tiada satu pun sifat kejelekan dan akhlak melainkan Islam peringatkan tentang bahayanya dan memerintahkan untuk menjauhinya. Sehingga kehidupan manusia bisa tertib dan teratur di bawah aturan Allah Swt yang kokoh, yang jika seseorang menjalankan ajaran-ajarannya ia akan sukses dan beruntung, sedangkan jika ia menjauhinya maka ia akan merugi. (http://pena-syahid.blogspot.com)
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT. (http://www.oasetarbiyah.com)
Dengan demikian sosok utama yang dapat dijadikan contoh sebagai rujukan dalam menyiapkan pribadi muslim sejati adalah Nabi Muhammad Saw. Karena sebagai uswah ummah, beliau memiliki kepribadian ideal bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Namun demikian, seiring dengan perubahan dan pergolakan jaman, untuk mengetahui karakteristik sosok muslim sejati seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw. secara jelas, saat ini sebagian umat Islam mengalami kesulitan. Di sana-sini banyak terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama, cendikiawan, dan pengkaji ilmu keislaman lainnya. Sehingga tidak jarang masyarakat mengalami kebingungan dalam menentukan kriteria mana yang benar.
Dengan ragam persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim sejati tersebut, banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim sejati yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim sejati.
Adapun judul yang difokuskan adalah Membentuk Pribadi Muslim Sejati: Telaah Sistem Pembinaan Kader Dakwah dan Dalil tentang Akhlaq Rasulullah Saw., sehingga sub topik yang akan disajikan adalah:
A. Memahami Karakteristik Utama dalam diri Pribadi Muslim
B. Sistem Pembentukan dan Pembinaan Pribadi Muslim
C. Pribadi Muslim Sejati Cerminan Akhlaq Mulia Rasulullah Saw.
Semoga dengan sajian makalah ini dapat menanbah khazanah ilmu keislaman penulis dan para pembaca. Khusunya wawasan disiplin ilmu Psikologi Islami yang sedang dipelajari. Dan para akhirnya mampu memotivasi seseorang untuk mengaplikasikan pengetahuan ini di ranah kehidupan.
Sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan di atas bahwa untuk memahami sosok pribadi muslim. Karakteristik utama yang ada di dalam diri seorang muslim harus diketahui. Menurut Cahyadi Takariawan (2005: 57), pembentukan kepribadian Islam (Syahshiyah Islamiyah) akan tampak pada sosok pribadi yang bersih aqidahnya, benar dalam ibadah, agung dalam akhlaq, kuat fisiknya, cerdas akalnya dan bermanfaat bagi umat. Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam” (QS. 6:162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. 68:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS 2:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir). (http://islamicspace.wordpress.com/2006/11/20/kepribadian-muslim/)
Setelah mengetahui dan memahami profil seorang muslim secara umum menurut Al Qur’an dan sunnah di atas, di utamakan pula suatu sistem pembentukan dan pembinaan yang berkesinambungan bagi umat Islam. Sehingga tujuan dari pembinaan tersebut dapat tercapai, yakni membentuk pribadi-pribadi muslim yang komitmen dan konsisten pada Islam.
B. Sistem Pembentukan dan Pembinaan ( Tarbiyah) Pribadi Muslim
Tarbiyah secara harfiah berarti pendidikan. Secara definisi, tarbiyah bisa disebut sebagai proses belajar untuk merubah perilaku seseorang ke arah yang lebih Islami (Satria Hadi Lubis, 2006:vi). Sedangkan dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang handal di segala bidang di masyarakat, Tarbiyah diartikan secara luas dan tidak semata dalam hal pendidikan, ranah dakwah juga menjadi hal terpenting dalam sistemnya. Dalam hal ini, Tarbiyah diartikan sebagai Tansyi`ah (pembentukan), Ri`ayah (pemeliharaan), Tanmiyah (pengembangan),dan Taujih (pengarahan). Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media yang ragam dan bermacam-macam, seperti halaqoh, mabit, tatsqif, ta`lim fil masajid, mukhoyyam, lailatul katibah dan lainnya harus memperhatikan empat hal diatas sebagai langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis yaitu terbentuknya pribadi muslim da`i atau muslim shalih mushlih.
