PENDAHULUAN
Islam
tidak dikenal sebatas ajaran suatu agama untuk umat manusia. Melainkan
juga dikenal sebagai suatu sistem norma yang mampu menjadi pedoman umat
manusia di berbagai aspek kehidupan. Satu di antara aspek yang disentuh
dalam Islam adalah aspek sosial di masyarakat. Dan kita ketahui bahwa
masyarakat adalah tempat berhimpunnya dan membaurnya beragam perbedaan
baik suku, ras, agama, maupun golongan. Keragaman tersebut tidak akan
pernah berhimpun dan membaur pada suatu daerah tertentu tanpa adanya
dorongan yang kuat dari masing-masing kelompok untuk bersatu dan saling
merhargai satu dengan lainnya.
Dengan
situasi dan kondisi masyarakat tersebut tentu ada salah satu norma yang
mampu mempengaruhi individu atau kelompok tertentu untuk menjaga
keharmonisan dalam bermasyarakat. Dalam hal ini agama yang cukup dikenal
toleransinya terhadap keberagaman adalah Islam. Islam menjadi pelopor
terwujudnya kerukunan antar sesama. Sebab ajaran yang universal
sangatlah bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Keragaman suku, ras,
golongan, dan sebagainya tidak menjadi penghalang manusia untuk saling
kenal-mengenal satu dengan yang lain. Sehingga, hubungan yang harmonis
terjalin.
Daerah kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa, seperti Melayu dan Dayak sebagai suku bangsa pribumi[1]
yang mula-mula mendiami daratan Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat
juga suku-suku bangsa pribumi pendatang, yang antara lain adalah Bugis,
Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain hingga jumlahnya
dibawah 1%, serta etnis Cina-Indonesia sebagai bangsa imigran dari
Tiongkok/RRC.[2]
Pada masyarakat Kalimantan Barat, terdapat tiga etnik besar yang
mendiami propinsi ini antara lain Dayak, Melayu, dan Cina. Keharmonisan
hubungan ketiga etnik tersebut menjadikan mereka tetap eksis sampai
sekarang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang melakukan akulturasi
melalui pernikahan antarsuku. Dengan itu hubungan mereka
semakin erat. Entah apa yang menjadi pendorong mereka sehingga mampu
mempertahankan keharmonisan tersebut. Apakah karena faktor lingkungan
alam yang sejuk, karakter yang sudah terbangun pada masing-masing etnik,
ataukah keterkaitan sejarah asal-usul etnik mereka. Semoga pertanyaan
tersebut dapat dijawab melalui pembahasan makalah ini.
Pada
umumnya sebagian masyarakat kita masih beranggapan bahwa suku Dayak
identik dengan penganut kepercayaan animisme, totemisme dan Kristen.
Asumsi ini beranjak dari paradigma masyarakat untuk menggeneralkan
sesuatu yang dominan atau diukur dari kuantitasnya. Sebagian besar suku
Dayak memang masih menganut kepercayaan nenek moyang mereka dan beragama
Kristen. Tapi tidaklah seluruhnya. Ternyata di kalangan
Dayak ada yang muslim dan dapat membentuk permukiman sendiri seperti di
Embau, Kapuas Hulu.[3]
Dari
fakta lapangan (Dayak muslim) yang ditemukan tersebut penulis tertarik
untuk membahas bagaimana dampak ajaran Islam pada suku Dayak di
Kalimantan Barat. Adakah keterkaitannya dengan suku Melayu dan suku lain
yang diidentikan mayoritas beragama Islam.
Adapun sub pokok bahasan yang penulis pilih pada makalah ini adalah:
1. Mengenal dan Memahami Suku Dayak;
2. Kedekatan Suku Dayak dengan Suku lain yang Beragama Islam;
3. Pengaruh Islam pada Masyarakat Dayak di Embau
Semoga
dengan pemaparan sub bahasan berikut ini tidak sekedar memberikan
gambaran bahwa masyarakat dayak terbuka dengan ajaran agama. Namun juga
dapat membuka mata pikiran untuk meluruskan pemahaman masyarakat kita
dalam memandang mereka (suku Dayak) sebagai suku yang kasar, jauh dari
kemajuan zaman dan anggapan yang mendeskreditkan orang Dayak secara
keseluruhan menjadi penilaian-penilaian yang positif dan lebih obyektif.
Sehingga, mendorong suku Dayak untuk berkarya dan bermanfaat bagi
masyarakat di sekitarnya.
