Minggu, 29 April 2012

PENGARUH IBADAH TERHADAP KEJIWAAN

Pendahuluan

Setiap makhluk yang dianugerahi potensi ruh, hati dan akal di dunia ini memiliki fitrah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta alam semesta. Makhluk itu adalah dari bangsa Jin dan manusia.

Allah Azza Wajalla menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya surah Adz Dzaariyaat ayat 56.Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Ayat di atas menggambarkan alasan utama Allah menciptakan jin dan manusia. Manusia selain memiliki ketiga potensi dasar, dilengkapi dengan potensi ragawi (fisik) dan dengan itu manusia disebut makhluk yang paling sempurna dalam kejadiannya. Sehingga dengan bekal potensi tersebut manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di dunia.
Di dalam kehidupan dunia manusia sibuk dengan berbagai aktivitas. Dari seorang bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang senang di dunia bermain, diusia sekolah mulai tertarik belajar, berpikir untuk masa depan baik dengan jalan kuliah ataupun memilih bekerja, menjelang dewasa menentukan pilihan untuk membina rumah tangga, dan persiapan semasa tua menjelang kematian. Begitulah siklus kehidupan manusia yang terus-menerus bergulir hingga tiba masa akhir dunia. Bagi mereka yang mengerti dan menyadari tujuan dan makna hidup, tentu akan meyakini bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi pada Sang Khalik. Kata kuncinya adalah pengabdian kepada Allah secara total dalam setiap lini kehidupan. Namun, segala bentuk pengabdian (ibadah) itu hanyalah kamuflase jika sedikitpun tidak memberi pengaruh terhadap diri seorang hamba.
Bicara soal ibadah dapat memberi pengaruh bagi jiwa manusia, sangatlah menarik. Menjadi alasan sejak seperempat abad lalu di lingkungan kesehatan mental telah dikembangkan metode dan teknik-teknik bercorak spiritual, mistikal, dan agamis yang dapat memberikan kontribusi bagi kesehatan jiwa (Bastaman, 1997 : 130). Metode dan teknik-teknik tersebut dikenal sebagai ibadah rutinitas keseharian bagi para penganutnya. Dalam hal ini ibadah hanya diartikan sebatas ritual spiritual yang diwajibkan. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bentuk ibadah yang dimaksudkan, apakah dengan melaksanakan kewajiban itu (ibadah) ketenangan jiwa dapat tercapai, bagaimana pula ibadah tersebut dapat mempengaruhi jiwa manusia ?. Dari beberapa pertanyaan tersebut menunjukan betapa penting bagi individu untuk memahami hakikat ibadah demi ketentraman dan kedamaian hidup.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mendapat pilihan topik dari silabus Mata Kuliah ini yakni Pengaruh Ibadah Terhadap Kejiwaan , dan penulis sepakat memfokuskan bahasan dengan sub topik sebagai berikut :
A. Definisi Ibadah;
B. Ibadah sebagai Psikoterapis Kejiwaan; dan
C. Raih Ketenangan Jiwa.
Semoga sub topik di atas dapat memberikan gambaran sekilas tentang hubungan ibadah dengan kejiwaan manusia. Selain itu, diharapkan setelah mengkaji isi makalah ini para pengkaji dapat memahami pentingnya ibadah dan termotivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah di dalam kehidupan sehari-hari. Selamat menelusuri dunia jiwa.

