PENDAHULUAN
Sesungguhnya
Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai risalah penutup yang langgeng
untuk seluruh manusia dengan beragam warna kulit dan jenis mereka serta
di manapun dan kapan pun mereka berada. Dan Allah Swt telah memberikan
Islam berbagai keistimewaan tersendiri yang menakjubkan, seperti
ajarannya yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, sifat
wasathiyyah yaitu tengah-tengah antara sifat ifrath (ghuluw/berlebihan) dan sifat tafrith
(lalai dan meremehkan), serta senantiasa aktual dan sesuai untuk setiap
waktu dan tempat. Maka dengan karunia Allah Swt, Islam menjadi petunjuk
dan pembimbing bagi manusia, petunjuk menuju jalan kebahagiaan,
kebaikan, kegembiraan dan kesenangan di dunia dan akhirat.
Dan
sebagaimana telah dimaklumi bahwa ajaran-ajaran Islam meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Islam mengatur hubungan antara pribadi manusia
dengan Allah Swt Penciptanya, hubungan antara pribadi seseorang dengan
yang lain dan hubungan antara pribadi seseorang dengan dirinya sendiri.
Tiada satu pun sifat keutamaan dan akhlak mulia melainkan Islam menyeru
kepadanya dan menganjurkan untuk berpegang dengannya. Sebaliknya tiada
satu pun sifat kejelekan dan akhlak melainkan Islam peringatkan tentang
bahayanya dan memerintahkan untuk menjauhinya. Sehingga kehidupan
manusia bisa tertib dan teratur di bawah aturan Allah Swt yang kokoh,
yang jika seseorang menjalankan ajaran-ajarannya ia akan sukses dan
beruntung, sedangkan jika ia menjauhinya maka ia akan merugi. (http://pena-syahid.blogspot.com)
Al-Qur’an
dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu
dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu
dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan
pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an
dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan
tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT. (http://www.oasetarbiyah.com)
Dengan
demikian sosok utama yang dapat dijadikan contoh sebagai rujukan dalam
menyiapkan pribadi muslim sejati adalah Nabi Muhammad Saw. Karena
sebagai uswah ummah, beliau memiliki kepribadian ideal bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Namun
demikian, seiring dengan perubahan dan pergolakan jaman, untuk
mengetahui karakteristik sosok muslim sejati seperti yang dicontohkan
Rasulullah Saw. secara jelas, saat ini sebagian umat Islam mengalami kesulitan. Di sana-sini banyak terdapat ikhtilaf
(perbedaan pendapat) ulama, cendikiawan, dan pengkaji ilmu keislaman
lainnya. Sehingga tidak jarang masyarakat mengalami kebingungan dalam
menentukan kriteria mana yang benar.
Dengan
ragam persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim sejati
tersebut, banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi
muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari
aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak
aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena
itu standar pribadi muslim sejati yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah
merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan
bagi pembentukan pribadi muslim sejati.
Adapun judul yang difokuskan adalah Membentuk Pribadi Muslim Sejati: Telaah Sistem Pembinaan Kader Dakwah dan Dalil tentang Akhlaq Rasulullah Saw., sehingga sub topik yang akan disajikan adalah:
A. Memahami Karakteristik Utama dalam diri Pribadi Muslim
B. Sistem Pembentukan dan Pembinaan Pribadi Muslim
C. Pribadi Muslim Sejati Cerminan Akhlaq Mulia Rasulullah Saw.
Semoga dengan sajian makalah ini dapat menanbah khazanah
ilmu keislaman penulis dan para pembaca. Khusunya wawasan disiplin ilmu
Psikologi Islami yang sedang dipelajari. Dan para akhirnya mampu
memotivasi seseorang untuk mengaplikasikan pengetahuan ini di ranah kehidupan.
Sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan di atas bahwa untuk memahami sosok pribadi muslim. Karakteristik utama yang ada di dalam diri seorang muslim harus diketahui. Menurut Cahyadi Takariawan (2005: 57), pembentukan kepribadian Islam (Syahshiyah Islamiyah)
akan tampak pada sosok pribadi yang bersih aqidahnya, benar dalam
ibadah, agung dalam akhlaq, kuat fisiknya, cerdas akalnya dan bermanfaat
bagi umat. Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau
ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah
merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang
bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT.
Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan
ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah,
seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah
sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”
(QS. 6:162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat
penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah,
Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”.
Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan
setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti
tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq
merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim,
baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya.
Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di
dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang
mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki
akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang
agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah
berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. 68:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi
merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan
jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat
melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat.
Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus
dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di
jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh
karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim
dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan.
Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar
bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim
sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting,
maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri
merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu
salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak
mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya
firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS 2:219)
Di
dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan,
kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang
muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa
dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan
pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu
Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas
seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah:
“samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘,
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi
merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang
muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan
yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari
yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada
manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang
ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi
merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat
perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak
bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal
fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah
SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24
jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang
beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah
semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan
waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan
pernah kembali lagi.
Oleh
karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya
dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak
ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah
memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni
waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua,
senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi
termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an
maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait
dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan
dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara
bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah
menjadi cinta kepadanya.
Dengan
kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun
yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan.
Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis
ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius
dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi
merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini
merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan
berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang
memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang
mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki
kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti
miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia
bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan
mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari
nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki
keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam
kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut
memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab
baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan
harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi
merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud
tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang
disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang
muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini
berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya
dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang
baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir). (http://islamicspace.wordpress.com/2006/11/20/kepribadian-muslim/)
Setelah mengetahui dan memahami profil seorang muslim secara umum menurut Al Qur’an dan sunnah di
atas, di utamakan pula suatu sistem pembentukan dan pembinaan yang
berkesinambungan bagi umat Islam. Sehingga tujuan dari pembinaan
tersebut dapat tercapai, yakni membentuk pribadi-pribadi muslim yang
komitmen dan konsisten pada Islam.
B. Sistem Pembentukan dan Pembinaan ( Tarbiyah) Pribadi Muslim
Tarbiyah
secara harfiah berarti pendidikan. Secara definisi, tarbiyah bisa
disebut sebagai proses belajar untuk merubah perilaku seseorang ke arah
yang lebih Islami (Satria Hadi Lubis, 2006:vi). Sedangkan dalam
menyiapkan kader-kader dakwah yang handal di segala bidang di
masyarakat, Tarbiyah diartikan secara luas dan tidak semata dalam hal
pendidikan, ranah dakwah juga menjadi hal terpenting dalam sistemnya.
Dalam hal ini, Tarbiyah diartikan sebagai Tansyi`ah (pembentukan), Ri`ayah (pemeliharaan), Tanmiyah (pengembangan),dan Taujih (pengarahan). Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media yang ragam dan bermacam-macam, seperti halaqoh, mabit, tatsqif, ta`lim fil masajid, mukhoyyam, lailatul katibah
dan lainnya harus memperhatikan empat hal diatas sebagai
langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis yaitu
terbentuknya pribadi muslim da`i atau muslim shalih mushlih.
1. Tansyi`ah (pembentukan)
Dalam proses tansyi`ah harus memperhatikan tiga sisi penting yaitu :
a. Pembentukan Ruhiyah Ma`nawiyah
a. Pembentukan Ruhiyah Ma`nawiyah
Pembentukan ruhiyah ma`nawiyah
dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah ritual seperti qiyamul
lail, shaum sunnah, tilawah Qur`an, dzikir dll. Para Murobbi/da’i harus
mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah semisal mabit(malam bina iman
dan takwa), lailatul katibah, jalsah ruhiyah, dalam membentuk pribadi
Mutarobbi/mad’u pada sisi ruhiyah ma`nawiyahnya dan dirasakan serta
disadari oleh Mutarobbi/mad’u bahwa ia sedang menjalani proses
pembentukan ma`nawiyah ruhiyah.
b. Pembentukan Fikriyah Tsaqofiyah.