Sebelum
mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh Islam pada Masyarakat Dayak,
terlebih dulu kita kaji sekilas asal-usul suku Dayak yang hidup di
Kalimantan Barat.
- Mengenal dan Memahami Suku Dayak
Etnis
Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6
suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, menyebabkan
mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh
daerah Kalimantan.[4]
Dayak
adalah nama kelompok besar suku bangsa yang terdiri atas ratusan anak
suku, di antaranya, Iban, Ngaju, Khayaan, Kanayatn, Maanyan, Dusun, dan
Ot Danum. Suku Dayak merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan[5],
tersebar di seluruh pelosok Kalimantan, bahkan sampai di Sarawak dan
Sabah, Malaysia Timur, dan Brunei Darussalam. Anak-anak suku tersebut
mempunyai budaya dan adat-istiadat sendiri yang berbeda satu sama
lainnya. Namun, mereka memiliki kesamaan dalam pola perladangan dan
mengelola alam lingkungan. Mereka juga memiliki sejumlah ritual yang
sama dalam berbagai segi kehidupan, seperti kelahiran, perladangan, dan
kematian, walaupun dengan bentuk dan cara yang berbeda.
Kesamaan-kesamaan ini menjadi pengikat batin orang Dayak sehingga merasa
satu. (Petronella Regina )
Orang
(suku) Dayak sangat menghargai adat istiadat dan ritualnya. Oleh karena
itu, orang yang “tidak tahu adat”, walaupun berasal dari kelompok
mereka sendiri, biasa dikucilkan dari masyarakatnya.
Kata “Dayak”[6]
sebenarnya sempat menjadi perdebatan di kalangan orang Dayak sendiri
karena Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri).[7] Nama itu
adalah nama pemberian orang luar (Belanda) dan dianggap bermakna
negatif. Orang Dayak sendiri menyebut diri mereka sesuai dengan asalnya,
seperti orang Mualang, orang Merakai, dan orang Banyuke. Sementara itu,
untuk menyatakan kesamaan, mereka menyebut orang kita Iban, orang kita
Simpakng, atau orang kita Kantu’. Oleh orang luar (Melayu), orang Dayak
sering juga disebut sebagai orang Darat atau orang Hulu.[8]
Hal ini mungkin disebabkan tempat tinggal orang Dayak yang cenderung
menuju ke hulu atau pedalaman (darat) bila terdesak. Kata /daya/ dalam
bahasa Kanayatn berarti ‘hulu’. Sebutan-sebutan ini memberikan stereotip
negatif[9]
pada orang Dayak yang-pada 1970-an sampai dengan 1980-an-sempat
menjadikan krisis identitas pada sebagian besar orang Dayak, khususnya
di Kalimantan Barat (Kalbar). Banyak orang Dayak yang malu atau tidak
mau mengaku Dayak, khususnya mereka yang bermigrasi ke kota. Bila mereka masuk Islam, mereka mengaku dirinya sebagai orang Melayu dan bukan orang Dayak.
Namun,
keadaan itu mulai berubah sejak awal tahun 1990-an. Cendekiawan Dayak
memelopori kebangkitan kepercayaan diri orang Dayak sebagai manusia yang
berbudaya dan yang mempunyai derajat yang sama dengan suku lain. Pada
akhir tahun ‘90-an, orang Dayak yang beragama Islam di Pontianak, yang
semula mengaku dirinya orang Melayu, bahkan mulai bangkit dengan
menghimpun diri dalam organisasi yang disebut “Ikatan Keluarga Dayak
Islam.” Mungkin ini merupakan salah satu bentuk gerakan apa yang oleh
Mering Ngo (Kompas, 4 Maret 2001) disebut sebagai revolusi identitas (identity revolution) orang Dayak.[10]
Orang
Dayak pada dasarnya tidak mempunyai sifat pendendam. Mereka cenderung
diam walaupun hatinya disakiti atau dihina. Mereka lebih suka berdamai
daripada harus berurusan/berkelahi untuk memperebutkan sesuatu, meskipun
sesuatu itu adalah hak mereka sendiri. Oleh karena itu, orang Dayak tak
pernah memulai perkelahian. Namun, bila sudah terlalu sering disakiti
dan perkelahian dimulai oleh pihak lain, secara spontan dan kompak orang
Dayak akan menjadi beringas dan sulit dikendalikan.
Orang
Dayak juga senang bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungan.