1. Tansyi`ah (pembentukan)
Dalam proses tansyi`ah harus memperhatikan tiga sisi penting yaitu :
a. Pembentukan Ruhiyah Ma`nawiyah
Pembentukan ruhiyah ma`nawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah ritual seperti qiyamul lail, shaum sunnah, tilawah Qur`an, dzikir dll. Para Murobbi/da’i harus mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah semisal mabit(malam bina iman dan takwa), lailatul katibah, jalsah ruhiyah, dalam membentuk pribadi Mutarobbi/mad’u pada sisi ruhiyah ma`nawiyahnya dan dirasakan serta disadari oleh Mutarobbi/mad’u bahwa ia sedang menjalani proses pembentukan ma`nawiyah ruhiyah.
b. Pembentukan Fikriyah Tsaqofiyah.
Sarana dan media tarbiyah tsaqofiyah (wawasan keislaman) harus dijadikan sebagai sarana dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqofiyah (wawasan pemikiran), jangan sampai tatsqif untuk tatsqif dan ta`lim untuk ta`lim, tetapi harus jelas tujuannya bahwa tatsqif untuk pembentukan tsaqofah yang benar dan utuh, ta`lim untuk tafaqquh fiddien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u.
c. Amaliyah Harakiyah.
Proses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah juga bertujuan membentuk amaliah harakiyah yang harus dilakukan secara berbarengan dan berkeseimbangan seperti kewajiban rekruitmen dengan da`wah fardiyah (dakwah personal), da`wah `amah (dakwah di masyarakat) dan bentuk-bentuk nasyrud da`wah lainya. Serta pengelolaan halaqoh tarbawiyah yang baru sehingga sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah teraktualisasi dan terformulasi dalam bentuk amal nyata dan kegiatan ril serta dirasakan oleh lingkungan dan mayarakat luas.
2. Ar ri`ayah (pemeliharaan).
Kepribadian Islami yang sudah atau mulai terbentuk harus dijaga dan dipelihara ma`nawiyah, fikriyah dan amaliyahnya serta harus selalu dimutaba`ah (dikontrol) dan ditaqwim (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalam tilawah yaumiyah, qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbawiyah dan aktivitas da`wah serta pembinaan kader.
3. At Tanmiyah (pengembangan).
Dalam proses tarbiyah, Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u tidak boleh puas dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi mnganggap sudah sempurna. Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u yang baik adalah Murobbi/da’i dan Mutarabbi yang selalu memperbaiki kekurangan dan kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh kedepan, bahwa tarbiyah harus siap dan mampu menawarkan konsep perubahan dan dapat mengajukan solusi dari berbagai permasalahan ummat dan berani tampil memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri dan jamaah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.
4. At Taujih (pengarahan) dan At Tauzhif (Pemberdayaan).
Tarbiyah tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan diri dan kualitas diri untuk menjadi unsur perubah yang aktif dan produktif ( Al Muslim Ash Shalih Al Mushlih ). Murobbi/da’i dapat mengarahkan, memfungsikan dan memberdayakan Mutarobbi/mad’unya sesuai dengan bidang dan kapasitasnya.Mutarobbi/mad’u siap untuk diarahkan, ditugaskan, ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi ril untuk da`wah, jamaah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi tegaknya dienul Islam.
Diantara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka telah janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya. “ ( QS 33 : 23 )
Indikasi keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dan kontribusi kader dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi kemunkaran memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk kebathilan yang menghadang dan menghalangi lajunya da`wah Islam.
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu`min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga kepada mereka, mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur`an, dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain ) daripada Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar “ (QS 9 :111)
Semoga Allah selalu bersama kita dan kemenangan memihak kepada kita. Jika kamu membela (agama) Allah, pasti Allah memberikan kemenangan kepadamu dan mengokohkan kakimu diatas jalan yang haq.( http://www.oasetarbiyah.com)
C. Pribadi Muslim Sejati Cerminan Akhlaq Mulia Rasulullah Saw.
Akhlak mulia merupakan salah satu asas terpenting dalam ajaran Islam untuk membina pribadi dan memperbaiki masyarakat. Karena keselamatan masyarakat, kekuatan, kemuliaan, dan kewibawaan pribadi-pribadinya sangat tergantung kepada sejauh mana mereka berpegang dengan akhlak mulia tersebut. (http://pena-syahid.blogspot.com)
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu umat yang bisa bangkit dan tegak, maju dan cemerlang peradabannya, adalah karena pribadi-pribadi mereka memiliki jiwa yang kuat, tekad yang bulat, cita-cita yang luhur, akhlak yang terpuji, perjalanan hidup yang mulia, saling berhubungan dengan erat di antara mereka dan keluarga mereka. Mereka menjauhi hal-hal yang merusak, perbuatan-perbuatan hina dan buruk, tidak melampiaskan nafsu mereka dalam segala kelezatan dan syahwat, jauh dari kejahilan dan penyimpangan.
