10 Maret 2011 pukul 13:45
Hari itu aku berjalan seharian tanpa tujuan jelas di luar sana. Saat di bawah terik sinar matahari, tubuhku bermandikan keringat, bau badanku pun tercium olehku & itu bisa kuterima (cz,sebusuk-busuknya itukn bau badanku sendiri,demikian pikirku), saat aku berjalan di samping genangan air lumpur, ada mobil truk melaju & melindas genangan air itu sehingga air itu muncrat mengenai sebagian dari baju kaos kesayanganku, tak ayal lagi aku pun berlari berusaha mengejar truk itu sambil memaki-maki supir truk itu, tapi supir & truknya tetap melaju. Aku pasrah dengan baju kotor & berlumpur ini. Kini keringatku dibasuh oleh lumpur dibaju yg masih basah & airnya menetes di sepanjang jalan. Aku bukannya memerah air itu,apalagi berpikiran untuk membersihkannya dulu & menggantinya. malah membiarkannya, “panas matahari sudah cukup mengeringkan baju yang ku pakai” pikirku. “Ah..membersihkan,mencucinya hanya membuang waktu & tenaga saja. Memang warna hitam baju kaos yg ku kenakan ini masih bisa menutupi lumpur yg menempel jadi dari jauh tidak kelihatan. Tapi semakin lama semakin gerah & panas saja badanku ini. Padahal aku tau, warna hitam itu menyerap panas,tapi masih ku pakai. Ya,memang Cuma baju kaos hitam yang menjadi favoritku. Aku lebih senang warna hitam dan merah darah. Di bajuku ini terpampang gambar tengkorak berdarah & berbalut rantai berduri & berapi dengan tulisan berbentuk sayatan pisau “DEVIL GO TO HELL” yang disablon.
Jadi klo aku cuci, aku takut gambar sablonan itu luntur & terkelupas. Ku tarik baju kaosku dan kudekatkan kehidungku,” ah, ini gak bau-bau amat”sambil mencium baju kaos yg terkena lumpur. Kulanjutkan melangkah menyusuri balok-balok semen yang disusun menutupi lobang selokan pinggir jalan. Aku sambil bernyanyi mengikuti gebrakan musik underground rock metal di ipod baruku. Tubuhku ikut berjingkrak bak anak metal, aku tak peduli sorotan mata orang-orang yang iri,sinis memandangiku di sepanjang jalan.” Sesekali aku teriak dgn suara parau & serak meniru vokalis metal tuk menjiwai musik metalika ini. Aku asyik dengan musik ini, sambil berjingkrak, kakiku melompat-lompat & tak sadar aku menginjak semen yang retak dan akupun terperosok di lobang selokan. Ternyata selokan ini cukup dalam, tubuhku nyaris tenggelam. Lumpur hitam dan bau comberan yang menyengat hidung serta gumpalan sampah dan lendir kini berada dekat hidungku. Aku nyaris lemas, ku angkat kedua belah tanganku mencari pegangan agak aku tak tenggelam & bergumal dalam lumpur pekat itu. Aku hampir putus asa, tubuhku semakin lemas dan berat, untung ada yang meraih tanganku,entah tak tau siapa, yang jelas ia berusaha menarikku ke permukaan. Meski tenaganya tak terlalu kuat, kutarik tangannya, ia pun berteriak minta tolong dengan orang-orang. “Tolooong, toloooong,tolooooong, ada orang kecebur selokan!!!”...,entah bagaimana caranya, orang-orang menaikkan aku ke permukaan, di tepi jalan aku dikerumuni orang ramai. Saat itu aku tak sadarkan diri alias pingsan. Sekujur tubuhku penuh dengan lumpur & perutku juga kembung akibat banyak menelan lumpur itu. Orang mengira aku telah mati lemas. Rasa sejuk mengalir keseluruh tubuhku, pandanganku kabur, “Hei anak muda, sadarlah-sadarlah!”sambil pipiku ditampar-tampar pelan oleh seseorang yg tak kukenal. Namun,suara beratnya membuatku sadar. Kubuka mataku perlahan,kulihat disekelilingku orang ramai memandangiku, “alhamdulillah, anak muda ini sadar juga” kata seorang kakek tua di depanku. Sebagian orang menutup hidungnya,karena tak tahan mencium bau busuk diriku. Di samping tubuhku disiram air oleh seseorang pemuda yg juga tak kukenal. Ternyata tubuhku dibersihkan dari lumpur yang melekat. Aku mencoba duduk, dan bengong, tak tau mau berkata apa sama mereka & kepalaku pusing. “Sudah-sudah,maaf ya Bapak-bapak,ibu-ibu, semuanya boleh bubar,ini bukan tontonan” ujar seorang kakek tua.