Sarana dan media tarbiyah tsaqofiyah (wawasan keislaman) harus dijadikan sebagai sarana dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqofiyah (wawasan pemikiran), jangan sampai tatsqif untuk tatsqif
dan ta`lim untuk ta`lim, tetapi harus jelas tujuannya bahwa tatsqif
untuk pembentukan tsaqofah yang benar dan utuh, ta`lim untuk tafaqquh fiddien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u.
c. Amaliyah Harakiyah.
Proses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah juga bertujuan membentuk amaliah harakiyah yang harus dilakukan secara berbarengan dan berkeseimbangan seperti kewajiban rekruitmen dengan da`wah fardiyah (dakwah personal), da`wah `amah (dakwah di masyarakat) dan bentuk-bentuk nasyrud da`wah lainya. Serta pengelolaan halaqoh tarbawiyah
yang baru sehingga sisi ruhiyah ma`nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah
teraktualisasi dan terformulasi dalam bentuk amal nyata dan kegiatan ril
serta dirasakan oleh lingkungan dan mayarakat luas.
2. Ar ri`ayah (pemeliharaan).
Kepribadian
Islami yang sudah atau mulai terbentuk harus dijaga dan dipelihara
ma`nawiyah, fikriyah dan amaliyahnya serta harus selalu dimutaba`ah
(dikontrol) dan ditaqwim (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang
berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas
ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan
terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalam tilawah yaumiyah,
qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbawiyah dan
aktivitas da`wah serta pembinaan kader.
3. At Tanmiyah (pengembangan).
Dalam
proses tarbiyah, Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u tidak boleh puas
dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi
mnganggap sudah sempurna. Murobbi/da’i dan Mutarobbi/mad’u yang baik
adalah Murobbi/da’i dan Mutarabbi yang selalu memperbaiki kekurangan dan
kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh kedepan, bahwa
tarbiyah harus siap dan mampu menawarkan konsep perubahan dan dapat
mengajukan solusi dari berbagai permasalahan ummat dan berani tampil
memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri dan jamaah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.
4. At Taujih (pengarahan) dan At Tauzhif (Pemberdayaan).
Tarbiyah
tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan
berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan diri dan
kualitas diri untuk menjadi unsur perubah yang aktif dan produktif ( Al
Muslim Ash Shalih Al Mushlih ). Murobbi/da’i dapat mengarahkan,
memfungsikan dan memberdayakan Mutarobbi/mad’unya sesuai dengan bidang
dan kapasitasnya.Mutarobbi/mad’u siap untuk diarahkan, ditugaskan,
ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi ril
untuk da`wah, jamaah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi
tegaknya dienul Islam.
Diantara
orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang
mereka telah janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur,
dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun
tidak merubah janjinya. “ ( QS 33 : 23 )
Indikasi
keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dan kontribusi kader
dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi
kemunkaran memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing
umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk
kebathilan yang menghadang dan menghalangi lajunya da`wah Islam.
Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mu`min diri dan harta mereka
dengan memberikan syurga kepada mereka, mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur`an, dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain ) daripada Allah, maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang
besar “ (QS 9 :111)
Semoga
Allah selalu bersama kita dan kemenangan memihak kepada kita. Jika kamu
membela (agama) Allah, pasti Allah memberikan kemenangan kepadamu dan
mengokohkan kakimu diatas jalan yang haq.( http://www.oasetarbiyah.com)
C. Pribadi Muslim Sejati Cerminan Akhlaq Mulia Rasulullah Saw.
Akhlak mulia merupakan salah satu asas terpenting dalam ajaran Islam untuk membina pribadi
dan memperbaiki masyarakat. Karena keselamatan masyarakat, kekuatan,
kemuliaan, dan kewibawaan pribadi-pribadinya sangat tergantung kepada
sejauh mana mereka berpegang dengan akhlak mulia tersebut. (http://pena-syahid.blogspot.com)
Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu umat yang bisa bangkit dan
tegak, maju dan cemerlang peradabannya, adalah karena pribadi-pribadi
mereka memiliki jiwa yang kuat, tekad yang bulat, cita-cita yang luhur,
akhlak yang terpuji, perjalanan hidup yang mulia, saling berhubungan
dengan erat di antara mereka dan keluarga mereka. Mereka menjauhi
hal-hal yang merusak, perbuatan-perbuatan hina dan buruk, tidak
melampiaskan nafsu mereka dalam segala kelezatan dan syahwat, jauh dari
kejahilan dan penyimpangan.