A. Definisi Ibadah
Menurut ulama tauhid, ibadah adalah meng-Esakan Allah swt. dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukan jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya. Sedangkan ulama fiqih berpendapat, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah swt. dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat (Ahmad dan Musdah, 2003 : 137). Dari kedua pandangan para ulama tersebut, ibadah dapat dipahami sebagai perwujudan segala sikap dan amalan meng-Esakan Allah swt guna mengharap keridhaan-Nya.
Dari segi bahasa, ibadah berarti taat, tunduk, menurut, mengikuti, dan doa (Ahmad dan Musdah, 2003 : 137). Sedangkan secara terminologi, ibadah berarti melaksanakan perintah-perintah Allah secara baik (Mahdi, 2003 : 6). Dapat dimengerti bahwa ibadah merupakan pengabdian dan ketundukan tertinggi kepada Allah swt. Selain Allah tidak ada yang berhak disembah atau diibadahi.
Mahdi menambahkan bahwa Allah mewajibkan ibadah kepada makhluk-Nya adalah demi kepentingan makhluk itu sendiri, sebab mereka sendirilah yang merasakan manfaat dan keuntungan dari beribadah kepada-Nya, yang merupakan salah satu faktor pendorong terkuat yang mengonsentrasikan keimanan dan membangun kepercayaan dalam kerangka spiritual karena ibadah dapat berfungsi sebagai pengingat manusia pada Allah, ganjaran dan hukuman-Nya serta kenangan terhadap Rasulullah saw.
Ibadah merupakan tes untuk menguji dimensi-dimensi keimanan seseorang, yang menjadi rahasia tersembunyi dan tidak dapat diselami selain melalui ritual-ritual ibadah (Mahdi, 2003 : 7). Dengan kata lain, bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, zikir dan lainnya telah menjadi ketentuan syariat dan pelaksanaannya sebagai salah satu bukti nyata keimanan hamba-Nya.
Imam Al-Ghazali (2006 : 7) menjelaskan, ibadah adalah buah dari ilmu; satu-satunya manfaat yang bisa dipetik dari usia; hasil usaha dari hamba-hamba-Nya yang istiqamah; mutiara berharga dari para aulia; jalan yang ditempuh oleh para ahli takwa; bagian untuk mereka yang mulia; tujuan dari orang-orang yang ber-himmah; syi’ar dari golongan terhormat, pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur; pilihan dari mereka yang waspada; dan satu-satunya jalan menuju surga. Allah swt. Berfirman, “Dan Aku Tuhan kamu sekalian, beribadahlah kepada-Ku” (QS. Al Anbiya : 25).
Dilihat dari segi pelaksanaannya ibadah dibagi dalam tiga bentuk. Sebagaimana Ahmad dan Musdah (2003:138) menjelaskan: Pertama, ibadah jasmaniah-ruhiah (ruhaniah), yaitu perpaduan ibadah jasmani dan ruhani, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah ruhiah dan maliah, yaitu perpaduan antara ibadah ruhani dan harta, seperti zakat. Ketiga, ibadah jasmaniah, ruhiah, dan maliah sekaligus, seperti melaksanakan haji.
Masih menurut Ahmad dan Musdah (2003:138-139), ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah ada lima macam, yakni :
1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berzikir, berdoa, tahmid, dan membaca Al-Quran;
2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiz al- janazah (mengurus jenazah);
3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji;
4. Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf, dan ihram; dan
Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.
A. Ibadah sebagai Psikoterapis Kejiwaan
Setiap manusia yang mengaku hamba Allah tentu telah terbiasa melaksanakan ibadah-ibadah terutama ibadah mahdhah. Namun, sejauh ibadah itu dilakukan sejauh mana pengaruhnya terhadap jiwa pelakunya? Untuk mengetahui jawabannya, berikut akan diulas beberapa bentuk ibadah dan efeknya secara psikis. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan psikoterapi melalui amalan ibadah.
1. Shalat
Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa shalat akan sah jika pribadi muslim telah menunaikan whudu. Maka akan diulas sekilas perihal whudu. Menurut Ahmad dan Musdah (2003: 147), wudhu adalah suatu cara untuk menghilangkan hadas kecil ataupun hadas besar yang dilakukan sebelum mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah lain, menjadikan wudhu sebagai salah satu syaratnya.
Air suci dan mensucikan menjadi media wajib untuk berwudhu. Seperti diketahui, air memiliki sifat jernih, mengalir dan menyegarkan. Sehingga dengan air kotoran-kotoran yang menempel pada tubuh dapat dibersihkan dengan sempurna. Secara maknawi, kotoran-kotoran baik secara fisik maupun psikis luntur dan mengalir mengikuti aliran air wudhu.
Wudhu disebut juga sebagai salah satu bentuk dari terapi air ( water of therapy). Terapi air merupakan bentuk terapi dengan memanfaatkan air sebagai media terapis. Beberapa pusat terapi kesehatan telah mengembangkan terapi air ini berhubung sangat diminati. Rafi’udin dan Alim Zainudin (2004: 117) mengatakan selain dampak psikis, wudhu juga memiliki pengaruh fisiologis, sebab dengan dibasuhnya bagian tubuh sebanyak lima kali sehari, lebih-lebih ditambah, maka akan membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh dan meredakan ketegangan fisik dan psikis.
Secara etimologi kata shalat berarti doa memohon kebaikan (Musthafa Al Khin dalam Rafi’udin dan Alim Zainudin, 2004 : 50). Sholat memiliki pengaruh yang sangat efektif untuk mengobati rasa sedih dan gundah yang menghimpit manusia (‘Utsman, 2004: 338). Saat sholat didirikan dengan menyempurnakan wudhu, niat yang ikhlas, adab-adab seperti tuma’ninah ( tenang sejenak), gerakan tidak terlalu cepat, memahami bacaan sholat maka akan mendatangkan kekhusukan dan menjadi terapi tersendiri bagi jiwa. Dengan kata lain, jiwa akan tenang jika shalat dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
Mendirikan sholat selalu dilakukan Rasulullah saat beliau dirundung berbagai persoalan penting. Diriwayatkan dari Hudzaifah ra. Ia berkata: “Jika mendapat persoalan, maka Nabi saw mendirikan shalat (HR. Abu Dawud). Shalat inilah solusi dari Allah swt. bagi hamba-Nya ketika mengalami persoalan.
Allah swt berfirman:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Secara mendalam, Toto Tasmara (2001: 81) mengungkapkan bahwa shalat jangan dipandang hanya dalam bentuk formal ritual gerakan fisik yang terkait erat dengan tatanan fiqih, tapi juga muatan mendalam terhadap pemahaman simbol-simbol atau hakikat yang terkandung di dalamnya.
Beliau menggambarkan gerakan shalat sebagai simbol dari siklus kehidupan. Dapat dilihat isyarat dari simbol-simbol gerakan dalam shalat, yaitu filsafat gerak. Pribadi muslim harus bergerak, dinamis, karena tidak selamanya hidup ini akan qiyam’berdiri’, lambang kejayaan (dewasa). Suatu saat ia harus ruku (umur setengah baya), kemudian bersujud (umur mulai uzur) (Tasmara, 2001: 82).
Melalui shalat, kepribadian seseorang akan terbimbing dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Senada dengan Toto Tasmara (2001: 83), shalat menunjukkan sikap batiniah untuk mendapatkan kekuatan, kepercayaan diri, serta keberanian untuk tegak berdiri menapaki kehidupan dunia nyata melalui prilaku yang jelas, terarah, dan memberikan pengaruh pada lingkungan.
Shalat selesai dilakukan. Selanjutnya kesejukan batin akan diraih dengan iringan munajat kehadirat Allah Rabbul Izzati melalui zikir, doa dan tilawah Alquran.
1. Zikir dan Membaca Alquran
Setiap hamba mendambakan ketenangan dan ketentraman jiwa dalam menjalani kehidupan ini. Harapan demikian dapat dicapai dengan mendekatkan diri kepada sumber dari segala ketenangan dan ketentraman yakni Allah Azza wa jalla. Sering menyebut, memuja dan mengingat asma-Nya di dalam hati maka jiwa akan tenang. Adapun bentuk ibadah yang dimaksud adalah zikir dan membaca Alquran.
Zikir
Firman Allah swt.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. Ar-Ra’ad: 28).
