Pendahuluan
Setiap
makhluk yang dianugerahi potensi ruh, hati dan akal di dunia ini
memiliki fitrah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta alam semesta.
Makhluk itu adalah dari bangsa Jin dan manusia.
Allah Azza Wajalla menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya surah Adz Dzaariyaat ayat 56.“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Ayat di atas menggambarkan alasan utama Allah menciptakan jin
dan manusia. Manusia selain memiliki ketiga potensi dasar, dilengkapi
dengan potensi ragawi (fisik) dan dengan itu manusia disebut makhluk
yang paling sempurna dalam kejadiannya. Sehingga dengan bekal potensi
tersebut manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di dunia.
Di
dalam kehidupan dunia manusia sibuk dengan berbagai aktivitas. Dari
seorang bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang senang di
dunia bermain, diusia sekolah mulai tertarik belajar, berpikir
untuk masa depan baik dengan jalan kuliah ataupun memilih bekerja,
menjelang dewasa menentukan pilihan untuk membina rumah tangga, dan
persiapan semasa tua menjelang kematian. Begitulah siklus kehidupan
manusia yang terus-menerus bergulir hingga tiba masa akhir dunia.
Bagi mereka yang mengerti dan menyadari tujuan dan makna hidup, tentu
akan meyakini bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi pada Sang Khalik.
Kata kuncinya adalah pengabdian kepada Allah secara total dalam
setiap lini kehidupan. Namun, segala bentuk pengabdian (ibadah) itu
hanyalah kamuflase jika sedikitpun tidak memberi pengaruh terhadap diri
seorang hamba.
Bicara
soal ibadah dapat memberi pengaruh bagi jiwa manusia, sangatlah
menarik. Menjadi alasan sejak seperempat abad lalu di lingkungan
kesehatan mental telah dikembangkan metode dan teknik-teknik bercorak
spiritual, mistikal, dan agamis yang dapat memberikan kontribusi bagi
kesehatan jiwa (Bastaman, 1997 : 130). Metode dan teknik-teknik tersebut
dikenal sebagai ibadah rutinitas keseharian bagi para penganutnya.
Dalam hal ini ibadah hanya diartikan sebatas ritual spiritual yang
diwajibkan. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bentuk ibadah yang
dimaksudkan, apakah dengan melaksanakan kewajiban itu (ibadah)
ketenangan jiwa dapat tercapai, bagaimana pula ibadah tersebut dapat
mempengaruhi jiwa manusia ?. Dari beberapa pertanyaan tersebut menunjukan betapa penting bagi individu untuk memahami hakikat ibadah demi ketentraman dan kedamaian hidup.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mendapat pilihan topik dari silabus Mata Kuliah ini yakni Pengaruh Ibadah Terhadap Kejiwaan , dan penulis sepakat memfokuskan bahasan dengan sub topik sebagai berikut :
A. Definisi Ibadah;
B. Ibadah sebagai Psikoterapis Kejiwaan; dan
C. Raih Ketenangan Jiwa.
Semoga
sub topik di atas dapat memberikan gambaran sekilas tentang hubungan
ibadah dengan kejiwaan manusia. Selain itu, diharapkan setelah mengkaji
isi makalah ini para pengkaji dapat memahami pentingnya ibadah dan
termotivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah di dalam kehidupan
sehari-hari. Selamat menelusuri dunia jiwa.
A. Definisi Ibadah
Menurut
ulama tauhid, ibadah adalah meng-Esakan Allah swt. dengan
sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukan jiwa
setunduk-tunduknya kepada-Nya. Sedangkan ulama fiqih berpendapat, ibadah
adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah
swt. dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat (Ahmad dan Musdah, 2003
: 137). Dari kedua pandangan para ulama tersebut, ibadah dapat dipahami
sebagai perwujudan segala sikap dan amalan meng-Esakan Allah swt guna
mengharap keridhaan-Nya.
Dari
segi bahasa, ibadah berarti taat, tunduk, menurut, mengikuti, dan doa
(Ahmad dan Musdah, 2003 : 137). Sedangkan secara terminologi, ibadah
berarti melaksanakan perintah-perintah Allah secara baik (Mahdi, 2003 :
6). Dapat dimengerti bahwa ibadah merupakan pengabdian dan ketundukan
tertinggi kepada Allah swt. Selain Allah tidak ada yang berhak disembah
atau diibadahi.