Ajaran akhlak yang mulia ini telah diperlihatkan oleh suri teladan umat ini yaitu Rasulullah Saw yang telah disifati oleh Allah Swt dengan firman-Nya,
خلق لعلى عظيم وإنك
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. Al Qalam: 4)
Sa’ad bin Hisyam pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhi Allahu ‘anha tentang akhlak Rasulullah Saw, maka ‘Aisyah radhiAllah‘anha menjawab,كان خلقه القرآن“Akhlak beliau adalah Al Quran.”Lalu Sa’ad berkata, “Sungguh saya ingin berdiri dan tidak lagi menanyakan sesuatu yang lain.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, Rasulullah Saw merupakan sosok pribadi muslim yang paling bagus akhlaknya seperti yang disaksikan oleh Anas bin Malik (pembantu Rasulullah Saw) selama sepuluh tahun- ketika beliau berkata,كان رسول الله أحسن الناس خلقا“Rasulullah Saw adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Muslim)
Maka pantaslah Rasulullah Saw menjadi suri teladan bagi kita dalam segala aspek kehidupan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang telah diberitakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pertemuan dengan) Allah Swt dan (keselamatan di) hari akhir dan dia banyak menyebut Allah Swt.” (QS. Al Ahzab: 21)
Dan Rasulullah Saw sendiri telah memotivasi umatnya yang beriman untuk berpegang teguh dengan akhlak yang bagus dan menjauhi akhlak yang buruk, seperti dalam sabda-sabda beliau berikut ini:
§ Dari Abu Darda’ bahwa Nabi bersabda,ما من شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من حسن الخلق، وإن الله تعالى ليبغض الفاحش البذيء“Tiada suatu perkara yang paling memberatkan timbangan (kebaikan) seorang mukmin pada hari kiamat selain daripada akhlak mulia, dan sesungguhnya Allah Swt amat benci kepada seorang yang buruk perbuatan dan ucapannya.” (HR. At Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
§ Dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau menjawab,تقوى الله وحسن الخلق“Bertakwa kepada Allah Swt dan berakhlak mulia.” Sementara ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab,الفم والفرج“Mulut dan kemaluan” (HR. Tirmidzi dan dihasankan sanadnya oleh Syaikh Albani)
§ Dan Rasulullah Saw menjelaskan bahwa mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling sempurna akhlaknya, seperti yang beliau sabdakan,إن أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا، وخياركم خياركم لنسائهم“Sesungguhnya mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
Bahkan Rasulullah Saw telah menjadikan orang-orang yang berakhlak mulia sebagai orang-orang yang paling dekat duduknya dengan Rasulullah Saw sebagaimana dalam sabdanya,
إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا، وإن أبغضكم إلي وأبعدكم مني مجلسا يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون، قالوا: يا رسول الله، قد علمنا الثرثارون والمتشدقون فما المتفيهقون؟ قال: المتكبرون “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat adalah tsartsarun (yang banyak bicara), mutasyaddiqun (yang bicara sembarangan lagi mencela manusia) dan mutafaihiqun. Para sahabat berkata, “Wahai Rosulullah, kami telah mengetahui tsartsarun dan mutasyaddiqun, tapi siapakah mutafaihiqun itu?” Rosulullah menjawab, “Mutakabbirun (orang-orang yang sombong).” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
Umat Islam sepertinya tidak lagi memiliki ‘izzah (kemuliaan dan kewibawaan) yang dapat membuat umat-umat lain segan kepada mereka. Itu semua karena umat Islam tidak berpegang teguh dengan nilai-nilai ajaran agama mereka. Benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khaththab,إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العز بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله “Kita dahulu adalah kaum yang terhina lalu Allah Swt memuliakan kita dengan Islam, maka jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya niscaya Allah Swt akan meghinakan kita.” (HR. Hakim dan ia berkata, “Shahih sesuai syarat/standar Bukhari dan Muslim, dan disahihkan oleh Syaikh AlbaniShahih at Targhib wa at Tarhib’)
Maka sudah saatnya bagi kaum muslimin untuk bangkit dengan kembali kepada ajaran-ajaran agama mereka yaitu Islam yang lurus, agar mereka dapat kembali memperoleh ‘izzah (kemuliaan dan kewibawaan) seperti yang telah diraih oleh pendahulu mereka Salafus Shalih sehingga mereka akan menjadi umat yang kuat dan kokoh yang disegani oleh umat-umat lainnya. Tentunya yang paling penting adalah menggali kembali nilai-nilai mulia Islam tersebut dengan mempelajari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw serta sirah kehidupan as Salaf ash Shalih yang telah mewariskan jejak-jejak mulia yang harus kita telusuri dan ikuti, di antaranya adalah warisan akhlak yang baik dan mulia. (Dari Tauthi’ah pentahqiq kitab Makarimul Akhlak karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –dengan perubahan-)
Jadi, akhlak itu ada yang berupa tabiat dan perangai yang telah ditanamkan oleh Allah Swt pada setiap jiwa manusia dan bersifat umum, meliputi perangai yang terpuji dan tercela. Dan ada pula yang berupa sifat yang diusahakan dengan mempelajari dan berpegang teguh kepada hukum-hukum dan adab-adab syariat dan ini lebih khusus dari yang pertama.