“Ya..bapak-bapak & ibu-ibu sekarang silakan pulang, biar kami yang mengurus anak muda ini” timpal pemuda tadi yg menyirami air bersih ke tubuhku. Orang-orang pun bubar. Tubuhku masih lemas tak berdaya, aku terlalu banyak meminum & menelan lumpur comberan itu. Iiiiiak!..,berkali-kali ingin kumuntahkan semua isi dalam perutku ini,tapi tak juga bisa. “Sudahlah anak muda, sudah..,istirahatlah dulu” kata kakek itu. Mataku berat,penglihatanku gelap lagi, aku pingsan lagi. Aku dipapah dan dibawa ke sebuah pondok. “Aku mau di bawa ke mana, aku masih kuat,jangan berani-berani pegang !”aku sempat berontak sama mereka (si kakek & pemuda),mereka melepaskanku. meski badanku masih menggigil kedinginan, jalanku juga masih mengambang seperti orang mabuk. tiba-tiba kesadaranku hilang kembali, seperti orang yang sangat mengantuk lalu tertidur. Tubuhku rebah & mereka kembali membawaku ke pondok itu.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kubuka mataku, kulihat di sekelilingku pondok kayu beratapkan daun pohon nipah. Pondoknya sangat sederhana. Di tempat aku berbaring ini hanya beralaskan kardus bekas. Dari pojok sana kulihat asap perapian mengepul-ngepul dan seorang kakek sedang memasak sesuatu, ia meniup-niup bara api. Dan tak lama kuperhatikan kakek itu. Terdengar olehku suara pemuda itu memberi salam,”assalamu’alaikuum ki!” “Wa’alaikum salaam cu!” sahut kakek itu dari dapur yang dibuat dari bongkahan batu dan tanah liat. Pemuda itu memandangiku sejenak, dan berujar,”Ki, tampaknya ia sudah siuman” “Oh ya, syukurlaah”jawab kakek itu. “Ini aki buatkan bubur untuknya, coba tolong berikan bubur ini sama dia”suruh kakek itu. Pemuda itu meletakkan kayu bakar yang dibawanya, lalu mengantarkan bubur kepadaku. Sepertinya, aku dibawa cukup jauh dari perkotaan, tapi pakai apa mereka membawaku? Tanyaku dalam hati. Mengapa mereka mau menolongku,akukan bukan siapa-siapanya merek”gumamku dalam pikiran. Tapi..sudahlah,aku gak mau pusing-pusing mikirin hal yang gak jelas,yang penting aku bisa istirahat,lagi pula badanku pegal semua. “bang, ini bubur silakan dimakan,abang pasti lapar” kata pemuda itu sambil memberikan semangkuk bubur hangat padaku. Akupun mengambil mangkuk itu, ya memang terasa sangat lapar aku hari ini belum makan. “jangan lupa bang, baca bismillah dulu”ujar pemuda itu. “bismillaahirrahmaanirrahiim” ujar pemuda itu. Aku berhenti sejenak mendengarkan ucapan itu,tapi mulutku Cuma komat kamit belum pernah kudengar ucapan apa itu, masa’ mau makan aja pke’ bacaan segala, akupun melahap segera bubur itu sampai habis. Aku tak peduli dengan pemuda itu. Ia tersenyum melihatku makan serakus ini, lalu meninggalkanku.