Ajaran
akhlak yang mulia ini telah diperlihatkan oleh suri teladan umat ini
yaitu Rasulullah Saw yang telah disifati oleh Allah Swt dengan
firman-Nya,
خلق لعلى عظيم وإنك
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. Al Qalam: 4)
Sa’ad
bin Hisyam pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhi Allahu ‘anha tentang
akhlak Rasulullah Saw, maka ‘Aisyah radhiAllah‘anha menjawab,كان خلقه
القرآن“Akhlak beliau adalah Al Quran.”Lalu Sa’ad berkata, “Sungguh saya
ingin berdiri dan tidak lagi menanyakan sesuatu yang lain.” (HR. Muslim)
Oleh
karena itu, Rasulullah Saw merupakan sosok pribadi muslim yang paling
bagus akhlaknya seperti yang disaksikan oleh Anas bin Malik (pembantu
Rasulullah Saw) selama sepuluh tahun- ketika beliau berkata,كان رسول
الله أحسن الناس خلقا“Rasulullah Saw adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Muslim)
Maka pantaslah Rasulullah Saw menjadi suri teladan bagi kita dalam segala aspek kehidupan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang telah diberitakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (pertemuan dengan) Allah Swt dan
(keselamatan di) hari akhir dan dia banyak menyebut Allah Swt.” (QS. Al
Ahzab: 21)
Dan
Rasulullah Saw sendiri telah memotivasi umatnya yang beriman untuk
berpegang teguh dengan akhlak yang bagus dan menjauhi akhlak yang buruk,
seperti dalam sabda-sabda beliau berikut ini:
§ Dari
Abu Darda’ bahwa Nabi bersabda,ما من شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم
القيامة من حسن الخلق، وإن الله تعالى ليبغض الفاحش البذيء“Tiada suatu
perkara yang paling memberatkan timbangan (kebaikan) seorang mukmin pada
hari kiamat selain daripada akhlak mulia, dan sesungguhnya Allah Swt
amat benci kepada seorang yang buruk perbuatan dan ucapannya.” (HR. At
Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
§ Dari
Abu Hurairoh bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang perkara yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau
menjawab,تقوى الله وحسن الخلق“Bertakwa kepada Allah Swt dan berakhlak
mulia.” Sementara ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab,الفم والفرج“Mulut
dan kemaluan” (HR. Tirmidzi dan dihasankan sanadnya oleh Syaikh Albani)
§ Dan
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa mukmin yang paling sempurna
keimanannya adalah yang paling sempurna akhlaknya, seperti yang beliau
sabdakan,إن أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا، وخياركم خياركم
لنسائهم“Sesungguhnya mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang
paling bagus akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh
Albani)
Bahkan Rasulullah Saw telah menjadikan orang-orang yang berakhlak mulia sebagai orang-orang yang paling dekat duduknya dengan Rasulullah Saw sebagaimana dalam sabdanya,
Bahkan Rasulullah Saw telah menjadikan orang-orang yang berakhlak mulia sebagai orang-orang yang paling dekat duduknya dengan Rasulullah Saw sebagaimana dalam sabdanya,
إن
من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا، وإن أبغضكم
إلي وأبعدكم مني مجلسا يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون،
قالوا: يا رسول الله، قد علمنا الثرثارون والمتشدقون فما المتفيهقون؟ قال:
المتكبرون “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian
dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah yang
paling bagus akhlaknya, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan
paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat adalah tsartsarun (yang banyak bicara), mutasyaddiqun (yang bicara sembarangan lagi mencela manusia) dan mutafaihiqun. Para sahabat berkata, “Wahai Rosulullah, kami telah mengetahui tsartsarun dan mutasyaddiqun, tapi siapakah mutafaihiqun itu?” Rosulullah menjawab, “Mutakabbirun (orang-orang yang sombong).” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
