Rasulullah saw mendorong sahabat dan umatnya untuk membangun, mengembangkan dan memelihara identitas diri sesuai dengan nilai Islami. Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabatnya, “Janganlah kamu menjadi ima’ah”. Para sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud ima’ah, ya Rasul?” Beliau menjawab,”Yakni mereka yang tak punya pendirian, malah sampai berkata, saya bagaimana masyarakat saja. Jika masyarakat menganggap baik maka bagi saya baik dan jika masyarakat menilai buruk, maka bagi saya buruk pula. Teguhkanlah diri kalian. Jika masyarakat baik, maka ikutilah kebaikan itu, namun jika masyarakat bertingkah buruk, maka jauhilah keburukan itu.”
Pada hakikatnya, kita mampu mengatakan, “siapa diri kita yang sebenarnya”. Simbolitas yang kita cinta, kelompok teman adalah refleksi dari siapa diri kita yang sebenarnya. Ketika ditanyakan kepada anda, “siapa dia sebenarnya?” maka jawablah pertanyaan itu dengan “Siapa teman-temannya?”
Simbolitas dan atau identitas seolah sesuatu yang remeh, padahal bagi Nabi Muhammad saw justru itu sesuatu yang sangat penting bin mendasar. Simbol dan identitas umat sangat penting, bukan saja secara fisik dapat membedakan dengan kebiasaan umat lain, tapi juga mendorong untuk tumbuhnya pendirian umat yang mandiri.
Umat Islam jangan gampang terpesona dengan segala hak milik umat lain, belum tentu baik pula bagi diri kita. Perlu dicatat bahwa Barat memang dapat maju karena meninggalkan agamanya (melalui prinsip sekularisme, sebagai koreksi pada dominasi dan penyalahgunaan otoritas oleh pendeta dan gereja). Namun, perlu dicamkan pula bahwa dunia Islam mengalami kemunduran justru akibat meninggalkan agamanya (ikut-ikutan menerapkan prinsip sekularisme, meninggalkan prinsip Islam yang kaffah, padahal punya filosofi dan sejarah yang sangat berbeda). Sikap ikut-ikutan terjadi akibat umat terlalu gampang terheran-heran dan terkejut terhadap sesuatu yang baru, seolah-olah sebagai lambing “keberhasilan” yang dialami orang.
Terkait dengan penyakit terkejut (kaget) alias latah itu, tersebutlah kisah menarik pada era Khalifah Umar bin Khattab. Seorang laki-laki datang kepadanya, memberi kesaksian tentang orang lain yang dianggap lurus dan mengagumkan. Akhirnya, laki-laki yang terkagum itu ditanya oleh Umar.
“Apakah kamu mengenalinya?” lelaki itu menjawab, “Ya”.
Umar kembali bertanya,”Apakah kamu tetangganya, sehingga kamu tahu pintu masuk dan keluar dari rumahnya?” Orang itu menjawab,”tidak”.
Umar kembali bertanya,”Apakah kamu pernah bekerjasama dalam sebuah pekerjaan dengannya?” orang itu kembali menjawab,”tidak”
Umar bertanya lagi,”Apakah kamu pernah bepergian bersamanya dalam waktu beberapa saat?” lagi-lagi orang itu menjawab,”tidak”.
Umar pun lantas berkata memberi kesimpulan, “Kamu belum mengenalinya, kamu tidak pantas untuk mengaguminya.”
Dialog itu mengajarkan kita agar jangan terlalu gampang terpesona terhadap omongan dan atau retorika orang (umat) lain, jangan terlalu mudah mengagumi tingkah sesaat pihak (umat) lain, terutama bila belum memahami dan mengetahui seluk-beluk diri seseorang (umat) itu. Namun, kita pun tidak boleh selalu berburuk sangka (su’uzhan) kepada orang lain.
Disarikan dari Dhurorudin Mashad, 2002. Kisah dan Hikmah 7, Jakarta: Erlangga, h. 32-37.
0 komentar:
Posting Komentar