Mereka sangat menghargai tamu/pendatang dan dapat hidup berdampingan
dengan suku bangsa apa pun. Sebagai contoh, bila ada tamu datang ke
rumah atau ke desa mereka, mereka akan sibuk sekali
menyiapkan/mengadakan segala sesuatu yang layak untuk menjamu tamunya
dengan baik. Sebuah keluarga yang sehari-hari tidak pernah menggunakan
minyak goreng atau bumbu-bumbu ketika memasak makanan untuk mereka
sendiri, misalnya, ketika ada tamu, mereka akan menyediakannya untuk
menjamu tamunya. Tamu adalah raja yang harus dilayani dan dihormati
melebihi pelayanan terhadap anggota keluarganya sendiri.
Dalam pergaulan, orang Dayak juga santun dan sabar. Sikap ini membuat mereka tidak suka ngotot
dan lebih suka mengalah dalam menghadapi masalah. Mereka juga biasa
bicara apa adanya (polos) sehingga sering terkesan kurang mampu
berdiplomasi. Sifat ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan orang
Dayak yang sebagian besar berpendidikan rendah dan bahkan ada yang belum
pernah mengecap pendidikan formal.
Masyarakat
Dayak tidak hanya menjalin hubungan erat dengan sesama, tetapi mereka
juga sangat dekat hubungannya dengan alam dan makhluk lain yang hidup di
sekitar mereka, termasuk dengan roh leluhurnya. Kedekatan hubungan ini
dinyatakan dengan banyaknya ritual yang dilakukan untuk menjaga
keharmonisan hubungan tersebut. Dalam lingkungan masyarakat Dayak banyak
sekali ditemui tempat dan benda-benda keramat, seperti sandung,
tembawang leluhur, air (bagian dari sungai), tempat-tempat penyembahan
leluhur, mandau, dan tempayan induk (Kanayatn: tapayatn tuha).
Tempat-tempat keramat ini tidak boleh sembarangan dimasuki, apalagi
dibabat orang, sehingga pemeliharaan keramat ini berarti juga
pemeliharaan kelestarian alam.
Kehidupan
rumah panjang memupuk rasa kebersamaan dan solidaritas dalam diri orang
Dayak. Mereka juga mempunyai toleransi yang tinggi terhadap sesama.
Bila salah satu dari anggota kelompoknya disakiti, semua akan merasa
bertanggung jawab untuk membelanya. Karena itu muncullah gerakan massa
sebagai akibat dari perlakuan yang tidak baik terhadap satu individu.
Bila hal ini terjadi dalam kelompok sendiri, masalahnya mudah
diselesaikan dengan menurunkan “hukum adat” terhadap kelompok/pihak yang
bersalah dan semuanya bisa kembali seperti sediakala. Namun, bila hal
ini terjadi dengan kelompok lain yang sangat berbeda budayanya, hukum
adat sulit diberlakukan karena sering dilanggar oleh pihak yang tidak
tahu atau tidak mau tahu mengenai adat setempat. Hal inilah yang dapat
menimbulkan kerusuhan massa yang berlarut-larut.
2. Kedekatan Suku Dayak dengan Suku lain yang Beragama Islam
a. Hubungan Dayak dengan Melayu
Latar Belakang Sejarah
Propinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses
alkurturasi kultural atau perpindahan suatu kultur religius bagi
masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat
dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak dan Melayu.
Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup
dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang
dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli
barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena
seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar
barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral
dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah
baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika
bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke
daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang
kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat
menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab
Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak
mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah
mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan.
Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau
Dayak, mulai menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang
lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada
tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma dan
lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Sebelumnya,
masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka
percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka
sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan
Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain
dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak
mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba
(penguasa Darat) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh
kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri
masuk semakin jauh kepedalaman.
Masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam lebih banyak meniru gaya
hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena
banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka
masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada
umumnya masyarakat Dayak yang telah memeluk agama Islam di Kalimantan
Barat merasa enggan untuk disamakan dengan suku Dayak yang masih asli
(memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka
berusaha menguatkan perbedaan, mulai dari agama barunya dan aturan
keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di
pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang masuk Islam, sejalan
terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan
Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik
local maupun nusantara lainnya.