Umat Islam sepertinya tidak lagi memiliki ‘izzah
(kemuliaan dan kewibawaan) yang dapat membuat umat-umat lain segan
kepada mereka. Itu semua karena umat Islam tidak berpegang teguh dengan
nilai-nilai ajaran agama mereka. Benarlah apa yang dikatakan oleh Umar
bin Khaththab,إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العز بغير
ما أعزنا الله به أذلنا الله “Kita dahulu adalah kaum yang terhina lalu
Allah Swt memuliakan kita dengan Islam, maka jika kita mencari kemuliaan
dengan selainnya niscaya Allah Swt akan meghinakan kita.” (HR. Hakim dan ia berkata, “Shahih sesuai syarat/standar Bukhari dan Muslim, dan disahihkan oleh Syaikh AlbaniShahih at Targhib wa at Tarhib’)
Maka
sudah saatnya bagi kaum muslimin untuk bangkit dengan kembali kepada
ajaran-ajaran agama mereka yaitu Islam yang lurus, agar mereka dapat
kembali memperoleh ‘izzah (kemuliaan dan kewibawaan) seperti yang telah diraih oleh pendahulu mereka Salafus Shalih
sehingga mereka akan menjadi umat yang kuat dan kokoh yang disegani
oleh umat-umat lainnya. Tentunya yang paling penting adalah menggali
kembali nilai-nilai mulia Islam tersebut dengan mempelajari Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Saw serta sirah kehidupan as Salaf ash Shalih
yang telah mewariskan jejak-jejak mulia yang harus kita telusuri dan
ikuti, di antaranya adalah warisan akhlak yang baik dan mulia. (Dari Tauthi’ah pentahqiq kitab Makarimul Akhlak karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –dengan perubahan-)
Jadi,
akhlak itu ada yang berupa tabiat dan perangai yang telah ditanamkan
oleh Allah Swt pada setiap jiwa manusia dan bersifat umum, meliputi
perangai yang terpuji dan tercela. Dan ada pula yang berupa sifat yang
diusahakan dengan mempelajari dan berpegang teguh kepada hukum-hukum dan
adab-adab syariat dan ini lebih khusus dari yang pertama.
Contoh
jenis pertama adalah seperti apa yang dikatakan Nabi kepada Asyaj Abdul
Qais ,إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم والأناة، فقال: أخلقين تخلقت بهما
؟ أم خلقين جبلت عليهما ؟ فقال: بل خلقان جبلت عليهم، فقال: الحمد لله
الذي جبلني على خلقين يحبهما الله تعالى.“Sesungguhnya ada pada dirimu dua
perangai yang disukai oleh Allah Swt yaitu santun dan hati-hati (tidak
tergesa-gesa).” Aisyah berkata, “Apakah dua perangai tersebut adalah
yang kuupayakan atau yang ditabiatkan kepadaku?” Nabi menjawab, “Dua
perangai yang telah ditabiatkan kepadamu.” Maka Asyaj pun berkata,
“Segala puji bagi Allah Swt yang telah mentabiatkan dua perangai yang
Allah Swt sukai.” (HR. Abu Daud –dengan lafaz yang mendekati- dan lafaz
ini dinukil dari Syarah al Aqidah ath Thahawiyah serta disahihkan oleh
Syaikh Albani. Dan bagian pertama asalnya ada dalam Shahih Muslim juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan selainnya). (Min Akhlak ar Rosul al Karim hal. 256)
Syaikh
Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang
menunjukkan adanya akhlak terpuji yang berupa tabiat asal yang diberikan
oleh Allah Swt kepada diri seseorang dan ada yang diupayakan. Dan bahwa
yang merupakan tabiat itu lebih utama daripada yang diupayakan. (Kitab
al Ilmi: 256)
Adapun
contoh jenis kedua adalah apa yang terisyaratkan dalam sabda
beliau,البر حسن الخلق“Kebaikan itu (terletak pada) akhlak yang
bagus/mulia.” (HR. Muslim)
Dan
seperti dalam jawaban ‘Aisyah ra. ketika menafsirkan firman Allah Swt
,وإنك لعلى خلق عظيم Ia menjawab,كان خلقه القرآن“Akhlaknya (Rasulullah
Saw) adalah Al Quran.” (HR. Muslim) (Min Akhlak ar Rosul al Karim hal. 21). Dan tentunya yang kita bahas adalah akhlak yang terpuji.