Mahdi
menambahkan bahwa Allah mewajibkan ibadah kepada makhluk-Nya adalah
demi kepentingan makhluk itu sendiri, sebab mereka sendirilah yang
merasakan manfaat dan keuntungan dari beribadah kepada-Nya, yang
merupakan salah satu faktor pendorong terkuat yang mengonsentrasikan
keimanan dan membangun kepercayaan dalam kerangka spiritual karena
ibadah dapat berfungsi sebagai pengingat manusia pada Allah, ganjaran
dan hukuman-Nya serta kenangan terhadap Rasulullah saw.
Ibadah
merupakan tes untuk menguji dimensi-dimensi keimanan seseorang, yang
menjadi rahasia tersembunyi dan tidak dapat diselami selain melalui
ritual-ritual ibadah (Mahdi, 2003 : 7). Dengan kata lain, bentuk-bentuk
ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, zikir dan lainnya telah
menjadi ketentuan syariat dan pelaksanaannya sebagai salah satu bukti
nyata keimanan hamba-Nya.
Imam
Al-Ghazali (2006 : 7) menjelaskan, ibadah adalah buah dari ilmu;
satu-satunya manfaat yang bisa dipetik dari usia; hasil usaha dari
hamba-hamba-Nya yang istiqamah; mutiara berharga dari para aulia; jalan
yang ditempuh oleh para ahli takwa; bagian untuk mereka yang mulia;
tujuan dari orang-orang yang ber-himmah; syi’ar dari golongan
terhormat, pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur; pilihan dari
mereka yang waspada; dan satu-satunya jalan menuju surga. Allah swt.
Berfirman, “Dan Aku Tuhan kamu sekalian, beribadahlah kepada-Ku” (QS. Al
Anbiya : 25).
Dilihat dari segi pelaksanaannya ibadah dibagi dalam tiga bentuk. Sebagaimana Ahmad dan Musdah (2003:138) menjelaskan: Pertama, ibadah jasmaniah-ruhiah (ruhaniah), yaitu perpaduan ibadah jasmani dan ruhani, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah ruhiah dan maliah, yaitu perpaduan antara ibadah ruhani dan harta, seperti zakat. Ketiga, ibadah jasmaniah, ruhiah, dan maliah sekaligus, seperti melaksanakan haji.
Masih menurut Ahmad dan Musdah (2003:138-139), ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah ada lima macam, yakni :
1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berzikir, berdoa, tahmid, dan membaca Al-Quran;
2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiz al- janazah (mengurus jenazah);
3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji;
4. Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf, dan ihram; dan
Ibadah
yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah
melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang
berhutang kepadanya.
A. Ibadah sebagai Psikoterapis Kejiwaan
Setiap
manusia yang mengaku hamba Allah tentu telah terbiasa melaksanakan
ibadah-ibadah terutama ibadah mahdhah. Namun, sejauh ibadah itu
dilakukan sejauh mana pengaruhnya terhadap jiwa pelakunya? Untuk
mengetahui jawabannya, berikut akan diulas beberapa bentuk ibadah dan
efeknya secara psikis. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan
psikoterapi melalui amalan ibadah.
1. Shalat
Sudah
menjadi ketentuan syara’ bahwa shalat akan sah jika pribadi muslim
telah menunaikan whudu. Maka akan diulas sekilas perihal whudu. Menurut
Ahmad dan Musdah (2003: 147), wudhu adalah suatu cara untuk
menghilangkan hadas kecil ataupun hadas besar yang dilakukan sebelum
mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah lain, menjadikan wudhu sebagai
salah satu syaratnya.
Air
suci dan mensucikan menjadi media wajib untuk berwudhu. Seperti
diketahui, air memiliki sifat jernih, mengalir dan menyegarkan. Sehingga
dengan air kotoran-kotoran yang menempel pada tubuh dapat
dibersihkan dengan sempurna. Secara maknawi, kotoran-kotoran baik
secara fisik maupun psikis luntur dan mengalir mengikuti aliran air
wudhu.
Wudhu disebut juga sebagai salah satu bentuk dari terapi air ( water of therapy).