Contoh jenis pertama adalah seperti apa yang dikatakan Nabi kepada Asyaj Abdul Qais ,إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم والأناة، فقال: أخلقين تخلقت بهما ؟ أم خلقين جبلت عليهما ؟ فقال: بل خلقان جبلت عليهم، فقال: الحمد لله الذي جبلني على خلقين يحبهما الله تعالى.“Sesungguhnya ada pada dirimu dua perangai yang disukai oleh Allah Swt yaitu santun dan hati-hati (tidak tergesa-gesa).” Aisyah berkata, “Apakah dua perangai tersebut adalah yang kuupayakan atau yang ditabiatkan kepadaku?” Nabi menjawab, “Dua perangai yang telah ditabiatkan kepadamu.” Maka Asyaj pun berkata, “Segala puji bagi Allah Swt yang telah mentabiatkan dua perangai yang Allah Swt sukai.” (HR. Abu Daud –dengan lafaz yang mendekati- dan lafaz ini dinukil dari Syarah al Aqidah ath Thahawiyah serta disahihkan oleh Syaikh Albani. Dan bagian pertama asalnya ada dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan selainnya). (Min Akhlak ar Rosul al Karim hal. 256)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang menunjukkan adanya akhlak terpuji yang berupa tabiat asal yang diberikan oleh Allah Swt kepada diri seseorang dan ada yang diupayakan. Dan bahwa yang merupakan tabiat itu lebih utama daripada yang diupayakan. (Kitab al Ilmi: 256)
Adapun contoh jenis kedua adalah apa yang terisyaratkan dalam sabda beliau,البر حسن الخلق“Kebaikan itu (terletak pada) akhlak yang bagus/mulia.” (HR. Muslim)
Dan seperti dalam jawaban ‘Aisyah ra. ketika menafsirkan firman Allah Swt ,وإنك لعلى خلق عظيم Ia menjawab,كان خلقه القرآن“Akhlaknya (Rasulullah Saw) adalah Al Quran.” (HR. Muslim) (Min Akhlak ar Rosul al Karim hal. 21). Dan tentunya yang kita bahas adalah akhlak yang terpuji.
Adapun akhlak yang menyangkut hubungan dengan Allah Swt, maka terangkum dalam tiga hal pokok yaitu:1. Membenarkan segala kabar berita dari Allah Swt.2. Melaksanakan dan merealisasikan hukum-hukumNya.3. Bersabar dan ridho terhadap takdir Allah Swt.
Inilah tiga perkara pokok yang bermuara kepadanya berbagai macam akhlak mulia terhadap Allah Swt. Berikut ini sedikit penjelasan tentang tiga hal tersebut.
I. Membenarkan segala berita dari Allah Swt.Artinya bahwa seseorang tidak boleh ragu dan bimbang terhadap kebenaran berita dari Allah Swt, karena Dia adalah Yang paling benar perkataannya sebagaimana firman-Nya,
ومن أصدق من الله حديثا“
Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah Swt.” (QS. An Nisaa: 87)
Dengan akhlak ini seseorang bisa membela segala berita yang bersumber dari Allah Swt dan menjawab semua syubhat, baik dari kalangan kaum muslimin yang mengadakan bid’ah dalam agama maupun dari luar kaum muslimin.
II. Melaksanakan dan Merealisasikan Hukum-hukum Allah Swt Akhlak seseorang terhadap hukum-hukum Allah Swt adalah dia harus menerimanya lalu melaksanakan dan merealisasikannya.
III. Bersabar dan Ridho terhadap Takdir Allah SwtKita semua mengetahui bahwa takdir Allah Swt yang berlaku pada setiap hamba itu ada yang menyenangkan hamba dan ada yang tidak.