Adapun
akhlak yang menyangkut hubungan dengan Allah Swt, maka terangkum dalam
tiga hal pokok yaitu:1. Membenarkan segala kabar berita dari Allah
Swt.2. Melaksanakan dan merealisasikan hukum-hukumNya.3. Bersabar dan
ridho terhadap takdir Allah Swt.
Inilah
tiga perkara pokok yang bermuara kepadanya berbagai macam akhlak mulia
terhadap Allah Swt. Berikut ini sedikit penjelasan tentang tiga hal
tersebut.
I. Membenarkan
segala berita dari Allah Swt.Artinya bahwa seseorang tidak boleh ragu
dan bimbang terhadap kebenaran berita dari Allah Swt, karena Dia adalah
Yang paling benar perkataannya sebagaimana firman-Nya,
ومن أصدق من الله حديثا“
Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah Swt.” (QS. An Nisaa: 87)
Dengan
akhlak ini seseorang bisa membela segala berita yang bersumber dari
Allah Swt dan menjawab semua syubhat, baik dari kalangan kaum muslimin
yang mengadakan bid’ah dalam agama maupun dari luar kaum muslimin.
II. Melaksanakan
dan Merealisasikan Hukum-hukum Allah Swt Akhlak seseorang terhadap
hukum-hukum Allah Swt adalah dia harus menerimanya lalu melaksanakan dan
merealisasikannya.
III. Bersabar
dan Ridho terhadap Takdir Allah SwtKita semua mengetahui bahwa takdir
Allah Swt yang berlaku pada setiap hamba itu ada yang menyenangkan hamba
dan ada yang tidak.
Di antara bentuk-bentuk akhlak mulia terhadap Allah Swt juga adalah sebagai berikut:
a. IkhlasYaitu
memurnikan ibadah hanya untuk Allah Swt seperti yang Allah Swt
firmankan,وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah
Swt dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…” (QS. Al Bayyinah: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّين َ، أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ“
Maka
sembahlah Allah Swt dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah Swt-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az
Zumar: 2-3)
Di
antara ciri ikhlas adalah seseorang mengerjakan ibadah dengan kontinu
dan tetap istiqomah dalam ibadahnya tersebut. Seperti diisyaratkan dalam
sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
استقيموا و لن تحصوا و اعلموا أن خير أعمالكم الصلاة و لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن
“Istiqamahlah
sampai tak terhingga, dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amalan kalian
adalah sholat, dan tidak ada yang memelihara wudhu kecuali mukmin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Albani).
b.
Takwa sesuai perintah Allah Swt,( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً )“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah Swt dan katakanlah perkataan yang
benar.” (QS. Al Ahzab: 70). (Makarimul Akhlak hal. 35-36)
c. Rasa
malu sifat malu yang dimaksud adalah yang bisa mencegah seseorang dari
berlaku buruk dan maksiat kepada Allah Swt. Oleh karena itu Nabi
menggolongkan sifat malu seperti ini sebagai bagian dari keimanan dalam
sabdanya,((الحياء من الإيمان))“Malu adalah bagian dari iman.” (HR.