Alquran menjelaskan begitu penting melakukan zikrullah (berzikir kepada Allah) untuk ketentraman hati hamba-Nya yang beriman. Hal ini diperjelas oleh Rasulullah saw. dalam hadits Beliau. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dan Abu Sa’id ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Tidaklah suatu kelompok yang duduk berzikir melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat. Mereka mendapat limpahan rahmat dan mencapai ketenangan. Dan Allah swt akan mengingat mereka dari seseorang yang diterima di sisi-Nya (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Membaca Alquran
Akhir-akhir ini, di beberapa tempat telah dibuka pusat-pusat pengobatan ruhani atau pengobatan yang menggunakan Alquran (Abdurrahman, 2005: 11). Pengobatan tersebut biasa dikenal dengan istilah ruqyah syar’iah. Namun, saat ini secara umum sebagian masyarakat memandang ruqyah sebagai bentuk terapi atau pengobatan alternatif guna membantu kesembuhan dari penyakit ulah jin atau roh jahat di dalam tubuh manusia. Tidak menutup kemungkinan, Alquran juga dipahami sekadar kumpulan surah dan ayat penangkal dan pengusir kejahatan gangguan jin dan bangsanya.
Paradigma tersebut sangatlah keliru dalam memahami Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang lurus. Alquran adalah kitabullah yang suci, diturunkan oleh Allah dengan posisi lebih tinggi, terhormat, lebih bernilai dari segala karya ilmuwan manapun di sepanjang sejarah peradaban manusia (Abdurrahman, 2005: 12).
Dalam Alquran Allah swt menyatakan bahwa Alquran bisa menjadi penawar (obat) bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“...Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (QS. Fushshilat: 44)
Ayat di atas semakna dengan surah Al-Isra’: 82 dan Yunus: 57. Ayat-ayat ini menjadi dasar bahwa Alquran memang telah ditetapkan Allah swt sebagai pendekatan pesan-pesan ilahiah yang berfungsi terapis kejiwaan sekaligus pedoman hidup bagi hamba-Nya agar selalu berada di jalan kebaikan dan kebenaran.
Membaca Alquran disertai mentadabburi setiap bacaan ayat dapat membimbing jiwa agar ikhlas beramal dan tawadhu dalam bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran. Sangat dianjurkan meluangkan waktu untuk membaca Alquran setiap hari meski di tengah kesibukan. Apalagi meningkatkan kualitas bacaannya di bulan suci Ramadhan. Selain memperoleh pahala puasa juga mendapat keutamaan membaca Alquran di bulan maghfirah tersebut.
1. Puasa (Shaum)
Muhammad ‘Utsman Najati (2004: 344) mengatakan, ibadah puasa mengandung beberapa manfaat yang besar, di antaranya menguatkan kemauan dan menumbuhkan kemampuan jiwa manusia dalam mengontrol nafsu syahwatnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw pernah berkata: “Allah swt. Berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam as. Akan kembali pada diri masing-masing kecuali puasa karena puasa hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Puasa itu merupakan sebuah tameng jika sehari saja seseorang yang berpuasa tidak berbuat cabul dan berkata kotor. Kemudian jika ada orang lain yang mencelanya atau ingin membunuhnya, maka hendaknya ia berkata: “Aku adalah orang yang berpuasa’ (Syaikhan dalam ‘Utsman, 2004: 345).
Puasa merupakan sarana latihan untuk menguasai dan mengontrol motivasi atau dorongan emosi, serta menguatkan keinginan untuk mengalahkan hawa nafsu dan syahwat. Rasulullah saw menganjurkan kepada para pemuda yang belum mampu menikah untuk berpuasa agar dapat membantu mereka mengontrol motivasi seksualnya.
Selain itu, kesabaran menahan rasa lapar dan dahaga membuat seseorang yang berpuasa merasakan penderitaan orang lain yang serba kekurangan. Sehingga muncul rasa kasih sayang terhadap sesama dan mendorong untuk membantu fakir miskin. Perasaan dan sikap peka secara sosial di masyarakat inilah yang disebutkan ‘Ustman (2004: 346) dapat melahirkan rasa kedamaian dan kelapangan jiwa.