“sudah selesai makannya anak muda?” tanya kakek sambil membincing ceret air yang masih mengepul uapnya. Aku Cuma menganggukan kepalaku dua kali. “kalau begitu, berikan dia air minum”ujar kakek. Pemuda itu memberiku segelas air putih. Kuraih gelas itu, dan lansung ku teguk. Memang sangat dahaga tenggorokan ini. “Kurang!”kataku kasar sambil mengacungkan gelas itu pada pemuda itu. Ia tersenyum, dan menuangkan air putih dari ceret yang dibawanya. Aku minum sampai sepuluh gelas. Lalu untuk apa si kakek menuangkan air panas kegelas tanah liat di sampingku. Akukan sudah minum banyak. Ku pandangi kakek, kakek pun memandangiku, ku geleng-gelengkan kepalaku dan menepuk-nepuk perutku yg kembung. “Ya, aki tau,perutmu masih dipenuhi lumpur, makanya aki buatkan ramuan ini agar lumpur itu bisa kau buang nanti bersama kotoran, kamu mau kan meminumnya ?” ujar kakek. Ku anggukan kepalaku. “Terserah kamu, mau diminum sekarang atau nanti saja” kata kakek. Kakek pun berlalu dariku.
Hari semakin sore dan gelap. Pintu pondok dan jendela ditutup rapat. Di pondok ini tak ada listrik, mereka cuma pakai lentera. Aku melihat mereka melakukan sesuatu yang persis sama dilakukan oleh orang-orang di masjid atau surau, tapi sedang apa mereka. Setiap gerakan kudengar “Alloohu akbar”. Aku cuma memandangi sebentar dan kulirik air ramuan kakek, moga masih hangat jadi anggap aja ngopi. Kuseruput air itu sampai habis. “Aahhh...,meski agak lengket-lengket dilidah, gak tau ramuan apa ini. Tak berapa lama kemudian, aku merasakan agak aneh, perutku mulas & aku mual-mual. “Waaah gawat ni, sepertinya isi dalam perut ini melilit sekali, di mana aku harus buang air” pikirku. “Sudah diminum ramuannya, anak muda?” tanya kakek dari kejauhan. aku hanya berdehem-dehem. “kalau sudah, silakan kamu pergi ke belakang,”ujar kakek. Aku bingung di belakang mana, aduuuuh sudah gak tahan nih. “Cu, cepat tunjukan dia” kata kakek. Pemuda itu mengantarku ke belakang sambil membawa obor yang dibuat dari sabut kelapa dan bambu. Antara pondok dan WC berjarak 10 meter, di sekelilingku hutan lebat dan berbagai macam bunyi yang kudengar.. “Bang, apa aku menunggu disini atau abang sendirian saja” tanya pemuda itu. “Biarkan aku sendiri” kataku. “Baiklah, aku pergi dulu bang” sambil meletakan obor ditempatnya yang dibuat pada tiang di luar WC. Di dalam WC, bulu romaku merinding. Entah kenapa. Aku jadi penakut. “Aah...kalau pun ada yang berani menakutiku, akan kutonjok dia.
Saat buang air, tiba-tiba angin bertiup sehingga obor diluar pun padam. “Yaaah..sialan!.., obor di luar padam lagi” gumamku dalam hati. Aku semakin merinding, dan segera mungkin menyelesaikan buang air ku dan membasuh duburku sampai bersih. Aku segera keluar dari WC, dan melihat pondok yang terang dari kejauhan 10 meter, aku pun berlari menuju pondok tanpa menghiraukan apa-apa saja yang ku injak. Aku sampai lupa membawa obor itu.
Hari semakin larut, pukul 22.15 WIB. perutku keroncongan, sebenarnya dari tadi aku ingin makan. Aku malu dengan mereka yang tidak kukenal malah membawaku dan merawatku di pondak ini. Aku bangun dari tempat tidur, kucari piring kubabak belanga, periuk dan kuali di dapur. Aku takut membangunkan mereka. Ku ambil semua nasi yang ada, dan semua lauk & sayur. Aku makan sendirian di lantai dengan lahap. Selesai makan aku pun kembali tidur.