Terapi air merupakan bentuk terapi dengan memanfaatkan air sebagai
media terapis. Beberapa pusat terapi kesehatan telah mengembangkan terapi air ini berhubung sangat diminati. Rafi’udin dan
Alim Zainudin (2004: 117) mengatakan selain dampak psikis, wudhu juga
memiliki pengaruh fisiologis, sebab dengan dibasuhnya bagian tubuh
sebanyak lima kali sehari, lebih-lebih ditambah, maka akan membantu
mengistirahatkan organ-organ tubuh dan meredakan ketegangan fisik dan
psikis.
Secara etimologi kata shalat berarti doa memohon kebaikan (Musthafa Al Khin dalam Rafi’udin dan
Alim Zainudin, 2004 : 50). Sholat memiliki pengaruh yang sangat efektif
untuk mengobati rasa sedih dan gundah yang menghimpit manusia (‘Utsman,
2004: 338). Saat sholat didirikan dengan menyempurnakan wudhu, niat
yang ikhlas, adab-adab seperti tuma’ninah ( tenang sejenak),
gerakan tidak terlalu cepat, memahami bacaan sholat maka akan
mendatangkan kekhusukan dan menjadi terapi tersendiri bagi jiwa. Dengan
kata lain, jiwa akan tenang jika shalat dilakukan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah saw.
Mendirikan
sholat selalu dilakukan Rasulullah saat beliau dirundung berbagai
persoalan penting. Diriwayatkan dari Hudzaifah ra. Ia berkata: “Jika
mendapat persoalan, maka Nabi saw mendirikan shalat (HR. Abu Dawud).
Shalat inilah solusi dari Allah swt. bagi hamba-Nya ketika mengalami
persoalan.
Allah swt berfirman:
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah:
45)
Secara
mendalam, Toto Tasmara (2001: 81) mengungkapkan bahwa shalat jangan
dipandang hanya dalam bentuk formal ritual gerakan fisik yang terkait
erat dengan tatanan fiqih, tapi juga muatan mendalam terhadap pemahaman
simbol-simbol atau hakikat yang terkandung di dalamnya.
Beliau
menggambarkan gerakan shalat sebagai simbol dari siklus kehidupan.
Dapat dilihat isyarat dari simbol-simbol gerakan dalam shalat, yaitu
filsafat gerak. Pribadi muslim harus bergerak, dinamis, karena tidak
selamanya hidup ini akan qiyam’berdiri’, lambang kejayaan
(dewasa). Suatu saat ia harus ruku (umur setengah baya), kemudian
bersujud (umur mulai uzur) (Tasmara, 2001: 82).
Melalui
shalat, kepribadian seseorang akan terbimbing dalam menyikapi berbagai
persoalan kehidupan. Senada dengan Toto Tasmara (2001: 83), shalat
menunjukkan sikap batiniah untuk mendapatkan kekuatan, kepercayaan diri,
serta keberanian untuk tegak berdiri menapaki kehidupan dunia nyata
melalui prilaku yang jelas, terarah, dan memberikan pengaruh pada
lingkungan.
Shalat selesai dilakukan. Selanjutnya kesejukan batin akan diraih dengan iringan munajat kehadirat Allah Rabbul Izzati melalui zikir, doa dan tilawah Alquran.
1. Zikir dan Membaca Alquran
Setiap
hamba mendambakan ketenangan dan ketentraman jiwa dalam menjalani
kehidupan ini. Harapan demikian dapat dicapai dengan mendekatkan diri
kepada sumber dari segala ketenangan dan ketentraman yakni Allah Azza wa jalla.
Sering menyebut, memuja dan mengingat asma-Nya di dalam hati maka jiwa
akan tenang. Adapun bentuk ibadah yang dimaksud adalah zikir dan membaca
Alquran.
Zikir
Firman Allah swt.
(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram (QS. Ar-Ra’ad: 28).