Jawad Amuli (2006: 16) mengistilahkan, pembukaan jamuan Allah bagi tetamu-Nya di mulai pada bulan suci Ramadhan, sementara penutupnya adalah bulan Dzulhijjah. Diketahui bulan ini merupakan akhir dari bulan-bulan suci dan bulan haji.
2. Haji
Ibadah haji berawal dari kisah Nabi Ibrahim as. Kisah ini menggambarkan suatu makna bahwa perjuangan untuk mendapatkan ridha Allah adalah dengan mengorbankan apa yang paling disayangi dan dimiliki. Setelah itu dengan perjuangan keras, penuh tawakal dan pengorbanan semua rahmat dan kasih sayang Allah akan tercurah (Rudhy Suharto, 2002: 159).
Menunaikan ibadah haji dapat melatih kesabaran, melatih jiwa untuk berjuang, serta mengontrol syahwat dan hawa nafsu. Ibadah haji menjadi terapi atas kesombongan, arogansi, dan berbangga diri sebab dalam praktek ibadah haji kedudukan semua manusia sama. Permohonan ampunan dan ditambah suasana yang bergemuruh penuh lantunan Ilahi membuat suasana ibadah haji sarat dengan nilai spiritualitas yang dapat mengobarkan rasa semangat yang tinggi untuk meraih ketenangan (‘Utsman, 2004: 348).
Rudhy Suharto (2002: 163) menjelaskan, wukuf di arafah menjadi media meditasi untuk merenungi perbuatan masa lampau yang menjauhkan diri dari Allah swt dan memahami lebih dalam hakikat tujuan hidup. Perjalanan Shafa dan Marwah bermakna perjuangan spiritualitas diri untuk bertarung melawan hawa nafsu. Melempar Jumrah ‘Aqabah mengisyaratkan melempar semua sifat kejahiliahan seperti kemunafikan, kedustaan dan keduniawian.
Berhaji akan membawa seseorang mentafakuri atau mengintrospeksi diri guna mencari jati diri seorang hamba yang hakiki. Hakikat seorang hamba adalah senantiasa mengabdikan diri dan kehidupannya untuk Allah semata. Pengabdian dengan keikhlasan itulah yang mengundang curahan rahmat serta ridha-Nya. Jiwa hamba pun akan suci dan tenang.
C. Raih Ketenangan Jiwa
Beragam cara dilakukan seseorang untuk meraih ketenangan dan ketentraman jiwa. Cara-cara tersebut ada berasal dari bentuk murni pengamalan ajaran agama, praktik sekte-sekte spriritual seperti penganut sufisme, pengikut meditasi, kelompok-kelompok ritual dari berbagai suku dan kebudayaan dan lainnya.
Setiap cara atau metode ‘ibadah’ di atas memiliki efek tersendiri bagi pengamalnya. Namun hal itu tergantung sumber ajaran yang digunakan dalam aktivitas ritualnya. Jika ajaran tersebut berasal dari konsep filasafat kehidupan atau pemikiran manusia maka orientasinya masih sebatas kehidupan keduniaan. Sebagai muslim yang taat sudah tentu memilih satu-satunya cara yang dapat memberikan ketenangan jiwa yakni ibadah berdasarkan tuntunan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Al-Qur’an dan sunnah sebagai ilmu pengetahuan yang telah memberikan suatu hal yang baru dalam ilmu kejiwaan kaitannya dengan pengaruh ibadah. Hal tersebut memberikan bimbingan kepada manusia untuk dapat mencapai kehidupan sehingga ia mampu meraih kebahagiaan, kebaikan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman M. Al-Isawi, 2005. Islam dan Kesehatan Jiwa. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, 2003. Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam. Jakarta Timur : Kencana.
Hanna Djumhana Bastaman, 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, Jogjakarta : Pustaka Pelajar dan Yayasan Insan Kamil.
Imam Al-Ghazali, 2006. 7 Metode Menjernihkan Nurani. Jakarta Selatan : PT Mizan Publika.
Rafi’udin dan Alim Zainudin, 2004. Terapi Kesehatan Jiwa Melalui Ibadah Shalat. Jakarta: Restu Ilahi.
Rudhy Suharto, 2002. Revolusi Ruhani: Refleksi Tasawuf Pembebasan. Pustaka Intermasa.
Sayyid Mahdi as Sadr, 2003. Saling Memberi Saling Menerima: Kiat-Kiat Sukses Menjalin Hubungan dalam Hidup. Jakarta : Pustaka Zahra.
Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani Press.

0 komentar:

Posting Komentar

NASYID & RELIGI ISLAMI


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design