“ALLOOHUAKBAR...SAMIALLOOHULIMAN HAMIDAH...ALLOOOHUAKBAR..!,” Suara itu sayup-sayup kudengar. Suara itu pula yang membangunkanku. Kulihat jam di dinding pukul 04.25 WIB. wah sudah pagi. Oh, ternyata, si kakek dan pemuda itu melakukan gerakan senam pagi,tapi kok pagi buta begini sudah senam?” ujarku dalam hati. “Aah sudahlah...,mataku masih ngantuk, jadi aku tidur lagi”.
Dalam tidurku, aku bermimpi berjalan-jalan ditepian jalan di perkotaan, aku khawatir terperosok lagi, sehingga aku memilih jalan lain yang aman. Yang tidak ada selokannya. Tapi, ternyata aku tak ada pilihan lagi. Tiba-tiba, air selokan meluap dan limbah lumpur nya melimpah keluar, aku ketakutan berusaha berlari dari kejaran limbah lumpur itu, waaaaaaah....lumpurnya melebihi lumpur lapindo, semua jalan ditutupi lumpur, bahkan rumah-rumah, gedung-gedung habis dilibas lumpur hitam itu ,aku berteriak minta tolong, kuteriakan “ALLOOOOHUAKBAR!!!.. berkali-kali lumpur itu surut tiba-tiba..,aku kapok terkena lumpur itu lagi” aku terus berteriak mengucapkan “ALLOOHUAKBAR!!!” sekeras mungkin bahkan, kuteriakan dengan suara khas parau anak metal. Ku lihat lumpur tadi yang mengering serta-merta hancur seperti diterpa gempa yang sangat keras, awan mendung pun berkumpul suara mengguntur dari langit dan sambaran halilintar memekakan telinga terdengar, lalu hujan deraspun turun menyapu dan menggerus lumpur hitam itu. Perkotaan kembali bersih diterpa hujan.
Mendengar teriakanku, kakek dan pemuda itu terkejut heran dan menghampiriku. Mereka berusaha membangunkanku dari tidurku. “Anak muda, anak muda!...bangun-bangun...!”, astaghfirullooh...,istighfar anak muda, ku buka mataku, hah, ternyata aku bermimpi. Ikuti kata kakek, “Astaghfirulloohal ‘aziiim” akupun mengikutinya dengan terbata-bata dan berkali-kali. “ini ki air minumnya” kata pemuda sambil memberikan segelas air minum ke kakek. “Ayo diminum dulu, tenangkan dirimu anak muda” kata kakek sambil memberiku minum. Memang ternyata, pagi ini hujan cukup deras yang disertai gemuruh ,petir dan angin kencang. Syukurlah pondok ini terlindungi oleh rimbunan pepohonan sehingga angin membencar dan tidak terlalu kuat mengenai pondok ini.
Pagi itu, kuceritakan mimpiku kepada mereka. Mereka berdua saling berpandangan dan tersenyum. Aku heran melihat mereka. Dan mereka memandangiku sambil tersenyum pula. “Sorry, ada yang aneh dengan ku?” tanyaku. “Tidak anak muda, tidak ada yang aneh denganmu” kata kakek. “aku kapok,aku tak mau lagi ketiban sial di jalanan sana”kataku. “Ketiban sial?”tanya kakek heran. “Ya,aku tak mau terperosok & kotor lagi” jawabku. “Baiklah,kalau memang itu maumu, mari ikut aki” kata kakek. “Kemana?” tanyaku. “ikutlah,kamu gak mau kotor lagi kan?” ujar kakek. Aku mengangguk. Aku pun mengikuti kakek itu. “Cu, sudah penuh air di drum?” tanya kakek pada pemuda itu. “Sudah Ki” sahut pemuda itu. “Masuklah ke kamar mandi itu, buka semua baju dan celanamu