Untuk
mengatur daerah tersebut maka tokoh yang menjadi panutan di percaya
oleh masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar
Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil )
penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya
berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya,
dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya
penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah
asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat
Dayak yang beragama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang
Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini
mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu.[11]
Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari
ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di
kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang
mereka sebut Penembahan.[12]
b. Hubungan Dayak dengan Banjar
Hubungan Persaudaraan Suku-suku Dayak dan Suku Banjar
Sejak
jaman dahulu telah terjadi hubungan persaudaraan dan ikatan
kekeluargaan serta toleransi yang tinggi antara suku-suku Dayak dan suku
Banjar.[13]
Perkawinan Sultan Banjar dengan Puteri-puteri Dayak
Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju
dapat diketahui, isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai
beretnis Dayak Ngaju. Sedangkan isteri kedua Raja Banjar pertama yang
bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan Suku Dayak Maanyan , berasal dari etnis mereka. Jadi perempuan Dayaklah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada. Dalam Hikayat Banjar
menyebutkan salah satu isteri Raja Banjar ketiga Sultan Hidayatullah
juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju.
Dari rahim putri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelarDayakTionghoa-Indonesia
yaitu Nyai Dawang. Sultan Mustainbillah. Putri Dayak berikutnya adalah
isteri Raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja
Banjar ketujuh Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Muda
Abdurrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang putri berdarah
campuran
Sultan Muhammad Seman
Salah satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok Suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung Surapati. Hubungan kekerabatan sang pangeran melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati. Dari puteri Dayak ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru Belanda tahun 1905 . Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum . Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong . Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya Adat rukun kematian Kaharingan , yaitu upacara pemakaman secara adat Dayak (Kaharingan).
Puteri Mayang Sari
Putri
Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur
adalah puteri dari Raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah)
dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Maanyan. Walau Mayang Sari beragama Islam , dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadilmakmuran masyarakat Dayak di masanya. Itu sebabnya ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur .(Marko Mahin, 2005)
Dammung Sayu
Dammung Sayu merupakan seorang pemimpin masyarakat suku Dayak MaanyanBelanda . Karena itu akhirnya Belanda membumihanguskan perkampungan suku ini yang terletak di Desa Magantis, Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur . Pihak kerajaan Banjar yang berjuang melawan penjajah Belanda mengangkat Dammung Sayu sebagai panglima dengan gelarkerajaan
. Paju Sapuluh yang telah berjasa dalam membantu salah seorang kerabat
raja Banjar yang bersembunyi di wilayahnya dari pengejaran pihak
Tumenggung dan memberikan seperangkat payung kuning dan perlengkapan
Sangiang
Toleransi antara suku Banjar dan Dayak , juga dapat dilihat dari sastera suci suku Dayak Ngaju , Panaturan
. Digambarkan disana, Raja Banjar (Raja Maruhum) beserta Putri Dayak
yang menjadi isterinya Nyai Siti Diang Lawai adalah bagian leluhur
orang Dayak Ngaju. Bahkan mereka juga diproyeksikan sebagai sangiang
(manusia illahi) yang tinggal di Lewu Tambak Raja, salah satu tempat di
Lewu Sangiang (Perkampungan para Dewa). Karena Sang Raja beragama Islam maka disana disebutkan juga ada masjid .(Marko Mahin, Urang Banjar, 2005)
Balai Hakey
Secara sosiologis - antropologis
antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan sebagai dangsanak tuha dan
dangsanak anum (saudara tua dan muda). Urang Banjar yang lebih dahulu
menjadi muslim
disusul sebagian etnis Dayak yang bahakey (berislam), saling merasa dan
menyebut yang lain sebagai saudara. Mereka tetap memelihara toleransiAdat rukun kematian Kaharingan , tewah dan sejenisnya, komunitas Dayak
selalu menyediakan Balai Hakey, tempat orang muslim dipersilakan
menyembelih dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut keyakinanIslam . hingga kini. Tiap ada upacara
Intingan dan Dayuhan
Toleransi antara suku Banjar dengan suku Dayak Bukit di pegunungan Meratus di daerah Tapin di Kalimantan Selatan , juga dapat dilihat pada mitologi suku bangsaIslam
. tersebut. Dalam pandangan mereka, Urang Banjar adalah keturunan dari
Intingan, yaitu dangsanak anum (adik) dari leluhur mereka yang bernama
Dayuhan. Meskipun kokoh dengan kepercayaan leluhur, suku Dayak Bukit
selalu menziarahi Masjid Banua Halat yang menurut mitologi mereka
dibangun oleh Intingan, ketika saudara leluhur mereka tersebut memeluk
agama
4. Pengaruh Islam pada Masyarakat Dayak di Embau
Sekilas tentang sejarah dan perkembangan Islam di Embau akan dipaparkan di sini.