Alquran menjelaskan begitu penting melakukan zikrullah (berzikir kepada Allah) untuk ketentraman hati hamba-Nya yang beriman. Hal
ini diperjelas oleh Rasulullah saw. dalam hadits Beliau. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Dan Abu Sa’id ra., bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda:
Tidaklah
suatu kelompok yang duduk berzikir melainkan mereka akan dikelilingi
oleh para malaikat. Mereka mendapat limpahan rahmat dan mencapai
ketenangan. Dan Allah swt akan mengingat mereka dari seseorang yang
diterima di sisi-Nya (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Membaca Alquran
Akhir-akhir
ini, di beberapa tempat telah dibuka pusat-pusat pengobatan ruhani atau
pengobatan yang menggunakan Alquran (Abdurrahman, 2005: 11). Pengobatan
tersebut biasa dikenal dengan istilah ruqyah syar’iah. Namun, saat ini
secara umum sebagian masyarakat memandang ruqyah sebagai bentuk terapi
atau pengobatan alternatif guna membantu kesembuhan dari penyakit ulah
jin atau roh jahat di dalam tubuh manusia. Tidak menutup kemungkinan,
Alquran juga dipahami sekadar kumpulan surah dan ayat penangkal dan
pengusir kejahatan gangguan jin dan bangsanya.
Paradigma
tersebut sangatlah keliru dalam memahami Alquran sebagai petunjuk bagi
umat manusia menuju jalan yang lurus. Alquran adalah kitabullah
yang suci, diturunkan oleh Allah dengan posisi lebih tinggi, terhormat,
lebih bernilai dari segala karya ilmuwan manapun di sepanjang sejarah
peradaban manusia (Abdurrahman, 2005: 12).
Dalam Alquran Allah swt menyatakan bahwa Alquran bisa menjadi penawar (obat) bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“...Katakanlah:
"Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang
Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti)
yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (QS. Fushshilat: 44)
Ayat
di atas semakna dengan surah Al-Isra’: 82 dan Yunus: 57. Ayat-ayat ini
menjadi dasar bahwa Alquran memang telah ditetapkan Allah swt sebagai
pendekatan pesan-pesan ilahiah yang berfungsi terapis kejiwaan sekaligus
pedoman hidup bagi hamba-Nya agar selalu berada di jalan kebaikan dan
kebenaran.
Membaca
Alquran disertai mentadabburi setiap bacaan ayat dapat membimbing jiwa
agar ikhlas beramal dan tawadhu dalam bersikap sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Alquran. Sangat dianjurkan meluangkan waktu untuk
membaca Alquran setiap hari meski di tengah kesibukan. Apalagi
meningkatkan kualitas bacaannya di bulan suci Ramadhan. Selain
memperoleh pahala puasa juga mendapat keutamaan membaca Alquran di bulan
maghfirah tersebut.
1. Puasa (Shaum)
Muhammad
‘Utsman Najati (2004: 344) mengatakan, ibadah puasa mengandung beberapa
manfaat yang besar, di antaranya menguatkan kemauan dan menumbuhkan
kemampuan jiwa manusia dalam mengontrol nafsu syahwatnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw pernah berkata: “Allah swt.
Berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam as. Akan kembali pada diri
masing-masing kecuali puasa karena puasa hanyalah untuk-Ku dan Akulah
yang akan membalasnya. Puasa itu merupakan sebuah tameng jika sehari
saja seseorang yang berpuasa tidak berbuat cabul dan berkata kotor.
Kemudian jika ada orang lain yang mencelanya atau ingin membunuhnya,
maka hendaknya ia berkata: “Aku adalah orang yang berpuasa’ (Syaikhan
dalam ‘Utsman, 2004: 345).
Puasa
merupakan sarana latihan untuk menguasai dan mengontrol motivasi atau
dorongan emosi, serta menguatkan keinginan untuk mengalahkan hawa nafsu
dan syahwat. Rasulullah saw menganjurkan kepada para pemuda yang belum
mampu menikah untuk berpuasa agar dapat membantu mereka mengontrol
motivasi seksualnya.
Selain
itu, kesabaran menahan rasa lapar dan dahaga membuat seseorang yang
berpuasa merasakan penderitaan orang lain yang serba kekurangan.
Sehingga muncul rasa kasih sayang terhadap sesama dan mendorong untuk
membantu fakir miskin. Perasaan dan sikap peka secara sosial di
masyarakat inilah yang disebutkan ‘Ustman (2004: 346) dapat melahirkan
rasa kedamaian dan kelapangan jiwa.
Jawad
Amuli (2006: 16) mengistilahkan, pembukaan jamuan Allah bagi tetamu-Nya
di mulai pada bulan suci Ramadhan, sementara penutupnya adalah bulan
Dzulhijjah. Diketahui bulan ini merupakan akhir dari bulan-bulan suci
dan bulan haji.