anak muda, dan pakailah kain basahan ini” kata kakek sambil memberikan kain bekas tepung gandum”. Kakek menunggu diluar, sini baju dan celanamu anak muda, biar cucuku yang mencucinya. “wey, tolong baju kaosku, yang gambar tengkorak itu jangan disikat ya, aku gak mau gambarnya sampai terkelupas. “Kamu tenang saja anak muda, cucuku, lihai dalam mencuci, dia punya banyak akal,gimana cara mencuci baju tanpa menghilangkan gambar sablon yang menempel. “Kebetulan, dia bekerja jadi tukang sablon kaos di pasar sana” ujar kakek. “Oh ya, waah bagus tu, di mana tu?” tanyaku sambil menggosok-gosok badanmu dengan sabun. “di pasar Nobon.”sahut pemuda itu sambil merendam pakaianku dengan sabun cuci colet. Ow..pasar Nobon alias No Ngebon itu?”ujarku. “Iya bang, alias tak boleh ngutang he he..”jawab pemuda itu. “Gimana mau ngutang, barang dagangannya harganya lumayan murah semua, aki dan orang kampung di sini banyak yang milih belanja di pasar itu.” Ujar kakek. “aku jarang ke pasar Nobon, aku lebih memilih pasar diseberang sana, pasar Bodai” kataku. Oh, pasar Bodai itu alias boleh gadai ya bang?”ujar pemuda itu. “Ya”jawabku. “Jadi,kalo abang gak punya uang, abang boleh gadai barang apa aja gitu?” tanya pemuda itu. “ya iyalah,aku sering gadai barang di sana”jawabku. “apa gak rugi bang?”tanya pemuda itu. “peduli amat, yg penting aku dapetin barang yang kuinginkan”jawabku. “Sudah-sudah, nanti saja dilanjutkan ngobrolnya, ayo anak muda sudah selesai mandinya?” tanya kakek. “Sudah Ki” kataku. “Kamu juga cu, cepatlah selesaikan cucianmu, lalu ambilkan handuk dan pakaian bersih untuk anak muda ini” ujar kakek. “Ya ki” sahut pemuda itu.
Seusai mandi, aku memakai pakaian yang diberikan pemuda itu. Aku dipinjamkan baju kaos lengan panjang dan kain sarung. Ini memang bukan bajuku, semua bajuku yang kubawa didalam tas habis terendam lumpur. Ku lihat, sudah dicuci semuanya dan dianginkan pada tali jemuran dalam rumah. Karena memang hari belum begitu panas. Tapi baju kaos siapa ini, kalau baju si pemuda itu gak mungkin, karena baju ini cukup besar ukurannya dan pas dengan size tubuhku. Apalagi si kakek, mana mungkin ini baju si kakek. Baju kaos polos ini sepertinya masih baru. Apakah si pemuda itu sengaja membelikan aku?” sebaik itukan dia?” ah sudahlah. “Ada apa bang?, abang gak suka ya dengan baju ini?” tanya pemuda itu. “nggak, aku suka kok” jawabku. “Tapi, kenapa aku cuma pakai kain sarung, apa gak ada celana panjang gitu?” tanyaku. “ada kok, tapi aki yang nyuruh bang”jawab pemuda. “Sumpah, aku gak biasa aja pakai sarung gini, kayak mau sunatan aja” kataku. “Anak muda, mari sini ngopi bareng sama aki” ajak kakek yang lagi duduk nyantai di tikar pandan. “Mari bang, kebetulan hujan begini enaknya ngopi sama makan ubi rebus, tadi pagi kakek merebus ubi rambat hasil tanamannya di kebun belakang. Akupun bersama pemuda itu menghampiri kakek yang biasa disapa Aki oleh orang sekampung.