Yusriadi
(2005: 2) mengatakan Embau menjadi seperti kantong bagi Islam di
pedalaman Kalbar karena di wilayah lain di ceruk pulau ini Islam tidak
menyebar dengan merata.[14] Khususnya di kawasan sungai Embau di daerah Kapuas hulu.
Agama
Islam sudah dianut orang embau sejak beberapa generasi terdahulu. Hal
ini ada hubungannya dengan Kerajaan Islam yang pertama di Kampung Parit
(Jongkong) yang diperintah oleh Pangeran Abang Abdul Arab antara tahun
1800-1900 (Mohd malik, dkk dalam Yusriadi,2005: 4)
Belum
diketahui siapa dai dan guru agama yang menyebarkan agama Islam pada
masa itu. Hanya beberapa nama yang disebutkan yang pernah datang ke
Embau pada awal abad ke-20. Seperti Lebai Cama, Lebang (Lebai) Dampun,
Lebai Ngiril, Syeh Abdurrahman dari Thaif, Madinah, H. Abdul Hamid dari
Palembang, Muhtar Zaini dari Sumatera Barat, Sulaiman dari Nanga Pinoh,
H. Muhtar Idris dari Ordang, Sumatera barat, H. Ahmad dari Jongkong.[15]
Mereka menjadi guru ngaji (mengajarkan membaca Al Quran) fiqh, dan lain-lain baik dirumah maupun di masjid.[16]
Sungguh mulia tugas para guru agama tersebut. Mereka mengetahui dan
memahami bahwa Islam tidak akan dikenal oleh masyarakat suku pedalaman
jika tidak disampaikan. Melalui beragam metode pengajaran ilmu agama
inilah mereka mulai melakukan pendekatan setaham demi setahap kepada
suku Dayak.
Satu
diantara pendekatan yang menarik masyarakat pedalaman adalah dengan
mengajarkan “mantra-mantra” tertentu yang mengandung sejumlah ayat
Al-Quran dan simbol-simbol formulaik dalam islam seperti lafadz tahlil,
basmalah, nama Nabi Muhammad, dan lainnya. Penyebutan “mantra-mantra”
tersebut didekatkan dengan keyakinan lama masyarakat. Sehingga sinkretisme tumbuh dengan sendirinya.[17]
Selain
itu pendidikan secara formal juga dilakukan sehingga lambat laun
berdirilah beberapa lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan madrasah Aliyah. Masyarakat yang belajar
ilmu agama bukan saja dari daerah sekitar sungai Embau. Melainkan juga dari Bunut, Putussibau, Selimbau, dan tanah Pinoh, Sintang.[18]
Sungguh perkembangan yang luar biasa dan inilah sejarah yang tidak akan
pernah terlupakan bagi masyarakat pedalaman. Karena melalui masuknya
Islam ke tanah mereka dan mereka mau menerima ajarannya, pada dasarnya
mereka telah memiliki kemajuan berpikir dan mau mengubah cara pandang
orang lain yang keliru terhadap mereka. Buktinya mereka mampu mengenyam
pendidikan formal meskipun berada di kawasan pedalaman yang jauh dari
modernisasi dan pembangunan. Suasana alam yang masih murni menjadi
tempat pendukung yang baik untuk belajar ilmu agama dan yang lainnya.
Saat ini Embau merupakan kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Islam.[19]
Islamisasi yang dilakukan sejak awal abad ke-19 tidaklah sia-sia.
Namun, tidak berarti dakwah melalui pengajaran agama di berbagai bidang
pada kawasan ini berhenti hanya sampai di sini. Bagi para Da’i dan
da’iyah ustdz dan ustadzah, guru, dan mereka yang telah mengenyam
pendidikan tinggi harus terus melakukan tugas dan kewajibannya
masing-masing. Dan wilayah inilah yang dapat dijadikan contoh nyata
sebagai penyusunan strategi dakwah ke beberapa kawasan yang belum sempat
tersentuh oleh Islam. Bahkan jika orang-orang yang telah mengabdikan
dirinya di sana bahu-membahu, Embau akan menjadi pusat pengembangan dakwah Islam untuk masyarakat pedalaman Kalimantan barat.
REFERENSI
La Ode, M.D. Tiga muka etnis Cina-Indonesia: Fenomena di Kalimantan Barat (Perspektif ketahanan Nasional). Yogyakarta: Bigraf, 1997.