2. Haji
Ibadah
haji berawal dari kisah Nabi Ibrahim as. Kisah ini menggambarkan suatu
makna bahwa perjuangan untuk mendapatkan ridha Allah adalah dengan
mengorbankan apa yang paling disayangi dan dimiliki. Setelah itu dengan
perjuangan keras, penuh tawakal dan pengorbanan semua rahmat dan kasih
sayang Allah akan tercurah (Rudhy Suharto, 2002: 159).
Menunaikan
ibadah haji dapat melatih kesabaran, melatih jiwa untuk berjuang, serta
mengontrol syahwat dan hawa nafsu. Ibadah haji menjadi terapi atas
kesombongan, arogansi, dan berbangga diri sebab dalam praktek ibadah
haji kedudukan semua manusia sama. Permohonan ampunan dan ditambah
suasana yang bergemuruh penuh lantunan Ilahi membuat suasana ibadah haji
sarat dengan nilai spiritualitas yang dapat mengobarkan rasa semangat
yang tinggi untuk meraih ketenangan (‘Utsman, 2004: 348).
Rudhy
Suharto (2002: 163) menjelaskan, wukuf di arafah menjadi media meditasi
untuk merenungi perbuatan masa lampau yang menjauhkan diri dari Allah
swt dan memahami lebih dalam hakikat tujuan hidup. Perjalanan Shafa dan
Marwah bermakna perjuangan spiritualitas diri untuk bertarung melawan
hawa nafsu. Melempar Jumrah ‘Aqabah mengisyaratkan melempar semua sifat
kejahiliahan seperti kemunafikan, kedustaan dan keduniawian.
Berhaji
akan membawa seseorang mentafakuri atau mengintrospeksi diri guna
mencari jati diri seorang hamba yang hakiki. Hakikat seorang hamba
adalah senantiasa mengabdikan diri dan kehidupannya untuk Allah semata.
Pengabdian dengan keikhlasan itulah yang mengundang curahan rahmat serta
ridha-Nya. Jiwa hamba pun akan suci dan tenang.
C. Raih Ketenangan Jiwa
Beragam
cara dilakukan seseorang untuk meraih ketenangan dan ketentraman jiwa.
Cara-cara tersebut ada berasal dari bentuk murni pengamalan ajaran
agama, praktik sekte-sekte spriritual seperti penganut sufisme, pengikut
meditasi, kelompok-kelompok ritual dari berbagai suku dan kebudayaan
dan lainnya.
Setiap
cara atau metode ‘ibadah’ di atas memiliki efek tersendiri bagi
pengamalnya. Namun hal itu tergantung sumber ajaran yang digunakan dalam
aktivitas ritualnya. Jika ajaran tersebut berasal dari konsep filasafat
kehidupan atau pemikiran manusia maka orientasinya masih sebatas
kehidupan keduniaan. Sebagai muslim yang taat sudah tentu memilih
satu-satunya cara yang dapat memberikan ketenangan jiwa yakni ibadah
berdasarkan tuntunan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Al-Qur’an
dan sunnah sebagai ilmu pengetahuan yang telah memberikan suatu hal
yang baru dalam ilmu kejiwaan kaitannya dengan pengaruh ibadah. Hal
tersebut memberikan bimbingan kepada manusia untuk dapat mencapai
kehidupan sehingga ia mampu meraih kebahagiaan, kebaikan dan kedamaian
hidup di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman M. Al-Isawi, 2005. Islam dan Kesehatan Jiwa. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, 2003. Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam. Jakarta Timur : Kencana.
Hanna Djumhana Bastaman, 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, Jogjakarta : Pustaka Pelajar dan Yayasan Insan Kamil.
Imam Al-Ghazali, 2006. 7 Metode Menjernihkan Nurani. Jakarta Selatan : PT Mizan Publika.
Rafi’udin dan Alim Zainudin, 2004. Terapi Kesehatan Jiwa Melalui Ibadah Shalat. Jakarta: Restu Ilahi.
Rudhy Suharto, 2002. Revolusi Ruhani: Refleksi Tasawuf Pembebasan. Pustaka Intermasa.
Sayyid Mahdi as Sadr, 2003. Saling Memberi Saling Menerima: Kiat-Kiat Sukses Menjalin Hubungan dalam Hidup. Jakarta : Pustaka Zahra.
Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani Press.
0 komentar:
Posting Komentar