Di antara bentuk-bentuk akhlak mulia terhadap Allah Swt juga adalah sebagai berikut:
a. IkhlasYaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah Swt seperti yang Allah Swt firmankan,وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah Swt dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al Bayyinah: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّين َ، أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ“
Maka sembahlah Allah Swt dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah Swt-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az Zumar: 2-3)
Di antara ciri ikhlas adalah seseorang mengerjakan ibadah dengan kontinu dan tetap istiqomah dalam ibadahnya tersebut. Seperti diisyaratkan dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
استقيموا و لن تحصوا و اعلموا أن خير أعمالكم الصلاة و لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن
“Istiqamahlah sampai tak terhingga, dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amalan kalian adalah sholat, dan tidak ada yang memelihara wudhu kecuali mukmin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Albani).
b. Takwa sesuai perintah Allah Swt,( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً )“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah Swt dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al Ahzab: 70). (Makarimul Akhlak hal. 35-36)
c. Rasa malu sifat malu yang dimaksud adalah yang bisa mencegah seseorang dari berlaku buruk dan maksiat kepada Allah Swt. Oleh karena itu Nabi menggolongkan sifat malu seperti ini sebagai bagian dari keimanan dalam sabdanya,((الحياء من الإيمان))“Malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim) (Makarimul Akhlak hal. 73)
d. Taubat adalah di antara bentuk ibadah yang agung, yang maknanya adalah seseorang kembali kepada Allah Swt dan memohon ampunan-Nya setelah berbuat salah dan dosa. Sebesar apapun dosa dan kesalahan hamba, bila dia bertaubat kepada Allah Swt niscaya Allah Swt akan mengampuninya dan menghapus dosanya tersebut. Allah Swt berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya…” (QS. Az Zumar: 53-54)
Dan Nabi pernah berkata kepada ‘Amr bin al ‘Ash yang dahulunya termasuk pembesar orang-orang kafir,يا عمرو: أما علمت أن الإسلام تجب ما كان قبله“Wahai ‘Amr, tidakkah kau tahu bahwa Islam akan menutupi (dosa-dosa) yang terdahulu.” (HR Muslim) (Makarimul Akhlak hal. 103-105) Dan lain sebagainya.
Adapun akhlak mulia terhadap sesama makhluk khususnya terhadap sesama Muslim, maka telah didefinisikan oleh al Hasan al Bashri rah. yang menyatakan bahwa akhlak mulia itu adalah tidak menyakiti, ringan tangan (suka menolong) dan bermuka manis terhadap yang lain.
Al Hasan al Bashri rah. juga mengatakan bahwa terdapat tiga hal pokok yang merupakan akhlak mulia terhadap sesama makhluk, yaitu:
1. Tidak menyakiti orang lain. Baik terkait dengan harta, jiwa maupun harga dirinya. Bagi mereka yang tidak bisa menahan diri dari menyakiti orang lain maka berarti dirinya berakhlak buruk. Padahal Rasulullah Saw telah menyiarkan hal ini di hadapan kumpulan yang terbesar dari umatnya yaitu ketiak haji wada’ dengan sabdanya,
إن دماءكم، وأموالكم، وأعراضكم، عليكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا
“Sesungguhnya darah, harta dan harga diri kalin itu haram (terhormat), seperti terhormatnya hari, bulan dan negeri kalian ini.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Maka jika seseorang berkhianat dalam harta orang lain, memukul dan berbuat jahat terhadap orang lain atau mencela harga diri dan menggunjing orang lain, berarti dia bukan seorang yang berakhlak mulia terhadap sesama.
Dan seorang muslim yang dapat menahan diri dari menyakiti orang lain dengan lidah maupun anggota badannya, maka ia adalah muslim sejati, sebagaimana sabda Nabi ,المسلم من سلم الناس من يده ولسانه…“Muslim (sejati) adalah yang orang lain selamat dari (gangguan) tangan dan lidahnya…” (Muttafaqun ‘alaihi) (Ushul al Manhaj al Islami hal. 541)
2. Ringan tangan (suka menolong/dermawan). Sifat menolong dan dermawan bukan hanya dengan harta, tetapi meliputi pengorbanan jiwa, kedudukan dan harta. Jika seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu dalam mengarahkan urusan mereka, menebarkan ilmu dan membagi-bagikan hartanya kepada manusia, maka kita menyifati dirinya sebagai orang yang berakhlak mulia karena dia telah berkorban dalam hal-hal tersebut. Nabi bersabda,
اتق الله حيثما كنت، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
“Bertakwalah kepada Allah Swt di manapun kau berada, dan susullah keburukan itu dengan kebaikan, serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ad Darimi dan dihasankan derajatnya oleh Syaikh Albani).