Muslim) (Makarimul Akhlak hal. 73)
d. Taubat adalah
di antara bentuk ibadah yang agung, yang maknanya adalah seseorang
kembali kepada Allah Swt dan memohon ampunan-Nya setelah berbuat salah
dan dosa. Sebesar apapun dosa dan kesalahan hamba, bila dia bertaubat
kepada Allah Swt niscaya Allah Swt akan mengampuninya dan menghapus
dosanya tersebut. Allah Swt berfirman,
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا
مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا
لَهُ
Katakanlah,
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Swt. Sesungguhnya Allah
Swt mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan
berserah dirilah kepada-Nya…” (QS. Az Zumar: 53-54)
Dan
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr bin al ‘Ash yang dahulunya termasuk
pembesar orang-orang kafir,يا عمرو: أما علمت أن الإسلام تجب ما كان
قبله“Wahai ‘Amr, tidakkah kau tahu bahwa Islam akan menutupi (dosa-dosa)
yang terdahulu.” (HR Muslim) (Makarimul Akhlak hal. 103-105) Dan lain
sebagainya.
Adapun akhlak mulia terhadap sesama makhluk khususnya terhadap sesama Muslim, maka telah didefinisikan oleh al Hasan al Bashri rah. yang menyatakan bahwa akhlak mulia itu adalah tidak menyakiti, ringan tangan (suka menolong) dan bermuka manis terhadap yang lain.
Adapun akhlak mulia terhadap sesama makhluk khususnya terhadap sesama Muslim, maka telah didefinisikan oleh al Hasan al Bashri rah. yang menyatakan bahwa akhlak mulia itu adalah tidak menyakiti, ringan tangan (suka menolong) dan bermuka manis terhadap yang lain.
Al
Hasan al Bashri rah. juga mengatakan bahwa terdapat tiga hal pokok yang
merupakan akhlak mulia terhadap sesama makhluk, yaitu:
1. Tidak
menyakiti orang lain. Baik terkait dengan harta, jiwa maupun harga
dirinya. Bagi mereka yang tidak bisa menahan diri dari menyakiti orang
lain maka berarti dirinya berakhlak buruk. Padahal Rasulullah Saw telah
menyiarkan hal ini di hadapan kumpulan yang terbesar dari umatnya yaitu
ketiak haji wada’ dengan sabdanya,
إن دماءكم، وأموالكم، وأعراضكم، عليكم حرام، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا
“Sesungguhnya
darah, harta dan harga diri kalin itu haram (terhormat), seperti
terhormatnya hari, bulan dan negeri kalian ini.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Maka
jika seseorang berkhianat dalam harta orang lain, memukul dan berbuat
jahat terhadap orang lain atau mencela harga diri dan menggunjing orang
lain, berarti dia bukan seorang yang berakhlak mulia terhadap sesama.
Dan
seorang muslim yang dapat menahan diri dari menyakiti orang lain dengan
lidah maupun anggota badannya, maka ia adalah muslim sejati,
sebagaimana sabda Nabi ,المسلم من سلم الناس من يده ولسانه…“Muslim
(sejati) adalah yang orang lain selamat dari (gangguan) tangan dan
lidahnya…” (Muttafaqun ‘alaihi) (Ushul al Manhaj al Islami hal. 541)
2. Ringan tangan (suka menolong/dermawan). Sifat
menolong dan dermawan bukan hanya dengan harta, tetapi meliputi
pengorbanan jiwa, kedudukan dan harta. Jika seseorang memenuhi kebutuhan
manusia, membantu dalam mengarahkan urusan mereka, menebarkan ilmu dan
membagi-bagikan hartanya kepada manusia, maka kita menyifati dirinya
sebagai orang yang berakhlak mulia karena dia telah berkorban dalam
hal-hal tersebut. Nabi bersabda,
اتق الله حيثما كنت، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
“Bertakwalah
kepada Allah Swt di manapun kau berada, dan susullah keburukan itu
dengan kebaikan, serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ad Darimi dan dihasankan derajatnya oleh Syaikh Albani).