Kami bertigapun asyik mengobrol sambil menyantap ubi rebus dan menyeruput kopi buatan yang dibeli dari orang kampung. Aku memperkenalkan diriku, asal usulku, namaku dan segala hal yang mereka ingin tau dari diriku. “Oh bang Opick Nujoum namanya, “tapi orang-orang biasa memanggilku Opium” kataku. “Waah kaya nama narkoba aja bang”. “emang”. kalau namamu?”tanyaku. “aku Cuapingno Tongkole, tapi orang kampung biasa manggil aku Cuap/cu .” Aki memanggilku dengan sebutan ucu/cu, sebab aku anak yang bungsu.” Kata Cuapingno. “Kalau Aki, namanya Ampulele Kuelame Ikangno,makanya disapa aki”kata si Cuapingno. “Weih, panjang juga ya, unik juga kedengarannya nama orang kampung sini.” Kataku. “Aki sekeluarga suka pelihara ikan?” tanyaku. “iya tapi dulu waktu ayah,ibu dan abang si cu masih hidup, eh, kok anak muda tau?” tanya Aki. “Owh,wajar saja, dari nama unik kalian saya nebak saja, soalnya nama Aki dan Si Cu ada terselip nama ikan, benar gak?” tanyaku. “Ya,opick betul, warga di sini memberi nama keluarganya sesuai dengan pekerjaan sehari-hari,jadi mudah dikenali. Kami dulu selain nelayan juga pemelihara beragam jenis ikan. Orang kampung juga kenal dengan kami sebagai keluarga peternak & penjual ikan. Ayah si Cu bernama Arwana Moarae Holu, Ibu si Cu bernama Karapunoa Lumaya, Abang si Cu bernama Sardinoa Samodra Otara. Namun sayang, mereka semuanya tewas dilanda ombak dan badai saat menjala ikan di laut. Ketika itu, Si Cu masih berumur 11 bulan 29 hari. Saat itu Aki sempat panik, sebab cuaca saat itu tiba-tiba berubah, awan menjadi mendung dan badai topan di laut berkecamuk, aki Cuma bisa memanjatkan doa keselamatan kepada mereka sambil menggendong si cu yang tiada henti menangis” ujarnya sambil terisak-isak menahan tangis. Ku lihat mata Si Cu juga berkaca-kaca, ia tak bisa membendung air matanya, anak lelaki itu berusaha untuk tegar sambil menghapus air matanya. “Oke, sorry, aku gak ada maksud buat kalian sedih & cengeng begini...,soalnya aku juga ikut sediiih..huk huk!”aku terharu dengan kisah keluarga ini, meski aku anak metal yg jarang nangis, kini aku baru tau arti hidup sebenarnya. Aku terbayang dengan keluargaku, mereka masih hidup tapi malah meninggalkanku, menganggapku sampah keluarga, aku diusir dari rumah sehingga sampai kini aku hidup di jalanan tanpa tujuan jelas. Suara tangisku melebihi suara tangisan mereka. Aku nyaris teriak histeris menyesali diri sendiri, apa yang sudah kulakukan selama ini. Melihat ku seperti itu, mereka berhenti menangis, bengong serta heran dengan sikapku. “Opick, opick, ada apa?” tanya Aki. “Tidak ada apa-apa”jawabku sambil menghapus air mata dan menuang ingusku yang keluar bersamaan air mataku. “Apa yang kau tangiskan,sepertinya sangat menyedihkanmu, tragedi masa silam yang menimpa anak & menantu serta cucuku itu sudah kami ikhlaskan dan serahkan kepadaNya jadi tidak sampai sesedih kamu, pasti ada hal lain yang kamu sedihkan?” tanya Aki. “Iya, Aki benar”sahutku. Aku pun menceritakan perjalanan hidupku hingga aku kini memilih hidup sebagai anak metal jalanan.
...
“Aku ingin berubah Ki?” kataku singkat. “Berubah yang bagaimana?”tanya Aki. “Aku ingin bahagia jalani hidup Ki”kataku setelah merenung sejenak. “Aku mau jadi orang baik, aku mau belajar senam sama kalian sepertinya bagus buat nyehatin badan & nenangin pikiran”.kataku. “Ha, senam?,senam apaan tu?” tanya Aki. “ Senam yg 5 kali sehari itu ya bang?“ tanya Cuap. “Ya”. Oowh..itu Ki, sholat fardu 5 waktu” kata Cuap. “Oooh, itu lebih dari sekadar senam pick” ujar Aki. “Bahkan, itu jurus dasar mencari kebahagiaan hidup, iya kan Ki?” sahut Cuap sambil menoleh ke Aki. Aki melongo, “emmm..ya ya..,Si cu benar,benaran kamu mau belajar jurus ilmu tenaga jiwa ini?” tanya Aki. “Oh ya, yang benar Ki, aku mau-aku mau!,yang penting pikiranku bisa tenang” kataku bersemangat. “Kapan saya bisa mulai belajar Ki? Sekarang bisa gak?”tanyaku. “Cu, lihat pukul berapa sekarang?”tanya Aki. “Kebetulan Ki, 15 menit lagi waktu dzhuhur masuk”sahut Cuap sambil melihat jam dinding tua yang digantung. “Baiklah, jurus ilmu jiwa bahagia ini dinamakan sholat, untuk mempelajarinya & mengamalkannya mesti ada syarat” kata Aki. “Apa syaratnya Ki?, apa perlu pake’ ayam kampung hitam atau beras kuning & kemenyan?” kataku. “Owh, tidak perlu, kita cukup berwudhu,yaitu membersihkan bagian anggota tubuh kita dengan air bersih & mensucikan” jelas Aki. Aku melongo & mengangguk-anggukan kepala. “Sekarang mari ikut Aki, Cu contohkan gimana cara berwudhu yang benar sama abang Opick”ujar Aki. “Baik Ki”.