Maka jika seseorang dizalimi atau diperlakukan buruk oleh orang lain maka lebih baik memaafkannya. Allah Swt juga berfirman,(وأن تعفوا أقرب للتقوى) “dan kamu memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al Baqarah: 134)
3. Bermuka manis Artinya seseorang menampakkan wajah yang ceria dan berseri di hadapan orang lain. Nabi pernah bersabda,لا تحقرن من المعروف شيئا، ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق“Janganlah kamu meremehkan sedikit pun perkara makruf/kebaikan, walaupun sekedar bertemu saudaramu dengan wajah berseri.” (HR. Muslim). Karena wajah ceria dan berseri membuat orang yang ditemui merasa senang, dan dapat mendatangkan kecintaan dan membuat hati lega, baik hatinya maupun hati orang lain. Dan di antara yang paling berhak mendapatkan pergaulan yang baik dari seseorang adalah orang tuanya, terutama ibunya. Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu bertanya,
يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أبوك. رواه البخاري ومسلم
“Siapakah orang yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Maka Nabi menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). (Kitabul Ilmi: 263-268)
Dan sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa akhlak mulia itu ada yang berupa tabiat asal yang diberi oleh Allah Swt dan ada yang dihasilkan melalui jalur usaha dan upaya. Dan bahwa yang berupa tabiat lebih sempurna daripada yang diupayakan. Sedangkan yang diperoleh dari jalur usaha bisa jadi seseorang terluput dalam banyak hal, karena ia perlu melatihnya dan bekerja keras serta perlu senantiasa ada pengingat di saat ada hal yang membuat seseorang goyah atau bergejolak dalam dirinya. Seperti ketika seseorang datang kepada Nabi dan meminta wasiat kepada beliau, maka Nabi mengatakan kepadanya, “Janganlah kamu marah.” Orang tersebut mengulang-ulang permintaan wasiatnya, dan Nabi tetap menjawab demikian. (HR. Bukhari).
Nabi juga pernah bersabda,
ليس الشديد بالصرعة، وإنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب“
Orang yang kuat bukanlah yang bisa mengalahkan (lawannya), tetapi orang yang bisa menguasai dirinya di saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka menahan amarah dan menguasai diri di saat marah termasuk akhlak yang mulia. Dan Nabi telah memberikan penawar marah, yaitu jangan melampiaskan marah tersebut, lalu berlindung kepada Allah Swt dari syaitan yang terkutuk (HR. Tirmidzi).
Dan untuk memperoleh akhlak mulia maka seseorang harus mencerminkan sikap dan prilaku seperti berikut:
1. Menelaah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw, yang banyak memuat tentang pujian terhadap akhlak mulia, dengan demikian diharapkan seseorang terdorong untuk mengerjakannya.
2. Memilih teman-teman yang baik, shalih dan bisa dipercaya perbuatan dan amanah mereka. Karena Nabi pernah bersabda,
إنما مثل الجليس الصالح والجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه وإما أن تجد منه ريحا طيبة ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك وإما أن تجد ريحا خبيثة
“Sesungguhnya perumpamaan teman baik dan teman buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Maka penjual minyak wangi bisa jadi memberimu, atau kamu membeli darinya atau (paling tidak) kamu mendapatkan bau wanginya. Sedangkan pandai besi bisa jadi akan membakar bajumu atau (paling tidak) kamu mendapatkan bau tak sedapnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
3. Memperhatikan akibat buruk dari akhlak tercela. Orang yang berakhlak buruk dibenci, dijauhi serta dicela. Maka jika seseorang mengetahui akibat buruk dari akhlak yang tercela maka ia akan menjauhinya. (Kitabul Ilmi hal. 269-271) (http://pena-syahid.blogspot.com)


REFERENSI
Cahyadi Takariawan, Prinsip-Prinsip Dakwah : Yang Tegar di Jalan Allah, Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2005
Satria Hadi Lubis, Buku Pintar Mengelola Halaqah: Solusi Praktis Mengelola Pengajian Kelompok, ta’lim, Usrah, dan Mentoring, Fatahillah Bina AlFikri Press, Tangerang, 2006

0 komentar:

Posting Komentar

NASYID & RELIGI ISLAMI


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design