Maka jika seseorang dizalimi atau diperlakukan buruk oleh orang lain maka lebih baik memaafkannya. Allah Swt juga berfirman,(وأن تعفوا أقرب للتقوى) “dan kamu memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al Baqarah: 134)
3. Bermuka
manis Artinya seseorang menampakkan wajah yang ceria dan berseri di
hadapan orang lain. Nabi pernah bersabda,لا تحقرن من المعروف شيئا، ولو
أن تلقى
أخاك بوجه طلق“Janganlah kamu meremehkan sedikit pun perkara
makruf/kebaikan, walaupun sekedar bertemu saudaramu dengan wajah
berseri.” (HR. Muslim). Karena wajah ceria dan berseri membuat orang
yang ditemui merasa senang, dan dapat mendatangkan kecintaan dan membuat
hati lega, baik hatinya maupun hati orang lain. Dan di antara yang
paling berhak mendapatkan pergaulan yang baik dari seseorang adalah
orang tuanya, terutama ibunya. Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu bertanya,
يا
رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك،
قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أبوك. رواه البخاري ومسلم
“Siapakah orang yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Maka Nabi menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). (Kitabul Ilmi: 263-268)
“Siapakah orang yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Maka Nabi menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). (Kitabul Ilmi: 263-268)
Dan
sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa akhlak mulia itu ada yang
berupa tabiat asal yang diberi oleh Allah Swt dan ada yang dihasilkan
melalui jalur usaha dan upaya. Dan bahwa yang berupa tabiat lebih
sempurna daripada yang diupayakan. Sedangkan yang diperoleh dari jalur
usaha bisa jadi seseorang terluput dalam banyak hal, karena ia perlu
melatihnya dan bekerja keras serta perlu senantiasa ada pengingat di
saat ada hal yang membuat seseorang goyah atau bergejolak dalam dirinya.
Seperti ketika seseorang datang kepada Nabi dan meminta wasiat kepada
beliau, maka Nabi mengatakan kepadanya, “Janganlah kamu marah.” Orang
tersebut mengulang-ulang permintaan wasiatnya, dan Nabi tetap menjawab
demikian. (HR. Bukhari).
Nabi juga pernah bersabda,
ليس الشديد بالصرعة، وإنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب“
Orang
yang kuat bukanlah yang bisa mengalahkan (lawannya), tetapi orang yang
bisa menguasai dirinya di saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka
menahan amarah dan menguasai diri di saat marah termasuk akhlak yang
mulia. Dan Nabi telah memberikan penawar marah, yaitu jangan
melampiaskan marah tersebut, lalu berlindung kepada Allah Swt dari
syaitan yang terkutuk (HR. Tirmidzi).
Dan untuk memperoleh akhlak mulia maka seseorang harus mencerminkan sikap dan prilaku seperti berikut:
1. Menelaah
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw, yang banyak memuat tentang pujian
terhadap akhlak mulia, dengan demikian diharapkan seseorang terdorong
untuk mengerjakannya.
2. Memilih teman-teman yang baik, shalih dan bisa dipercaya perbuatan dan amanah mereka. Karena Nabi pernah bersabda,
إنما
مثل الجليس الصالح والجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك إما
أن يحذيك وإما أن تبتاع منه وإما أن تجد منه ريحا طيبة ونافخ الكير إما أن
يحرق ثيابك وإما أن تجد ريحا خبيثة
“Sesungguhnya
perumpamaan teman baik dan teman buruk adalah seperti penjual minyak
wangi dan pandai besi. Maka penjual minyak wangi bisa jadi memberimu,
atau kamu membeli darinya atau (paling tidak) kamu mendapatkan bau
wanginya. Sedangkan pandai besi bisa jadi akan membakar bajumu atau
(paling tidak) kamu mendapatkan bau tak sedapnya.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
3. Memperhatikan
akibat buruk dari akhlak tercela. Orang yang berakhlak buruk dibenci,
dijauhi serta dicela. Maka jika seseorang mengetahui akibat buruk dari
akhlak yang tercela maka ia akan menjauhinya. (Kitabul Ilmi hal.
269-271) (http://pena-syahid.blogspot.com)
REFERENSI
Cahyadi Takariawan, Prinsip-Prinsip Dakwah : Yang Tegar di Jalan Allah, Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2005
Satria Hadi Lubis, Buku Pintar Mengelola Halaqah: Solusi Praktis Mengelola Pengajian Kelompok, ta’lim, Usrah, dan Mentoring, Fatahillah Bina AlFikri Press, Tangerang, 2006
0 komentar:
Posting Komentar