.....
Setelah itu, waktu shalat dzuhur pun tiba. Cuap menyangikan lagu dengan lantang, aku ingat lagu itu liriknya sama dengan yang sering ku dengar di masjid & surau,tapi lagu apa itu. Aku duduk terdiam mendengarkan lagu itu, memang terasa beda dihatiku. Aku merasa tenang mendengarnya. Ingin rasanya kunyanyikan lagu itu. Setelah Si Cu selesai bernyanyi,“Eh,cuap, lagu apa yang kau nyanyikan?” tanyaku setengah berbisik. “Ini bukan lagu bang, tapi adzan artinya suara tanda waktu shalat tiba” jawabnya. “Ooow..adzan”kataku.
Awalnya aku agak canggung dan cuma bisa mengikuti sambil melihat gerakan shalat. Setelah selama 6 bulan aku mengikuti segala apa yang mereka lakukan termasuk shalat bersama mereka. Hatiku dan jiwaku merasakan ketenangan yang amat dahsyat. Aku dibimbing untuk selalu berdzikir yakni mengingat Allah swt kapan dan di mana saja berada. Aku sangat menikmati dan larut dalam dzikir itu. Aki juga berpesan kepadaku, setiap kali ada niat jahat yang terlintas dihati & pikiran agar segera beristighfar. Kuingat dan kupegang nasehat & pesan dari orang yang telah menyelamatkanku dari selokan itu.
“Ki, Cu.aku minta maaf atas semua perangai kasarku, dan telah merepotkan kalian selama ini, aku tidak tau mau kemana aku ini kalau sempat aku tidak bertemu kalian. Aku merasa punya keluarga lagi.” Ujarku sambil meneteskan air mataku. “Ya, sudahlah pick, Aki dan Cu juga sudah menganggap kamu sebagai keluarga kami, tapi ingat, di sana ada keluargamu yang harus kau sayangi, pulanglah pada mereka, buatlah mereka tersenyum melihatmu kini berubah” ujar Aki dengan mata berkaca-kaca. “Cu, adek abang yang baik, makasih banyak ya, udah mau nyuciin baju anak metal” kataku sambil mengusap-ngusap kepalanya. “Yoi bang” jawabnya sambil menahan tangis. “Kenapa, insyaAlloh, lain waktu kita bisa jumpa lagi kok,” kataku. “Jika abangku masih hidup, dia gak jauh beda sama abang”ujarnya. “Ya, Opick, kapan-kapan mampir ke sini ya” kata Aki. Kamipun berpelukan dan menangis terharu. Aku harus melanjutkan langkahku mencari spiritku yang hilang, menyusuri jalan memahami makna sebuah perjuangan dan pengorbanan dalam hidup. Terima kasih kuucapkan pada kalian.
Catatan by angah sanaci 10 Maret 2011 selesai pkl 11.46 WIB.
Sungguh Ya Allah Ya.. Tuhanku, hamba mohon petunjuk dan ampunan-Mu dengan segenap jiwa ragaku. Aku kapok terperosok & kotor lagi.
0 komentar:
Posting Komentar