Yusriadi, Penyebaran Islam di Sungai Embau, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Khatulistiwa Journal of Islamic Studies, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STAIN Pontianak, 2005
http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1031961132
kb.8m.com/pp.htm+pribumi+kalimantan+barat,+dayak&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a
http://soborneo.blogspot.com/ http://indonzia.hu.wikiax.biz/id/Ot%20Danum
[1] Pribumi adalah sebutan bagi penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia.(http://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi)
[2] Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, 1998.
[3] Penelitian yang dilakukan oleh Yusriadi dan Hermansyah di Embau, Kapuas Hulu.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak
[5] Juga disebutkan pada http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak
[6] Menurut Mahmud Akil dalam tulisannya tentang Fenomena Etnisitas di Kalimantan Barat, Istilah “Dayak” itu dianggap sebagai penghinaan
pada zaman penjajahan Belanda. Beberapa ahli ilmu sosial mengatakan
bahwa sebutan “Dayak” memiliki arti yang sepadan dengan kata-kata:
“Orang Udik”, “Orang Darat”, “Orang Kolot” atau “Orang Dusun” (M.D.
LaOde, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1997, h. 24)
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak
[8]
Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan
masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya
dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak
yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai
kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak)
[9] Stereotip
yang melekat pada orang Dayak adalah bahwa orang Dayak itu peladang
berpindah yang menjadi penyebab kerusakan hutan dan lingkungan. Orang
Dayak malas sehingga mereka selalu hidup miskin dan kerusuhan yang
terjadi adalah akibat kecemburuan sosial. Padahal, orang Dayak mempunyai
sistem sendiri yang lebih arif dalam mengelola hutan dan sumber daya
alam sesuai dengan kondisi alam Kalimantan
yang unik. Dalam kerusuhan, seperti yang terjadi di Sampit dan beberapa
daerah di Kalimantan Barat, mereka berjuang untuk mempertahankan diri
dan memperjuangkan martabat dan harga diri mereka sebagai manusia
beradat yang sejak lama ditekan dan dilecehkan.
(http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1031961132)
[10] Orang
Dayak hidup di dalam lingkungan alam yang keras. Untuk menghadapi
kekerasan alam tersebut mereka hidup berkelompok dan bergotong-royong,
seperti ketika mereka membuka lahan perladangan baru (barudas) atau
ketika membangun pemukiman baru (rumah panjang). Setiap segi kehidupan
orang Dayak diatur oleh adat dan budaya yang diwariskan nenek moyang
mereka. Apapun agama baru yang dianut orang Dayak, sebagian besar mereka
tetap memegang teguh adat leluhur. Keyakinan akan kuatnya peran leluhur
dalam menjaga keharmonisan hidup orang Dayak dan kelestarian alam
lingkungannya membuat orang Dayak sangat menghormati peninggalan
leluhur. Hubungan mereka dengan roh para leluhur juga sangat erat
sehingga mereka sering melakukan kontak melalui para tokoh spiritual
Dayak, seperti dukun dan pemuka adat (pangalima), khususnya bila
masyarakat Dayak terancam jiwa dan harta bendanya.
(http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1031961132)
[11] Hal demikian dikenal dengan “proses Melayunisasi” melalui media “Islamisasi”. Pada
saat itu, agama Islam disebarkan oleh suku bangsa Melayu dari Malaka
dan dari Sumatera yang ditopang oleh suku-suku bangsa penganut agama
Islam, antara lain suku bangsa Semit, Saud, India dan Pakistan. Sasarannya adalah meng-Islam-kan suku bangsa pedalaman (Dayak) Kalimantan.
Akibat dari islamisasi ini sebagian suku bangsa pedalaman tersebut
melepaskan identitasnya sebagai “Orang Dayak” menjadi “Orang Melayu”.
(La Ode, M.D. Tiga muka etnis Cina-Indonesia: Fenomena di Kalimantan Barat (Perspektif ketahanan Nasional). Yogyakarta: Bigraf, 1997, h. 21)
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak
[13] http://soborneo.blogspot.com/ http://indonzia.hu.wikiax.biz/id/Ot%20Danum
[14] Yusriadi, Penyebaran Islam di Sungai Embau, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat),Pontianak, 2005,h. 2 Khatulistiwa Journal of Islamic Studies, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STAIN
[15] ibid. h. 5
[16] ibid
[17] ibid.h. 6
[18] ibid
[19] ibid
0 komentar:
Posting Komentar